Tampilkan postingan dengan label Sekolah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sekolah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 11 Desember 2016

Murid muridku, sekarang. (13-14 tahun kemudian)

Saya mendapatkan kejutan ketika membuka FB dari komputer, setelah sekian lama menggunakan versi aplikasi mobile dan menemukan pesan dari murid saya 14 tahun yang lalu. Ia bertanya, ingatkah saya padanya dengan menyebutkan nama dan sekolahnya.
Kalau saya menelusuri perjalanan mengajar saya yang selalu pindah sekolah, entah berapa ratus anak yang pernah menjadi puzzle kehidupan saya.
Sekolahnya adalah sekolah pertama dalam sejarah saya. Pertama kali saya mengajar sebagai guru kelas. Mereka, murid itu murid kelas 3. Awalnya saya diterima menjadi wali kelas 1-2. Saya lupa tepatnya apa yang terjadi di kelas 3, sehingga bulan Januari saya didesak menerima penugasan di kelas 3 dan menyerahkan kelas 1-2 pada guru kelas 3. Saya hanya ingat saya marah dan tidak terima dipindahkan ke kelas 3. Tetapi memang saya menerimanya kemudian. Saya ingat memang bahwa saya merasa kelas 1-2 masih membutuhkan saya, dan saya heran kenapa saya yang katanya bukan guru SD walaupun S1, ngga paham paedagogi dan metode ngajar SD (kata sejawat guru kelas 4 yg benci saya setengah mati, karena suka tidur di kelas) yang dipindahkan.
Namun saat saya melaksanakan penugasan itu, luar biasanya dengan baik.
Kaget. Karena saya hanya 6 bulan di kelas 3. Kemudian dipindahkan di unit SD lainnya. Dan anak itu mengingat saya.
Akhirnya mengobrollah kami lewat FB dan berakhir dengan bertukar no WA dan janjian pertemuan. Saya sempat kagok menyadari bahwa saya tidak ingat wajah seorangpun di antara mereka. Kalau ada yang saya ingat, mungkin hanya 1 nama, karena dekat sekali saat mengajar. Tapi waktu pertemuan itu, gadis yang menghubungi saya tidak menyebutkan anak ini akan ikut. Benar saja, 3 anak yang saya temui yang mengenali saya dan astaga, rasanya tekanan darah saya pasti naik ke mana mana saking bahagianya saya. Pertemuan itu juga berakhir dengan janji mempertahankan hubungan.
Pertemuan itu juga mengilhami saya mencari murid murid lain yang lebih dekat lagi hubungannya dengan saya karena saat saya mengajar mereka saya benar benar menghabiskan waktu bersama mereka. Pada pagi sampai siang mereka murid saya, tapi kebanyakan sore sampai malam, mereka anak anak saya. Siswa kelas 5 di sekolah sesudahnya.
Berbeda dengan sekolah sebelumnya, yang kebanyakan orang tua lebih memperhatikan anak anak ini, di sekolah ini anak anak kelas saya punya kebutuhan kasih sayang yang dalam. Orang tua yang perhatian dari sekian murid hanya sedikit. Sisanya, diabaikan. Seorang anak kerap datang terlambat dan belum mandi, sampai sampai saya menyuruh temannya menjemput dan sesampai di sekolah saya belikan sabun dan saya suruh mandi. Anak yang lain juga tidak punya orang tua yang memperhatikannya lebih dari sekedar membayarkan uang sekolah dan memberi uang jajan.
Murid-murid ini terutama kerap saya mimpikan bahkan setelah berpindah ke sekolah lainnya.
Saya search nama mereka di Google, FB dan Twitter.
Dan dari sejumlah anak, ada 3 anak yang mamanya dekat dengan saya waktu itu dan kerap jadi Mama anak lainnya juga. Saya menemukan sebuah nama. Untungnya namanya unik. Hanya saja menunggu anak ini membalas, lebih dari 2 tahun. Karena inbox FB saya ini masuk di kotak sampah inbox FB nya.
Dan yah, penantian saya terbalas. Dari obrolan inbox FB, kami pindah ke Line (untungnya baru beberapa hari sebelumnya saya mau pakai aplikasi ini. Biasa WA sudah cukup) Sempat putus juga karena masih belum tahu bagaimana pakai Line itu. Akhirnya, dari anak ini, saya dapat kontak anak berikutnya dan berantai hampir 1/2 kelas itu ketemu.
Seorang anak mengakui bahwa ia juga mencari saya dan karena tidak ingat nama lengkap saya ia gagal menemukan saya. Anak ini, anak saya. Dia yang sempat saya mimpikan, dan sebenarnya dia alasan saya mencari kelas ini.
13-14 tahun berlalu.
Siswa kelas 3 SD saya masih mengingat saya. Padahal, hanya 6 bulan saya mengajar mereka.
Siswa kelas 5 SD saya sudah menjadi gadis-gadis dan pemuda pemuda tampan yang membuat saya saja harus menarik napas setiap melihat mereka.
Well, saya menemukan dan menemui mereka lagi.
Saya harus bilang, bahagia. Walaupun, saya juga sedih. Lewat pembicaraan di Line, gadis yang pertama saya temukan telah memberi saya kisah yang membuat saya menarik nafas panjang.
Anak Ibu itu perokok, Bu. Pergaulannya rusak.
Yang kuliah hanya, H, G, dan X Bu.
Dstnya.
Kenangan dia ingin jadi pendeta, kenangan banyak waktu yang kami habiskan bersama membuat saya jadi ingin menemuinya. Janji sudah dibuat.
Menilik foto foto di FBnya dan status statusnya, entah mengapa perasaan saya memahami cerita gadis itu benar. Tapi masih ada kecemasan lain, anak gadis satunya. Murid saya terpandai di kelasnya. Wajahnya memang cantik sejak SD.
Hari mengajar yang tidak efektif karena sudah selesai masa ulangan semester membuat waktu janjian pertemuan saya terasa kapannnnn tibanya? Siapa bilang menunggu itu membosankan? Menurut saya lebih tepatnya, menunggu itu membuat gila.
Saya mengalihkan perhatian saya dengan perawatan lulur di salon dekat kost.
Jelas, setelah 13-14 tahun anak anak itu sudah dewasa muda dan mandiri. Anak anak kelas 3 itu membawakan saya tas cantik yang kata teman saya wajib saya pakai, dan saya pakai juga. Sementara gadis kelas 5 saya mengajak nonton dan menolak uang saya. (Ngga sopan ya? Hahahaha, katanya giliran saya, Bu)
Setelah 13- 14 tahun, mereka masih di hati saya. Bagaimanapun mereka lebih dari sekedar murid biasa. Mereka anak anak yang saya sayangi.

