Tampilkan postingan dengan label hukumansiswa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukumansiswa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Oktober 2016

Sanksi Bagi Siswa Yang Tidak Membawa Buku Pelajaran

Jaman saya sekolah dulu, tas saya relatif ringan. Buku pelajaran dipinjami oleh sekolah dan tidak ribet bawa buku cetak.
Sekarang ini berbeda. Bawaan anak SD sehari hari banyak sekali. Yang saya ingat, tiap pelajaran minimal 3 buku. Ha? Benar itu. Jadi kalau sehari 6 pelajaran atau 5 saja, bisa bisa berat tasnya sudah 5 kg an.
Murid saya bilang berat tas sekolahnya bersama isi saja 7 kg itu saat ada olah raga dan art yang ngga pakai buku cetak dan tulis.
Jadi kadang tuh mau ngomelin anak yang ngga bawa buku pelajaran saya itu mikirrrrrr. Kasihan mereka. Terserahlah kalau mau bilang saya tidak mendidik.
Bagi saya, kalau ngga bawa buku itu kan mereka sendiri sudah rugi. Beli mahal mahal, pas mau dipakai eh ngga bawa. Jadi ngga maksimal kan belajarnya? Jadi itu saja sudah konsekuensi, paling banter ya sudah saya omelin kalau sudah lebih dari 2 kali. Terutama kelas besar, kelas 4 ke atas. Tapi nyatanya lho, jarang anak di kelas saya tidak membawa buku. Entah mengapa.
Sebaliknya, di kelas guru lain yang memberikan hukuman, misalnya disuruh berdiri karena tidak membawa buku, malah gantian yang tidak bawa buku. Lho?
Sebenarnya kunci memberikan sanksi yang efektif adalah,
1. Kesepakatan kelas.
Sebelum mengawali kelas, utamanya saat minggu minggu pertama, ajak siswa berdiskusi apa sanksi yang menurut mereka sesuai untuk kelalaian membawa buku pelajaran. Usahakan agar kelalaian inilah yang jadi fokus agar anak berubah. Membuat jera yang lalai. Walaupun tidak menghukum, di kelas saya mereka yang lalai bawa buku jadi jera, karena saya menunjuknya menyelesaikan soal di papan tulis. Hehehehe. Konstruktif lho. Dari yang math-nya 0 jadi bisa naik sampai 60 pas quiz. Sebagai guru saya sih happy dengan hasil ini.
2. Tanamkan kesadaran. Sadar bahwa belajar perlu alat. Alatnya ya buku itu. Sadar untuk malu tidak membawa buku pelajaran. Ini cukup buat anak anak kelas 4-7. Memberi hukuman menulis 100 kali, 2 halaman atau semacamnya kadang juga tak membantu. Jadi lebih efisien kalau anak anak sadar tugasnya.
3. Mengabaikan siswa.
Kadang ini sebenarnya trik saya. Anak ngga bawa buku kadang sebenarnya minta perhatian kita sebagai guru. Dengan psikologi pembalikan, saya justru mengabaikan mereka, yang membuat mereka menyadari bahwa perilaku negatif hanya akan diabaikan oleh Ms Maria, mendingan berperilaku positif saja yang mendapatkan perhatian.
Nah, ada ide yang lain? Sharing dong, kalau ada idenya.
Terimakasih.
Salam Edukasi.

Maria Margaretha

Sabtu, 02 Juli 2016

Tantangan Menjadi Guru Saat Ini

Heboh kriminalisasi guru kembali bergaung. Kenapa?
Pada masa lalu, seorang guru mempunyai otonomi penuh. Tidak akan ada guru disebut mem-bully siswa walau ia memang membuat siswa merasa bodoh. Malah bagus siswa merasa bodoh sehingga mereka berusaha belajar? Walau malah ada siswa yang patah semangat dan akhirnya anti pelajaran yang diampunya.
Melempar penghapus atau kapur? Ah biasa. Supaya siswa fokus mendengarkan guru menerangkan.
"Belikan dulu bapak es teh di kantin!" Berlomba murid melakukan.
Jika kita dimarahi guru, orang tua kita malah menambahi omelan. Ada juga kita diam tidak akan bercerita
Masalahnya, itu dulu.
Saat ini, bisa kena pasal deh salah bicara saja.
Tidak mudah menjadi guru saat ini. Pembekalan terus diberikan, namun kadang kita lupa zaman. Dulu saya mengalami itu dan saya ngga protes. Anak sekarang manja banget sih? Beda zaman. Gap generasi.
Sebenarnya kita perlu memahami batas.
Melempar kapur/penghapus itu sudah ngga zaman saat ini. Kita bisa siapkan power point dan alat peraga untuk menarik perhatian.
Saya, sebagai guru kadang mentok dengan wajah saya yang hampir selalu tersenyum. Tapi, suara saya adalah senjata saya. Biasanya, cukup sebut nama lengkap si anak, dia sudah tahu bahwa saya menginginkan perhatiannya.
Dulu, ngga bikin PR panik. Sekarang, PR 1 halaman, bisa ngomel panjang pendek orang tuanya. Jadi bagaimana? Tidak bikin PR? Tahan sepulang sekolah. Beritahu orang tuanya bahwa si anak perlu pelajaran tambahan. Guru dapat nama, guru penuh perhatian. Hahahahaha. Padahal, itu hukuman. Hanya membahasakannya saja yang membuat kita sebagai guru lebih bermartabat.
Kalau anak kurang ajar, telepon orang tua. Tanyakan, anaknya harus diapakan? Intinya sih komunikasi politik positif saja dengan orang tua.
Apa sih tantangan guru?
1. Rentang perhatian anak yang pendek
Tiap hari anak diizinkan ortu nonton TV, main games online dan internetan. Bagaimana anak bisa fokus pada rentang seperti zaman kita yang nyaris ngga ada online online an itu? Jelas, ini mengubah kemampuan memperhatikan anak.
2. Orang Tua siswa
Masa lalu, orang tua percaya penuh pada guru. Saat ini orang tua berusaha terlibat lebih pada pendidikan anak. Kadang terlibatnya malah ngga pas juga. Kelewatan dan anaknya jadi ngga mandiri.
3. Media sosial
Media sosial bisa jadi teman tapi juga lawan buat guru. Informasi bisa beredar di media sosial. Tapi anak sekarang yang sudah kenal media sosial juga membuat tantangan ekstra.
4. Yayasan dan Managemen Sekolah
Ini juga tantangan guru khususnya di swasta. Tetapi bukan berarti di negeri tidak. Guru negeri berhadapan dengan kepala sekolah dan aturan pemerintah yang mengikat. Guru swasta dengan Yayasannya dan kepala sekolahnya. Ada kalanya ada sistem yang tidak sesuai dengan ilmu pendidikan dan kemanusiaan. Tapi tetap kita jalankan, karena sudah aturannya.

Jadi, bagaimana?
Sederhana saja. Guru perlu tetap update ilmu, memelihara kasih sayang dan menjauhkan kekerasan. Anak di kelas kita punya orang tua. Komunikasi lah lebih intens. Insya Allah terhindar kriminalisasi.

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...