Tampilkan postingan dengan label personal reflection. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label personal reflection. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 September 2016

Membangun Attitude yang Baik.

Attitude dibangun dalam kondisi yang tidak baik. Keadaan yang tidak baik adalah situasi baik untuk punya sikap baik. Contohnya kita bisa memilih mengambil respon baik dalam situasi tidak baik.
Pengalaman banyak orang saat situasi tidak baik muncul, itulah ujiannya. Terjebak macet, gaji terlambat, ketemu orang egois, yang bukan karena kita rencanakan tentunya.
Respon baik seperti apa?
1. Tidak menyalahkan sikap/ keadaan/ orang lain
2. Tidak kompromi dengan hal hal yang prinsip.
3. Punya kemampuan yang dapat diandalkan dan teruji
4. Lakukan yang terbaik dalam semua keadaan.
Jadilah maksimal.

Senin, 18 April 2016

Mengunjungi Orang Sakit

Dirawat inap di rumah sakit, sepertinya sudah tidak jadi kejutan buat saya. Sejak tamat SMA, entah sudah berapa kali dirawat.
Langganan typus, pernah kena virus toxo, virus entah apa, sampai kenyang deh dirawat inap.
Setiap tahun doa saya selalu sama, mudah-mudahan tahun ini ngga masuk RS. Tapi kebanyakan doa itu dijawabnya tidak. Yah, bukan salah TUHAN juga sih. Saya ini susah sekali mengukur diri. Rasanya belum "trying my best" kalau belum sampai tepar berat. Itulah.
Tapi tulisan ini bukan soal sayanya.
Tulisan ini mau sharing, apa sih sebaiknya yang kita lakukan saat mengunjungi orang sakit, pada sudut pandang si sakit.
1. Batasi waktu berkunjung.
Ingat, dia itu sakit. Pastinya perlu istirahat. Kalau mengunjungi orang sakit di rumah, mending. Bisalah me ngobrol dengan keluarga si sakit di luar. Kalau di rumah sakit, janganlah sampai gelar tikar dan ngerumpi. Iya kalau si sakit sendiri di kamar. Lha kalau kamarnya berdua atau bertiga atau di barak? Kasihan kan yang lain.
2. Apa yang harus dibawa?
Kadang mengunjungi orang sakit tidak perlu membawakan apa apa. Kita tidak pernah tahu pasti pantangan si sakit. Jangan sampai merusak diet dari dokter. Saya sendiri punya kebiasaan unik. Selain mendoakan yang sakit, jika itu murid saya, kadang saya membawa buku cerita dan membacakan cerita. Kalau tidak ada buku cerita, saya kadang membawakan saja cerita tentang keadaan dan kejadian di sekolah. Menyampaikan salam dari teman temannya.
3. Pastikan yang sakit tidak terganggu karena kunjungan kita. Seorang teman pernah mengunjungi saya di rumah sakit. Memang jarang sekali saya ditemani jika dirawat. Jadi saya tidak tahu bahwa yang bersangkutan mengunjungi saya. Hanya heran saja, kok ada buah di meja samping tempat tidur. Tetangga sebelah tempat tidur memberi tahu, tadi ada yang berkunjung, tapi ibu sedang tidur. Setelah sehat, baru saya tahu yang berkunjung itu siapa. Saya sangat menghargai perhatiannya. Sudah capek capek berkunjung tapi mau peduli pada keadaan saya dengan membiarkan saya tetap beristirahat.
4. Catatan yang ini khusus buat yang Kristen. Bukannya ngga boleh mendoakan yang sakit, tapi ada saran, mendoakannya tidak perlu keras-keras. Tuhan dengar kok. Kan bukan sedang pamer toh berdoanya? Kecuali yang sakitnya di ruang VIP dan tidak ada pasien lain di sekitarnya.
Welk, selamat mengunjungi orang sakit. Please behave... #smile

