Sabtu, 17 Januari 2015

Guru, Panggilan dan Ibadah

Kemarin sore, sekolah saya, Pelita, menyelenggarakan ibadah dan perayaan Natal. KAli ini, acara tersebut untuk guru-guru. Sekitar 200 guru dariberbagai jenjang menghadiri acara ini. Walaupun tidak semua guru Nasrani, namun karena sejak awal bergabung guru-guru tersebut telah mengetahui affiliasi sekolah, maka banyak guru senior non Nasrani juga mengikuti acara. (Habis acara dapat amplop sih... hehehehe. Mudah-mudahan motivasinya bukan amplop) Tahun lalu, acara diselenggarakan secara katolik. Tahun ini secara Kristen.
Sebenarnya tulisan ini bukan hendak menyinggung masalah apa keyakinan guru-guru di sekolah. Namun, yang menjadi topik saya adalah renungan yang disampaikan oleh Pendeta Lie Amin. Guru adalah pekerjaan yang bukan pilihan, namun panggilan. Maksudnya, tak semua orang dipanggil menjadi guru. Ada banyak orang, meninggalkan tugas mengajar, karena
1. Uang. Saya tidak mendapatkan penghargaan yang layak sebagai guru, kenapa harus tetap menjadi guru? Itu pertanyaan lumrah bagi guru berorientasi uang. Uang kan real, nyata, panggilan itu cuma perasaan. Itu juga pendapat lain. Hidup butuh uang, bro, sis. Anak juga harus dikasih makan. Gaji sekian mending saya kerja yang lain daripada jadi guru. TAk heran saat gaji guru dinaikkan banyak orang mulai melirik profesi guru. Namun tetap saja, uang yang utama.
2. Tak sabar. Kesabaran itu bukanlah lahir karena sifat bawaan. Kesabaran itu dilatih. Beralasan kita tak punya kesabaran sebenarnya merupakan pernyataan lain dari tidak terpanggil. Saya bukan orang yang sabar, tetapi saya sudah 12 tahun menjadi guru. Saya bukan tak pernah marah pada murid-murid saya, namun murid-murid saya mencintai saya. Kesabaran saya bukan karena memang saya punya sifat tersebut, namun karena saya mencintai anak-anak saya. Cinta itu lahir dari panggilan.
Dua saja dulu. Kata Pendeta, ada dua pekerjaan yang memerlukan panggilan, Guru dan Ulama (pendeta, ia menyebutnya, karena Kristen). Tanpa panggilan, bayangkan pekerjaan ini melelahkan pikiran, tubuh, dan juga menyita seluruh waktu. Sebagai guru atau dan ulama, seseorang, secara sadar membiarkan dirinya disorot 24 jam perbuatan dan perkataannya. Padahal, guru dan ulama juga manusia lho.
Ada waktunya lelah, sakit, ada waktunya tertekan/stress jika ada masalah, punya keluarga yang belum tentu juga memahami panggilannya. So, bagi kita yang masih sanggup berdiri/duduk sebagai guru, saat ini, SELAMAT atas penggilannya. Ini adalah Ibadah kita pada Sang Pencipta, meneruskan kata-kata dan pengetahuan kepada generasi berikutnya.
Ibadah, karena, hanya TUHAN yang mencukupkan kita. Asal kita setia, pasti, ibadah kita diterima. Rizki mah Tuhan yang atur, kata orang bijak.

Jumat, 16 Januari 2015

Saya dan Menulis

Belakangan ini, sejak aktif di media sosial dengan judul awal kompas, saya menulis nyaris setiap hari. Banyak sekali tulisan saya, mulai dari dunia mengajar maupun pemikiran mengenai berbagai fenomena, dan juga tak jarang sekedar mengeluarkan uneg-uneg. Dalam 1 tahun 9 bulan menulis di media tersebut, saya sudah membuat 4 buku keroyokan dan membukukan 30 tulisan secara mandiri. Buku yang merupakan kumpulan 30 artikel saya tersebut telah terjual sekitar 100 exemplar. Belum kembali biaya pencetakannya, namun beberapa pembeli mengatakan, seandainya saya melakukan editing dan serius menggarap buku tersebut mestinya akan jadi baan pengayaan bagi guru. (Dalam hati saya, benarkah?) Beberapa tulisan original yang lahir dari pengalaman dan sempat saya tuliskan di sini juga sebenarnya tak lebih dari ungkapan hati. Saya mencintai dunia mengajar dan bermimpi, masih bermimpi, akan menjadi penulis cerita anak,....Mempengaruhi anak lewat tulisan, mengajarkan karakter positif melalui tulisan. Oh,... impian yang,... mungkin akan terwujud. HANYA JIKA SAYA DISIPLIN MENULIS. #cuma catatan pagi, sebelum kesekolah#

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...