Tampilkan postingan dengan label guru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label guru. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 September 2016

Ide Pemberian Sanksi bagi Siswa

Pagi-pagi hari ini t-shirt saya sudah basah. Lagi lagi ada siswa yang berlinang air mata. Saya langsung stress. Lho kok?
Iya, sebab sekarang ini saya bertanggung jawab sebagai wali kelas 7. Ini sudah remaja dan harusnya acara berlinang air mata itu sudah lewat masanya. Selidik punya selidik, saya menemukan siswa saya ini tengah bersedih karena hal yang sama dengan siswa saya 2 tahun lalu di kelas 5. Nilainya jelek.
Lha?
Rupanya guru pengajar memberikan syarat agar siswa menyalin soal dan jawabannya sebanyak 10 kali, kalau mau nilainya KKM. Sekarang saya yang termenung. Masalahnya, apa manfaatnya sanksi seperti ini?
Di tempat les, saya juga menemukan anak didik saya diberi sanksi yang sama jika nilainya di bawah KKM. Bahkan disuruh menyalin 15-20 kali.
Anak les saya sih memang boleh saya bilang cuek dan tak pedulian. Diberi sanksi ya dikerjakan, atau diabaikan.
Saya yang jadi stress. Memang bermanfaatkah sanksi semacam itu di kelas 5-7? Di mana anak didik sudah jelang puber, dengan sifat "baper"?
Idealnya guru berusaha mengenali siswanya dan menemukan cara membelajarkan siswa. Beberapa siswa bereaksi negatif dengan sanksi tersebut. Mereka mengabaikan, atau menyelesaikan secara asal asalan, ataupun jadi stress, seperti siswa saya yang menangis tersebut.
Menyimak kasus guru yang dikriminalisasi, apakah bukan saatnya setiap guru introspeksi diri dan meng up to date ilmu agar bisa membuat siswa belajar menjadi baik?
Saya sebagai pengajar math, yang selalu divonis pelajaran susah saja, berupaya membuat pelajaran saya menyenangkan. Saya sadar Math hanya bisa dikuasai dengan latihan dan latihan itu membosankan, maka saya memberi anak ruang bergerak saat mengajar. Caranya, gantian maju ke papan tulis mengerjakan latihan. Kadang, sebelum belajar saya ajak berolah gerak sejenak.
Sanksi kreatif apa yang bisa membuat siswa bekerja keras dalam test yang kita buat?
1. Menuliskan kesalahan dalam test. Alasan kenapa kesalahan terjadi. Misal: dalam pelajaran Rasio, test nilai kurang dari KKM, anak perlu tahu di mana kesalahannya. Apakah kurang teliti menghitung, kurang teliti membaca soal, atau karena tidak memahami bahasa soal. Minta siswa merencanakan apa yang akan dilakukan supaya dalam test berikutnya mereka bisa.
2. Berikan ekstra kelas dan perbaikan sampai mereka mencapai nilai KKM. Harus. Karena anak berhak atas remedial/perbaikan. Ekstra kelas sebenarnya sanksi karena anak harus pulang terlambat untuk mengejar ketinggalan. Namun memang guru lebih repot, karenanya. 
Perlu diingat bahwa test adalah cerminan usaha mengajar guru. Jika siswa nilainya jelek, jangan jangan kita tidak bisa mengajar.
Ada pendapat lain? Atau ide jitu lain? Yuk berbagi.

Sabtu, 02 Juli 2016

Tantangan Menjadi Guru Saat Ini

Heboh kriminalisasi guru kembali bergaung. Kenapa?
Pada masa lalu, seorang guru mempunyai otonomi penuh. Tidak akan ada guru disebut mem-bully siswa walau ia memang membuat siswa merasa bodoh. Malah bagus siswa merasa bodoh sehingga mereka berusaha belajar? Walau malah ada siswa yang patah semangat dan akhirnya anti pelajaran yang diampunya.
Melempar penghapus atau kapur? Ah biasa. Supaya siswa fokus mendengarkan guru menerangkan.
"Belikan dulu bapak es teh di kantin!" Berlomba murid melakukan.
Jika kita dimarahi guru, orang tua kita malah menambahi omelan. Ada juga kita diam tidak akan bercerita
Masalahnya, itu dulu.
Saat ini, bisa kena pasal deh salah bicara saja.
Tidak mudah menjadi guru saat ini. Pembekalan terus diberikan, namun kadang kita lupa zaman. Dulu saya mengalami itu dan saya ngga protes. Anak sekarang manja banget sih? Beda zaman. Gap generasi.
Sebenarnya kita perlu memahami batas.
Melempar kapur/penghapus itu sudah ngga zaman saat ini. Kita bisa siapkan power point dan alat peraga untuk menarik perhatian.
Saya, sebagai guru kadang mentok dengan wajah saya yang hampir selalu tersenyum. Tapi, suara saya adalah senjata saya. Biasanya, cukup sebut nama lengkap si anak, dia sudah tahu bahwa saya menginginkan perhatiannya.
Dulu, ngga bikin PR panik. Sekarang, PR 1 halaman, bisa ngomel panjang pendek orang tuanya. Jadi bagaimana? Tidak bikin PR? Tahan sepulang sekolah. Beritahu orang tuanya bahwa si anak perlu pelajaran tambahan. Guru dapat nama, guru penuh perhatian. Hahahahaha. Padahal, itu hukuman. Hanya membahasakannya saja yang membuat kita sebagai guru lebih bermartabat.
Kalau anak kurang ajar, telepon orang tua. Tanyakan, anaknya harus diapakan? Intinya sih komunikasi politik positif saja dengan orang tua.
Apa sih tantangan guru?
1. Rentang perhatian anak yang pendek
Tiap hari anak diizinkan ortu nonton TV, main games online dan internetan. Bagaimana anak bisa fokus pada rentang seperti zaman kita yang nyaris ngga ada online online an itu? Jelas, ini mengubah kemampuan memperhatikan anak.
2. Orang Tua siswa
Masa lalu, orang tua percaya penuh pada guru. Saat ini orang tua berusaha terlibat lebih pada pendidikan anak. Kadang terlibatnya malah ngga pas juga. Kelewatan dan anaknya jadi ngga mandiri.
3. Media sosial
Media sosial bisa jadi teman tapi juga lawan buat guru. Informasi bisa beredar di media sosial. Tapi anak sekarang yang sudah kenal media sosial juga membuat tantangan ekstra.
4. Yayasan dan Managemen Sekolah
Ini juga tantangan guru khususnya di swasta. Tetapi bukan berarti di negeri tidak. Guru negeri berhadapan dengan kepala sekolah dan aturan pemerintah yang mengikat. Guru swasta dengan Yayasannya dan kepala sekolahnya. Ada kalanya ada sistem yang tidak sesuai dengan ilmu pendidikan dan kemanusiaan. Tapi tetap kita jalankan, karena sudah aturannya.

Jadi, bagaimana?
Sederhana saja. Guru perlu tetap update ilmu, memelihara kasih sayang dan menjauhkan kekerasan. Anak di kelas kita punya orang tua. Komunikasi lah lebih intens. Insya Allah terhindar kriminalisasi.

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...