Tampilkan postingan dengan label edukasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label edukasi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Juli 2016

Tantangan Menjadi Guru Saat Ini

Heboh kriminalisasi guru kembali bergaung. Kenapa?
Pada masa lalu, seorang guru mempunyai otonomi penuh. Tidak akan ada guru disebut mem-bully siswa walau ia memang membuat siswa merasa bodoh. Malah bagus siswa merasa bodoh sehingga mereka berusaha belajar? Walau malah ada siswa yang patah semangat dan akhirnya anti pelajaran yang diampunya.
Melempar penghapus atau kapur? Ah biasa. Supaya siswa fokus mendengarkan guru menerangkan.
"Belikan dulu bapak es teh di kantin!" Berlomba murid melakukan.
Jika kita dimarahi guru, orang tua kita malah menambahi omelan. Ada juga kita diam tidak akan bercerita
Masalahnya, itu dulu.
Saat ini, bisa kena pasal deh salah bicara saja.
Tidak mudah menjadi guru saat ini. Pembekalan terus diberikan, namun kadang kita lupa zaman. Dulu saya mengalami itu dan saya ngga protes. Anak sekarang manja banget sih? Beda zaman. Gap generasi.
Sebenarnya kita perlu memahami batas.
Melempar kapur/penghapus itu sudah ngga zaman saat ini. Kita bisa siapkan power point dan alat peraga untuk menarik perhatian.
Saya, sebagai guru kadang mentok dengan wajah saya yang hampir selalu tersenyum. Tapi, suara saya adalah senjata saya. Biasanya, cukup sebut nama lengkap si anak, dia sudah tahu bahwa saya menginginkan perhatiannya.
Dulu, ngga bikin PR panik. Sekarang, PR 1 halaman, bisa ngomel panjang pendek orang tuanya. Jadi bagaimana? Tidak bikin PR? Tahan sepulang sekolah. Beritahu orang tuanya bahwa si anak perlu pelajaran tambahan. Guru dapat nama, guru penuh perhatian. Hahahahaha. Padahal, itu hukuman. Hanya membahasakannya saja yang membuat kita sebagai guru lebih bermartabat.
Kalau anak kurang ajar, telepon orang tua. Tanyakan, anaknya harus diapakan? Intinya sih komunikasi politik positif saja dengan orang tua.
Apa sih tantangan guru?
1. Rentang perhatian anak yang pendek
Tiap hari anak diizinkan ortu nonton TV, main games online dan internetan. Bagaimana anak bisa fokus pada rentang seperti zaman kita yang nyaris ngga ada online online an itu? Jelas, ini mengubah kemampuan memperhatikan anak.
2. Orang Tua siswa
Masa lalu, orang tua percaya penuh pada guru. Saat ini orang tua berusaha terlibat lebih pada pendidikan anak. Kadang terlibatnya malah ngga pas juga. Kelewatan dan anaknya jadi ngga mandiri.
3. Media sosial
Media sosial bisa jadi teman tapi juga lawan buat guru. Informasi bisa beredar di media sosial. Tapi anak sekarang yang sudah kenal media sosial juga membuat tantangan ekstra.
4. Yayasan dan Managemen Sekolah
Ini juga tantangan guru khususnya di swasta. Tetapi bukan berarti di negeri tidak. Guru negeri berhadapan dengan kepala sekolah dan aturan pemerintah yang mengikat. Guru swasta dengan Yayasannya dan kepala sekolahnya. Ada kalanya ada sistem yang tidak sesuai dengan ilmu pendidikan dan kemanusiaan. Tapi tetap kita jalankan, karena sudah aturannya.

Jadi, bagaimana?
Sederhana saja. Guru perlu tetap update ilmu, memelihara kasih sayang dan menjauhkan kekerasan. Anak di kelas kita punya orang tua. Komunikasi lah lebih intens. Insya Allah terhindar kriminalisasi.

Minggu, 19 Juni 2016

Gaji Guru yang Layak

Kurang lebih 3 minggu yang lalu, saya berbincang lewat WA dan telepon dengan teman saya. Ia baru saja menjalani interview dengan sebuah sekolah internasional ternama. Benar, kita sudah tidak menyebutnya sekolah internasional, namun Satuan Pendidikan Kerjasama, di kawasan selatan ibukota Indonesia.
Ia sempat sangat excited. Memang background pendidikannya bukanlah dari pwndidikan, tapi bersangkutanlah kalau dengan dunia pendidikan. Ia sudah menyelesaikan masternya sekitar 4 tahun yang lalu.
Kami berkenalan sebelum ia berada di Jakarta dan saya tahu Ia pernah berkecimpung di dunia pendidikan.
Saat itu saya pernah bertanya salary yang dia peroleh. Kebetulan saya juga mengajar, bedanya saya mengajar di sekolah umum dan dia di lembaga pendidikan bernafaskan agama.
Kaget juga saya tahu, range salary dia. Wow, masa cuma segitu?
Tapi, yang di sini lebih mengejutkan lagi. Untuk sekolah bertaraf Internasional, gaji asisten gurunya hanya setara mungkin 75% spp 1 siswa. Eh, halo? Serius?
Benar. Setengah shock juga.
Lalu saya baca status seorang teman di FB menceritakan bahwa ia menarik anaknya dari sebuah sekolah berlabel agama karena gaji gurunya yang tidak layak, padahal SPP mahal dan menerima dana BOS juga.
Ternyata banyak sekolah swasta berlabel agama, bahkan bertaraf internasional memberikan gaji yang setara gaji buruh pada gurunya. Bahkan lebih kecil dari gaji buruh juga ada.
Lha, kemana SPP murid? Dan mereka juga masih menerima dana BOS. Eh, benar lho.
Lalu berapa sih standar gaji guru?
Menurut saya, gaji guru sebaiknya di atas UMR. Gaji pokoknya. Harus di atas UMR. Masa guru disamakan dengan pesuruh sekolah? Ada lho sekolah yang begitu. Untuk kota besar sebaiknya ditambahkan uang transportasi yang memadai setiap hari kerja. Itu yang layak.
Kalau memungut SPP tinggi, tapi tidak memberikan salary yang layak bagi guru?
Sebenarnya paling enak sih diboikot sekolahnya. Apalagi kalau terima dana BOS. Laporkan saja pada Dinas Pendidikan dan Tenaga Kerja.
Lha bawa label agama kok gitu.
Maka dari itu, menjaga mutu pendidikan dimulai dengan kesejahteraan guru.
#garagarastatusFBms.Dewi

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...