Selasa, 08 Desember 2015

Menerima Permintaan Maaf

Siapa yang senang dengan sengaja membuat kesalahan? Hal yang terpikir oleh saya adalah, tidak ada. Tak ada orang yang mau membuat kesalahan. Typo bisa dibetulkan dengan tombol del dan ketik ulang. Tapi dalam keseharian kita masih manusia biasa. Membuat kesalahan memang sering terjadi. Bukan disengaja harusnya. Kecuali orang yang iseng atau jahil yang sengaja mau membuat orang salah paham.
Menuliskan ini mengingatkan saya pada suatu peristiwa. Sebagai guru saya punya kebiasaan berdisiplin. Saya kesal kalau ada kolega terlambat masuk kelas, karena cemas anak anak bermain dan mengalami hal yang tak diinginkan. Sampai suatu hari, saya sendiri yang terlambat. Saya yang seperti mesin saat melakukan tugas, karena salah melihat jadwal hari Selasa saya baca Rabu akhirnya terlambat masuk kelas dan dijemput ketua kelas. Memalukan dan menyedihkan saya selama beberapa hari.
Kesalahan seperti ini bukan disengaja. Kata kolega saya, membuktikan kamu manusia. Saya lah yang sulit memaafkan diri.
Sebenarnya, bukan hanya kesalahan semacam ini. Banyak kesalahan yang pernah terjadi. Ada beberapa hal yang saya pelajari dari kesalahan kesalahan saya.
1. Sekalipun kesalahan dibuat tidak sengaja, belum tentu dipahami sebagai tidak sengaja.
2. Meminta maaf tidak menyelesaikan masalah. Karena beberapa orang mempunyai kecenderungan sulit menerima kesalahan dan memaafkan.
3. Melebarkan pintu maaf. Mestinya seseorang minta maaf itu merasa malu. Apalah kurangnya memberi maaf dengan ikhlas tanpa mengungkit ungkit kesalahan lainnya yang mungkin sebelumnya pernah terjadi. Kita tidak mungkin meminta seseorang seperti diri kita.
Saya msalnya ngga mungkin meminta kolega saya ngga terlambat masuk kelas. Tapi saya mungkin bisa mengingatkan jam pelajarannya. Terlambat sekali dalam 6 bulan bisa dimaklumi. Kalau sampai sebulan sekali barulah hal ini perlu menjadi perhatian.
Terpeleset sekali saja sakit. Apalagi berulang kali. Maka, baik juga jika kita menerima permintaan maaf dan melupakannya.
4. Tidak perlu bawa perasaan. Mungkin dia tidak sengaja. Ini penting, karena kan kita ngga mau penyakitan gara gara ketidak sengajaan seseorang kan? Bawa perasaan tak baik buat kesehatan. Memaafkan dengan ikhlas itu sehat dan menyembuhkan.
Selamat memaafkan.

Sabtu, 26 September 2015

Saat kata Maaf tak lagi bermakna

Waktu di Jakarta, saya sering sekali menemui orang tua murid yang marah karena saya atau guru lain melakukan sesuatu yang menurut mereka tidak sesuai harapan. Biasanya orang tua dapat memahami saat saya memulai dengan kata maaf.
Yah, di bank atau layanan publik, kata maaf punya nilai meredakan emosi. Walaupun pihak yang minta maaf bukan pihak yang salah.
Beberapa waktu lalu di blog keroyokan saya biasa menulis, ada permintaan maaf dari seorang anak laki. Ia mengatakan minta maaf asal barter. Menggelikan jadinya. Karena permintaan maaf itu seolah bersyarat. Kata maaf tersebut jadi tidak bernilai.
Maaf lain yang sempat dilecehkan adalah maaf yang saya ucapkan kala seorang wali murid saya menjadi kesal dan membuat status BBM yang menyerang salah satu staff. Dalam kekesalan beliau juga BBM saya sebagai walikelas. Kebetulan juga saya baru saja duduk di cubicle saya siap mengerjakan tugas harian setelah siswa pulang.


