"Mar, aku perlu modul pelatihan karakter yang kamu dulu gunakan. Beli di mana ya? Berapa? Atau kamu masih punya dan bisa ku copy?"
Seorang teman mengirimi saya SMS ini beberapa waktu yang lalu. Beberapa tahun yang lalu, saya sempat mengajar character building (CB) di SD di pulau Kalimantan. Kebetulan waktu berangkat ke sana, saya diberi hadiah seperangkat modul pelajaran karakter. Ada beberapa tema besar, seperti attentiveness, obedience, dan sebagainya.
Tetapi sejujurnya, sebenarnya, modul pendidikan karakter yang paling mantap adalah guru sendiri. Mengapa?
Karena karakter sebenarnya tidak diajarkan oleh modul, tetapi dibiasakan oleh guru/orang tua.
Kelas saya, misalnya adalah contoh. Anak-anak saya di kelas, punya kecenderungan suka bercanda, bahkan tak segan mencetuskan pikiran mereka, karena, saya juga begitu. Saya tidak melarang mereka bersuara/ menyampaikan pendapat mereka. Namun saat saya menerangkan/menjelaskan pelajaran, jangan sampai mereka mengobrol. Mereka sudah tahu kapan perlu memusatkan perhatian, kapan bisa berdiskusi.
Role yang saya berikan jelas.
Kelas 1-2 SD, siswa perlu role yang jelas. Prosedur dan aturan. Prosedur, kadang bisa dipermudah jika memang sangat penting. Misal, anak bisa ke toilet setelah 35 menit waktu recess. Jadi, setelah recess 10 menit, kalau izin ke toilet saya tanya, prosedurnya bagaimana? Kenapa tidak ke toilet saat recess? Kalau ke toilet berdua atau bertiga, apalagi. Prosedurnya ke toilet ya bergiliran. Mau B.A.K atau mau mengobrol? Ke toilet adalah alasan paling mudah keluar kelas jika bosan dan ingin ngobrol. JAdi, saya tegas tentang ini. Tetapi ini prosedur. Pelanggaran terhadap prosedur, bisa saja saya lakukan, jika mendesak. Sekarang saya melihat anak sudah ingin B.A.K, saya suruh menunggu lagi, kalau ngompol bagaimana? Benar sih sudah kelas 1-2, tetapi kan setiap anak berbeda. Jadi ada waktunya saya izinkan beberapa anak keluar sekaligus, dengan persyaratan waktu. 2 menit, misalnya.
Prosedur yang jelas, membuat anak tahu harus bagaimana.
Aturan berbeda lagi. Untuk aturan saya tidak memberlakukan fleksibel. Karena aturan ini berfungsi sebagai tali pengaman anak-anak. Misal, di koridor harus berjalan. Ini demi keamanan. Kalau mereka lari, menabrak teman, kepala bocor karena kecelakaan ini kan masalah besar toh? Atau terpeleset dan jatuh, itu juga masalah kan? Jadi, aturan dibuat demi keamanan mereka. Pelanggaran terhadap aturan mempunyai sanksi. Misalnya, untuk pertama mereka akan dipanggil dan dinasihati, kedua kali, dipanggil, disuruh kemmbali dari arah datang dan berjalan, lalu dinasehati lagi, dan diberi peringatan, "ini sudah 2 kali ms. lihat kamu lari, tiga kali, sanksinya lebih berat lho". Peringatan ini biasanya cukup membuat jerih/takut anak kelas 1-2 SD. Bandel/ menantang? Ketiga kali, suruh lari keliling lapangan 3 kali, lihat apakah masih mengulangi, atau tidak lagi mengulangi. Catatan saya, sanksi sebaiknya disesuaikan dan dipertimbangkan baik-baik. Seddapat mungkin sanksi fisik tidak disarankan. Biasanya juga anak kelas 1-2 masih takut pada gurunya. Takut sayang maksud saya. Saya kadang cuma bilang, "kalau kamu luka, kan miss sedih. Lagian kan kamu juga sakit, jangan lari lagi ya, ini sudah 2 kali lho miss kasih tahu,"
Anak-anak takut membuat sedih orang dewasa yang mereka kasihi.
Di sinilah pentingnya relasi.
Anak-anak meyakini, kita mengasihi mereka sehingga mereka segan membuat kita sedih atau marah.
Bagaimana dengan di kelas? atau bagi orang tua di rumah?
Anak saya selalu bertengkar dengan saudaranya.
Pertengkaran anak dengan saudara bisa jadi menunjukkan, adanya perbedaan perlakuan orang tua pada anak. KAlau anak diperlakukan sama, maka mudah bagi orang tua menegaskan hal ini.
Anak saya kalau main ngga mau membereskan. Dibiasakan tidak?
Anak saya sulit disuruh mandi. Sulit itu seperti apa? Sulit disuruh mandi, karena ia tidak tahu pentingnya mandi, karena ia menunda nunda, karena? Ini harus jelas. Bisa jadi, sulit mandi karena menunda-nunda, mengatasinya berbeda dengan sulit mandi karena tidak tahu pentingnya mandi.
Anak saya malas sembahyang/ saat teduh. Masalahnya, kita sendiri sembahyang/ saat teduh ngga?
Chaos nya rumah, bisa jadi, karena kita sendiri tidak membuat prosedur yang dibiasakan, dan aturan yang dijelaskan sehingga anak memahami. Bisa jadi juga, kitanya sebagai orang dewasa juga chaos.
Di kelas, kenapa chaos?
Sama saja. Kita tidak punya prosedur yang dibiasakan dan aturan yang dipahami.
Mendengarkan misalnya. Anak sekarang merasa mendengarkan itu biasa saja sambil baca buku, atau sambil main pensil. Orang tuanya juga kalau mendengarkan tak jarang sambil bergadget ria? Pada masa saya, mendengarkan artinya, duduk tegak, mata melihat pada yang berbicara, dan tangan terlipat rapi di meja. KAlau mendengarkan seperti ini yang diinginkan, jangan segan menjelaskan aturan ini pada anak. Saya menggunakan kalimat ini, " eyes on me" -- "close hands" -- "sit straight" -- Jadi anak tahu itu yang saya harapkan setiap saya katakan, "Pay attention,please."
Di sisi lain, nantinya akan saya bagikan kenapa guru mempunyai kelas chaos saat jam mengajarnya, sementara pada jam pelajaran lain sepertinya kelas tersebut ademmmmm.... Ini dulu yaaaa, mau lanjut kerja dulu.
Salam edukasi,
Maria Margaretha