Minggu, 19 Juni 2016

Gaji Guru yang Layak

Kurang lebih 3 minggu yang lalu, saya berbincang lewat WA dan telepon dengan teman saya. Ia baru saja menjalani interview dengan sebuah sekolah internasional ternama. Benar, kita sudah tidak menyebutnya sekolah internasional, namun Satuan Pendidikan Kerjasama, di kawasan selatan ibukota Indonesia.
Ia sempat sangat excited. Memang background pendidikannya bukanlah dari pwndidikan, tapi bersangkutanlah kalau dengan dunia pendidikan. Ia sudah menyelesaikan masternya sekitar 4 tahun yang lalu.
Kami berkenalan sebelum ia berada di Jakarta dan saya tahu Ia pernah berkecimpung di dunia pendidikan.
Saat itu saya pernah bertanya salary yang dia peroleh. Kebetulan saya juga mengajar, bedanya saya mengajar di sekolah umum dan dia di lembaga pendidikan bernafaskan agama.
Kaget juga saya tahu, range salary dia. Wow, masa cuma segitu?
Tapi, yang di sini lebih mengejutkan lagi. Untuk sekolah bertaraf Internasional, gaji asisten gurunya hanya setara mungkin 75% spp 1 siswa. Eh, halo? Serius?
Benar. Setengah shock juga.
Lalu saya baca status seorang teman di FB menceritakan bahwa ia menarik anaknya dari sebuah sekolah berlabel agama karena gaji gurunya yang tidak layak, padahal SPP mahal dan menerima dana BOS juga.
Ternyata banyak sekolah swasta berlabel agama, bahkan bertaraf internasional memberikan gaji yang setara gaji buruh pada gurunya. Bahkan lebih kecil dari gaji buruh juga ada.
Lha, kemana SPP murid? Dan mereka juga masih menerima dana BOS. Eh, benar lho.
Lalu berapa sih standar gaji guru?
Menurut saya, gaji guru sebaiknya di atas UMR. Gaji pokoknya. Harus di atas UMR. Masa guru disamakan dengan pesuruh sekolah? Ada lho sekolah yang begitu. Untuk kota besar sebaiknya ditambahkan uang transportasi yang memadai setiap hari kerja. Itu yang layak.
Kalau memungut SPP tinggi, tapi tidak memberikan salary yang layak bagi guru?
Sebenarnya paling enak sih diboikot sekolahnya. Apalagi kalau terima dana BOS. Laporkan saja pada Dinas Pendidikan dan Tenaga Kerja.
Lha bawa label agama kok gitu.
Maka dari itu, menjaga mutu pendidikan dimulai dengan kesejahteraan guru.
#garagarastatusFBms.Dewi

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...