Saya segera minta izin menelepon beliau untuk klarifikasi. Staff yang disebutkan saya mintai keterangan. Namun staff tersebut menolak mengakui kelalaiannya, sebaliknya bersikeras telah melaksanakan tugasnya. Sebelum melanjutkan investigasi, maka saya memulainya dengan permintaan maaf pada si wali murid. Sayangnya kali ini saya harus mengalami permintaan maaf saya dilecehkan. Wali murid tersebut belum lega dengan permintaan maaf dari saya.
Hal itu disampaikan kepada eks kepala sekolah yang lama, dan sampai pada petinggi sekolah.
Kata kepala sekolah saya, jika bukan kamu yang melakukan kesalahan dan kamu masih investigasi hindari mengatakan maaf.
Maaf untuk apa yang tidak kamu tahu itu adalah kesalahan. Sorry for nothing.
Pelajaran baru nih. Agak sakit belajarnya. Saya mengira minta maaf menyelesaikan masalah ternyata tidak selalu. Padahal asli, saya tulus minta maaf.


salam dari Jambi


Maria Margaretha

Jumat, 25 September 2015

Bunuh diri, mengapa?

Kebiasaan saya saat berjaga di pos satpam untuk memastikan informasi libur tersampaikan adalah membaca koran dan mengobrol dengan petugas security sekolah. Pagi ini seorang security membaca running text di TV saat saya membaca. "profesor unair bunuh diri."
Segera setelah masuk mess saya mencari berita tersebut. Benarlah. Memang di Surabaya ada peristiwa tersebut.
Ikut sedih deh saya.
Namun demikian ini menjadi momen bagi saya berefleksi. Ya.
Mengapa seseorang dengan gelar profesor dan pekerjaan yang baik sampai bunuh diri?
Fenomena bunuh diri bukan hanya terjadi di kalangan profesional dan non profesional. Status sosial baik atau tidak baik. Tapi terjadi pada semua kalangan.
Mengapa?
1. Tidak mempunyai harapan.
kehilangan harapan membuat seseorang nekad. Tidak lagi ada harapan. Misal, penyakit terminal, tidak ada yang merawat. Kesendirian dan daripada tidak sembuh sudahlah dipercepat saja.
2. Rasa tidak berharga.
orang orang yang merasa tidak berharga rentan terhadap godaan bunuh diri.
Bisakah ini dibantu?
Bisa.
Pendampingan intensif dan komunikasi terapeutik akan menolong orang2 yang mau bunuh diri membatalkan niatnya.
Saya sih bilangnya kalau ada orang yang bikin salah jangan terus diingatkan kesalahannya, tapi dibimbing supaya tidak kembali ke kesalahan yang sama.
Orang yang sakit disemangati supaya mau berjuang akan hidupnya.
Penting.
Jangan beri harapan kosong.
Selamat pagi.

Sabtu, 29 Agustus 2015

Adaptasi dan Fleksibilitas

Sebagai seorang manusia yang berorientasi pada tugas, dan bukan manusia, saya memiliki kecenderungan konflik yang tinggi dengan orang lain. Adaptasi adalah masa masa penyiksaan bagi saya. Pertama kali selalu dan selalu melibatkan emosi tingkat dewa-dewa perusak yang memalukan bila diingat. Adaptasi dengan orang terutama. Membutuhkan fleksibilitas tinggi yang jujur saja tidak saya miliki.

Dengan keadaan emosional saya yang rentan terhadap perubahan yang mendadak, tentunya tidak mudah bagi saya menghadapi orang-orang yang spontan dan cenderung berorientasi pada manusia. Bukan pada tugas dan aturan.

Kadang kala, walaupun maksud hati saya baik, ditangkapnya jadi berbeda.
Tantangan yang berat untuk saya. Dalam mengemukakan pendapat atau memberikan masukan terkesan seolah memerintah, padahal bukan demikian maksudnya.

