Sabtu, 31 Januari 2015

Menulis yang bermanfaat

Beberapa waktu terakhir ini, saya mengamati tulisan-tulisan yang terdapat pada status FB teman-teman saya. Beberapa diantaranya bernuansa menilai kinerja/perbuatan orang lain, dalam hal ini adalah pemimpin bersama, yang kita sebut Presiden RI saat ini, Jokowi. Saya pribadi tidak berani melakukan penilaian serupa, namun bukan berarti saya melarang orang lain menilai Pak Presiden. Saya mempelajari tuturan yang bernuansa negatif dan mempertanyakan keputusan-keputusan Pak Presiden. Secara umum, saya melihat bahwa menjadi lumrah bagi kita untuk menilai orang lain menurut KACAMATA KITA. Namun demikian, jika kita ada di posisi Pak Presiden, bagaimana?
Salah satu penyebab akhirnya saya membuat sebuah komentar seperti ini,
"Mbak, hihihihi... saya milih Jokowi. Saya tidak menyesal. Mengapa? Walaupun naik angkot sampai sekarang belum turun, walaupun sepertinya saat ini "kelihatannya" Jokowi pembohong, petugas partai, dan inkonsisten,... buat saya itu semua baru terawangan dan rabaan. Karena, saya ini cuma rakyat biasa, ngga tahu politik, dan apapun cerita yang dibawa orang, itu semua,... cerita yang bisa jadi dibesar-besarkan, diringan-ringankan, dan subyektif. Selama saya bisa bekerja tenang, tidak cemas, dan aman, cukuplah. Toh saya belum buat apa2 untuk Indonesia. Hehehe... ngga membenarkan, juga ngga menyalahkan. Saya pengen memberkati pemimpin saya, dengan bijaksana dan membawa damai buat semua. Aamin".
Komentar saya ini dijawab oleh salah satu temannya teman FB saya tersebut demikian,
"Mbak Maria Etha, tolong sejujurnya Jokowi telah buat apa untuk Indonesia?"
Dan pemilik status menjawabnya.
"mbak Maria Etha, sayang sekali kalau demikian, anda merasa belum berbuat apa2 untuk negeri ini.. tak masalah, itu adalah bukti kejujuran. tapi tak bisa mbak salahkan juga, disini banyak orang yang telah mengabdi pada negara ini semenjak mereka remaja.saat orang lain masih berpangku tangan, mereka telah terjun ke masyarakat. oleh karena itu ada kemarahan dari mereka . lagian untuk umat moslim adalah hal yang aneh bila seseorang tidak mau juga mengingat kesalahannya padahal para alim ulama termasuk tokoh agama lintas agama telah mengingatkan. saya tak tahu apa yang mbak yakini, dan tak perlu tahu.... hehehe..."
Kemudian saya menjawab ini, pada temannya pemilik status,
Kenapa nanya apa yang dibuat orang lain untuk Indonesia, Mas? Kalau saya sih nanya diri sendiri aja dulu, apa yang sudah saya lakukan buat Indonesia. Itu point saya."
Kemudian si pemilik status memberitahukan secara tidak langsung bahwa pemberi komentar tersebut adalah seorang profesor. Hiks. Matilah saya profesor saya tanya begitu. Coba? Jadi kaget dong saya. Jadi di FB itu mesti hati-hati, tahu-tahu yang bicara adalah profesor atau doktor,... yang pengetahuannya sudah di atas kita jauh.
"Mbak Maria Etha, dulu memilih Jokowi dasarnya apa? Bukankah dia presiden yg akan bawa kemana Indonesia 5 tahun ke depan? Kalau saya jelas gak milih Jokowi, sedari awal, sejak 3 bulan jadi gubernur DKI, sudah kelihatan banget dia sulit dipercaya. Orang model gini gak bisa dijadikan pemimpin, kecuali kalau Indonesia diinginkan hancur. Dan sekarang..sudah lihat sendiri kan?"
Itu kata si Profesor.
Lha masak hancurnya Indonesia ini karena Jokowi? Haloooo, dia memimpin Indonesia juga baru berapa bulan? Kebijakannya yang mana yang menghancurkan? Buktinya sampai sekarang saya masih bisa bekerja dengan tenang, walaupun, angkot masih ngga mau nurunin harga setelah BBM kembali ke kisaran 6 rb-an?
Lalu inilah kata-kata saya,
"Tanpa mengurangi rasa hormat saya, jawaban saya demikian, Jika capres yang lain bisa dipercaya, saya tentu memilih yang lain. Namun diantara dua, memang, pilihannya tak bisa dibuat sempurna, dua-duanya banyak kekurangan. Tidak memilih juga menjadi pilihan, Namun sebagai warga yang bertanggung jawab, saya memilih yang menurut saya kekurangannya lebih sedikit. Selebihnya, saya melakukan bagian saya sebagai warga negara, mendoakan pemimpin saya agar bertanggung jawab dan melakukan tugas warga negara saya sebaik mungkin untuk memberi manfaat bagi negara ini. Kalau pemimpin saya tidak "amanah", ya tidak perlu dipilih lagi. Sudah. Ini baru 3 bulan, yakin bahwa memang semua yang kelihatan itu adalah sebenarnya? Buat saya, waktu akan membuktikan".
Beberapa hal yang saya renungi setelah itu,
1. Kita dapat memberi manfaat dengan menuliskan pikiran yang positif, bukan yang negatif. Andaikatapun kita tidak merasa sreg, apa salahnya kita telan dahulu dan melihat perkembangan. Bukannya berarti tetap diam jika kritis, namun sejauh ini, sekiranya keadaan begitu parahnya, suara positif kita, perilaku positif kita mungkin bisa mengubah keadaan. Daripada mengeluh di media sosial, apa salahnya jika kita mencoba menuliskan hal-hal baik yang kita lihat di sekeliling kita? Sekecil apapun, hal positif dapat bergulir membesar dan menjadi sesuatu yang bermakna, pada akhirnya.
2. Tuliskan sesuatu yang menghibur, yang bisa dinikmati semua orang. Teman saya mbak Lizz, selalu menulis cerpen, cerbung dan cerita-cerita cinta yang mengingatkan secara tidak langsung ada harapan. Yah, harapan di tengah situasi tak menentu itu perlu.
Politik tak ada habisnya, tak mengenal pertemanan, namun cerita kehidupan masih menawarkan harapan.
3. Tuliskan solusi yang masuk akal. Mungkin, jika kita memang lebih pintar dari Pak Jokowi, kita bisa memberikan pemikiran kita yang masuk akal dan bisa dicoba? Mengapa tidak? Mari kita husnuzon, kata seorang teman. Berpikiran baik. Itu ajakan cantik. Termasuk saat menulis.

4 komentar:

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...