Kamis, 29 Januari 2015

Kisah dari kelasku, Berbagi itu perlu komunikasi.

Bete banget. Kenapa? Iya, hari ini ada acara pertemuan mendadak. Saya merasa, sensi banget ya? Merasa, bahwa saya sedang dicari-cari kesalahan. Kemarin, saya ditegur, hanya karena WAJAH saya kelihatan beda katanya waktu ada pemberitahuan seorang rekan yang tidak hadir sebab sedang "recovery". Kebingungan juga waktu ditanya ada apa? Ya ada apa? Saya aja ngga tahu. Lalau dijelaskan katanya saya kelihatan tidak senang. Ya ampun. Memangnya saya sudah kayak apa sih, penting gitu wajah saya dibahas?
Eh, ditambah secara tiba-tiba kelas saya dipermasalahkan. Tidak sejajar dengan kelas tetangga. Jiah, meledaklah saya yang memang sudah sumbu pendek sejak ditanya masalah wajah itu.
Tadinya pengen mangkir, tapi uh, lihat bunga-bunga yang dikasih bocah-bocah saya di kamar kok membuat hati saya ngga enak kalau mangkir karena personal problemo gitu. Udahlah saya masuk.
Pesoalannya, ada orang tua siswa yang merasa dirugikan karena tugas individual, anaknya sudah susah-susah mencari materi, ia mendampingi, kok setelah bahan bahannya ada anaknya suruh share dengan temannya yang ngga membawa.
Pemberian tugas sebenarnya kelompok, namun, setelah diskusi dengan kelas sebelah dibuat individual. Bukannya tidak memahami, anak-anak yang tidak bisa mendapatkan gambar karena keterbatasan pendampingan orang tua, namun sebagai siswa kelas 5 saya memang sedikit menuntut anak-anak saya berusaha lebih keras. Saya sudah menegaskan, kalau mencari pasti bisa. Koran masa tidak punya, dengan situasi sosial ekonomi anak-anak saya, rasanya tidak mungkin mereka tidak mempunyai koran, atau majalah dan menemukan materi mereka. Bisa juga dengan barter dengan teman sekelompok. Eh, saya cari data kamu cari gambar, nanti kita berbagi. Itu juga bisa. Saya tidak mengharuskan untuk mendapatkan dari internet. Saya ragu mereka memahami browsing yang aman. Saya lebih prefer mereka mencari dari buku, majalah atau koran, bahkan kartupos di Gramedia pun ada.
Anak-anak memang kadang tidak mau susah. Mereka main salin dari google, dan menempelkan di microsoft-word dan mencetaknya. Baru panik ketika space karton tidak cukup, tidak punya gambar dan lain-lain.
Pada dasarnya saya menjelaskan bahwa saya tidak melarang mereka berbagi. Namun saya menuntut untuk tidak meminta secara paksa. Kalau ada yang punya lebih dan tidak mau berbagi, sampaikan saja. Tidak perlu sungkan karena memang haknya menolak permintaan temannya. Yang meminta juga perlu tahu diri, sudah minta ngga usah pakai maksa. Inipun sudah saya jelaskan aturannya. Kok ya masih ada keluhan disuruh share. Yang suruh siapa juga?
Saya memang membimbing anak-anak di kelas saya mau berbagi, namun jangan mau dimanfaatkan. Masa mau saya ajarin anak-anak pelit? Kan ya ngga juga.
Pagi berikutnya saya terangkan pada mereka penilaian saya dasarnya bukan hanya ada atau tidak ada materialnya, namun juga cara mendapatkan material ini. Kalau anak yang mencari dengan susah payah, dan anak yang dapat minta (punya temannya) saya samakan keenakan dong? Inilah yang orang tua mungkin tidak memahaminya. Komunikasi yang belum selesai ini yang menyebabkan adanya keluhan.
Yah. Memang demikian. Seringkali komunikasi yang disampaikan tidak lengkap dan menyebabkan kesalahpahaman. Apalagi dengan perubahan-perubahan yang disebabkan oleh penyesuaian kondisi. Kelas sebelah, paralel saya, kebetulan sejawat saya sempat sakit 2 hari dan kemudian mendapatkan guru PPL sehingga dalam beberapa hal sedikit terlambat. Sementara saya sampai hari ini berhasil hadir ke sekolah tanpa absen.
Kesal kalau kita sudah kerja keras, berupaya maksimal, namun tidak diapresiasi, malah dicari-cari kekurangan. Mhhhhm. Curhat nih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...