Hal yang menjadi kekuatan saya dalam masa adaptasi adalah kemauan menjadi orang yang lebih baik. Saya mau mendengarkan masukan dan teguran, walaupun tidak selalu segera merespon positif, namun saya MAU MENJADI LEBIH BAIK.
Saya benar benar berharap bisa melalui masa adaptasi kali ini dengan baik dan mmpu memperbaiki fleksibilitas saya.
Mudah-mudahan.
Salam hangat dari Jambi


Maria Margaretha



Jumat, 21 Agustus 2015

Menjadi Pembelajar

Pagi ini selagi memeriksa pekerjaan matematika siswa saya, ternyata saya menemukan bahwa anak-anak yang saya lihat mumpuni dalam matematika tidak mendapatkan nilai yang sesuai kemampuan mereka. Setelah saya mengulang periksa, saya menemukan anak-anak ini melakukan kesalahan kesalahan pada soal soal yang relatif mudah.
Mendadak saya jadi teringat sendiri pada kegagalan yang dialami banyak orang. Kadang kala merasa senior, mampu dan berpengalaman membuat orang yang baik terjebak pada kesalahan. 
Yah, membuat kesalahan menjadi hal yang ditoleransi saat kita baru, namun setelah menjadi senior dan berpengalaman semestinya kita tidak melakukan kesalahan yang sama.
Hal hal yang membuat kita melakukan kesalahan:
1. Menganggap mudah.
Ini mah sudah biasa saya lakukan. Gampang. Ah, cuma berhitung saja. Saya bisa. Merasa bisa, membuat kita menganggap sepele suatu masalah. Akibatnya, kita sukar melihat bahwa kita adalah manusia yang tak luput dari salah. Hal ini menyebabkan juga kita jadi sukar menerima koreksi. 
2. merasa tidak bisa.
Seorang yang merasa tidak bisa juga dengan mudah menganggap kegagalan sebagai bukti ketidak mampuannya. Padahal sebenarnya mungkin ia mampu, hanya ia tak mau meregangkan diri dan merasa nyaman dengan keadaan yang aman. 

Menjadi pembelajar artinya kita mesti berhati-hati dengan kedua keadaan tersebut di atas. Murid saya yang memandang mudah latihan, saat test memperoleh nilai dibawah kemampuannya, sama dengan murid yang memandang suatu latihan terlalu sukar dan menolak berlatih akan kehilangan kesempatan meningkatkan kemampuannya, sedangkan, dalam kehidupan, semua orang perlu naik kelas bukan? 

Sama dengan isu bertiup belakangan ini, tentang ojek konvensional dan gojek misalnya. Ojek konvensional, mencoba mengusir pengendara gojek, karena banyak hal, namun sebenarnya, menjadi pengemudi gojek merupakan peningkatan bagi  ojek pangkalan. Biasa mangkal tak tahu akan dapat penumpangkah, dengan menjadi pengemudi gojek, adanya penumpang lebih pasti. 

Tetapi, pengojek perlu belajar. Mengoperasikan HP dengan aplikasi bila tak biasa memang merepotkan. Namun belajar itu perlu. Mengapa tidak mencoba? Jika tak berani mencoba harusnya jangan mengeluh.

Seperti halnya derasnya tenaga kerja asing masuk ke Indonesia. Tahun 2009, saya bekerja di Batam dan banyak teman sekerja berasal dari Filipina. Ada juga orang barat. Guru asing sudah menjadi sesuatu yang biasa setelah itu. Kualitas guru asing belum tentu lebih baik dari guru lokal. Namun tetap saja banyak sekolah memakai guru guru ini. Lebih mahal jelas. Hal yang tidak disadari guru guru lokal adalah, saat persaingan menjadi bebas, perlu kita meningkatan kualitas.

Di m, saya menemukan tenaga kerja Filipina ini gila-gilaan.  Mereka tidak keberatan lembur, samapi 3-4 jam di luar jam kerja demi menyelesaikan tanggung jawab mereka. Dokumentasi kegiatan belajar mereka benar-benar dibuat dengan serius, sesuai standar sekolah. 

Sampai saat ini saya masih menemukan kualitas kerja serupa. Tidaklah heran mereka disukai, walaupun sebenarnya kualitas guru Indonesia juga tidak kalah. Sayangnya, guru lokal, kadang kala lebih berorientasi uang...uang dan uang. Takut kerja, suka uang. 

Saat kalah saing, banyak keluhan. Wajarlah mereka kerja keras, kan gajinya lebih tinggi dan sebagainya. Padahal, saya pernah sekali mendengar bahwa gaji mereka beda tipis dengan saya. Sampai kaget juga waktu itu. Lha kalau ternyata bayaran mereka murah, kok niat sekali mereka kerja dengan serius? 

