Minggu, 05 April 2015

Pembalasan Terindah

Alkisah di sebuah negara kerajaan hiduplah seorang kaya yang sangat termashur. Ia diberi kepercayaan sang raja sebagai seorang juru bicara. Makin berkuasalah ia.
Sayangnya, demikian sifat manusia. Semakin berkuasa, semakin ia menginjak orang orang yang tak punya daya. Orang kaya ini bertindak semaunya, karena sang raja selalu mempercayai dia. Orang kaya ini seolah sangat beruntung, karena ia juga dikaruniai wajah yang tampan.
Di suatu sudut kota tinggalah seorang pria yang pendiam. Ia bekerja dengan rajin dan juga baik hatinya.
Dalam suatu masa, kedua orang ini berpapasan. Di perjalanan yang bersilangan. Orang kaya dengan ratusan pengiring, dan si Pendiam dengan kesunyian menuju sawahnya.
“Minggir,” bentak si pengawal, pada si Pendiam. Si Pendiam menyisihkan jalan. Namun si kaya dengan sombong meludah. Mengenai wajah si Pendiam.
Dalam budaya masyarakat itu, diludahi adalah suatu penghinaan yang besar. Di depan banyak orang pula. Si Pendiam mengambil batu, dan siap melemparkannya pada si orang kaya. Untung seorang ibu menahan tangan yang menggenggam batu itu.
“Ia seorang pejabat, maukah kau dipenjara melempar batu pada orang itu?”
Peringatan si ibu membuat pendiam membuang kembali batu itu. Lalu memungutnya lagi. “tak selamanya ia akan menjadi pejabat! Suatu hari, akan kulempar batu ini!” kata si pendiam penuh tekad.
Bukan hanya pendiam yang dihina dan dilukai hatinya. Banyak sekali rakyat dan sesama pejabat yang disikut. Semua menyimpan rasa, menanti kesempatan.
Benarlah. Hari itu datang. Raja mendengar kelakuan si orang kaya. Ia menurunkan orang kaya itu dari jabatannya. Kekayaannya dirampas untuk kerajaan dan, belum cukup, orang kaya itu dijatuhi hukuman mati, karena ternyata telah lama melakukan penggelapan uang negara.
Orang-orang melemparkan batu yang mereka simpan.
Pendiam berada di antara orang-orang itu. Namun, sekali lagi, saat ia hendak melemparkan batunya, sekelebat pemikiran muncul, dulu, ia tidak melemparkan batu karena ia tak berdaya. Sekarang, si kaya itulah yang tak berdaya. Jika ia melemparkan batu itu, apa bedanya ia dengan si Kaya?
Ia berdiri dan menghadang batu-batu yang dilempar, “Hentikan!” katanya.
Semua orang memandang si Pendiam. Jarang memang ia membuka suara. “Kita melempar batu karena ia tak berdaya. Kenapa tidak saat ia berkuasa?”
Pertanyaan si Pendiam membuat orang termenung. Mereka meninggalkan tempat itu.
Membalas seseorang, memang mudah saat ia tak berdaya. Beranikah saya, atau anda melakukannya saat ia berkuasa? Seindah-indahnya pembalasan, yang terindah adalah tidak membalas.
Selamat paskah.

Maria Margaretha
NB: Di Sana sudah dibalaskan semua salah dan kejahatan.
Biarlah maaf selalu ada di hati kita.

2 komentar:

  1. Setuju sekali, biarlah Sang Penguasa Alam yang membuat perhitungan bagi mahluk ciptaannya.

    BalasHapus

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...