Ternyata kemudian saya tahu, bahwa, waktu di Batam, mereka diberi bonus tahunan yang jumlahnya cukup menggiurkan. Bagaimana dengan di tempat lain? Ada bonus, malah ada yang bulanan, tetapi sesuai penilaian kinerja. Lha kalau dikasih kerjaan mengeluh melulu, banyak alasan, padahal sebenarnya bagian dari tanggung jawabnya? Menolak belajar hal-hal baru? 
Belajar, itu adalah kerja. 

Kita perlu mencoba mengatasi kesulitan dan tidak menganggap mudah kalau ingin naik kelas. 

Yang belajar tentu akan berhasil. Sesulit apapun, belajar itu perlu. Daripada tergerus dan kehilangan kesempatan. 

Salam pembelajar.   


Maria Margaretha
Jambi, 21 Agustus 2015

Minggu, 16 Agustus 2015

Indonesia, Negeriku, atau Negeri Kita?

Pekan baru dimulai,
Besok adalah hari peringatan kemerdekaan RI. Setiap kali bulan Agustus, ada dua hal yang selalu terpikir. Ulang tahun saya, dan ulang tahun kemerdekaan negeriku, yang hanya selisih dua hari.
Aku cinta negeriku.
Aku lahir di Jakarta, besar dan tumbuh di Madura. Kuliah dan belajar di Surabaya, Solo, Jogja dan Jakarta, membuat aku belajar banyak mengenai budaya dan masyarakat di setiap kota yang kusinggahi. Setelah mengajar di Kalimantan Barat, aku makin menyadari beragam dan indahnya kekeluargaan sehingga semakin aku mencintai negeriku ini.
Menyusuri Batam, Bandung dan kembali ke Jakarta, lalu kini berada di Jambi, aku belajar hidup dalam kelompok-kelompok masyarakat.
Kaya dan miskin, Hindu, Budha, Islam, Katolik, Kristen dan Khonghucu, bahkan juga atheis. Orang Batak, Papua, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Arab, serta TiongHoa. Mereka orang di kantoran maupun di jalanan. Memupuk makin dalam cintaku pada bangsaku.
Memaksaku makin mencintai negeri ini. Gunung dan pantai kulewati, Udara dan air kucicipi membuat rasa tak berhenti kian cinta.
Mengajarkan banyak hal dalam refleksi diri.
Mencintai bangsa bukan hanya sekedar kata. Aku berdarah dalam hati saat melihat perilaku bangsa yang memalukan. Aku sedih melihat orang yang berkata cinta namun kurang berbuat. Mengaku cinta bangsa namun tak mau berkorban. Selalu berhitung rupiah dan kenyamanan diri.
Namun rasanya aku tak bisa hanya sekedar berdiam dan berdiam. Aku harus berbuat. Bertindak dengan apa yang aku bisa.
Bercerita pada muridku, cerita kehidupan para pahlawan. Sikap tak pantang menyerah dan rela berkorban, yang telah hangus dinegeri ini. Mengajak mereka mau belajar, membangun semangat rela berkorban dalam perbuatan. Mengabaikan keinginan menyenangkan diri sendiri.
Sederhana.
Sepele.
Namun besar artinya.
Umurku juga terus bertambah. Dua hari sebelum hari peringatan kemerdekaan Indonesia, adalah hari kelahiranku bertahun-tahun lalu.
Aku juga terus berusaha memerdekakan diri dari sifat egois, dari sifat tak peduli yang kasar, dari kenyamanan yang melenakan.
Karena kemerdekaan itu punya tanggung jawab, Kawan.
Karena kemerdekaan itu suatu keberanian berdiri di atas kaki sendiri, Teman.
Karena kemerdekaan itu dimulai dari hati yang merdeka.
Ini negeriku, atau negeri kita???
Mari berjuang dan tetap berdoa.
Salam kemerdekaan.
Salam Edukasi


Maria Margaretha


Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...