Minggu, 02 Agustus 2009

Benarkah aku autis Asperger?

Beberapa waktu lalu, seorang sahabatku mengira demikian. Aku sempat percaya, karena sahabatku itu adalah tamatan pendidikan luar biasa yang menangani anak2 special need ditempatku bekerja dulu. Aku juga melihat beberapa kesamaan dalam diriku dengan anak2 berkebutuhan khusus tersebut.

Aku memang sangat emosional, dan dapat meledak secara tiba-tiba, tanpa peringatan. Aku juga tidak terlalu suka bersosial-sosial dengan lingkungan sekitarku. Kadangkala aku juga nggak nyambung. Aku mengalami kesulitan memahami kalimat yang terlalu panjang secara lisan. Kalimat tertulis sih, aku paham. Aku tidak nyaman berada dilingkungan baru dan perlu waktu panjang untuk beradaptasi. Seingatku, hal itu sudah terjadi sejak aku masih kecil. Hanya, waktu kecilku kan autis, ADHD, dan asperger belum banyak kasus. Guru-guruku sering kewalahan menghadapiku. Seingatku, aku pernah berkelahi dengan teman laki-laki di SMP.

Aku sempat menakuti sahabatku Nugroho, ketika ia berkata ia mencintaiku, dengan pernyataan ini. Aku ingin, dia mundur dan menyerah. Siapa yang mau dengan gadis autis???

Sampai suatu hari, aku bertemu dengan seorang psikolog. Ia sudah menjadi psikolog untuk jangka waktu bertahun2. Ketika aku berbincang dengannya, dan ia menjelaskan hasil tes psikologiku, aku menanyakannya. Ibu psikolog itu, dengan tegas berkata, tidak, kamu bukan autis asperger. Kamu seorang normal yang memiliki empati tinggi (terlalu peduli) dan idealisme yang besar, sehingga kamu menjadi mudah emosi. kamu tidak bersosialisasi, karena kamu mampu melihat lingkungan sosial yang kamu hadapi dan kamu "memilih" dengan siapa kamu mau bersosialisasi. Kamu adalah seorang yang potensial, cerdas dan mampu beradaptasi. Kamu memiliki kemampuan merefleksi diri. Mengenai daya tangkap lisanku, menurutnya bukan masalah besar. Aku dapat berlatih untuk meningkatkan daya tangkap lisanku.
Psikolog itu memberiku beberapa saran, dan mendorongku mengambil resiko untuk membangun hubungan sosial dengan orang lain dengan tidak pilih-pilih.

Aku mensyukuri, kesempatanku bertemu psikolog itu. Aku belajar untuk mulai mengambil resiko. Aku juga ingin, punya kemampuan mengalah, bersabar, dan lebih fleksibel. Sebagai manusia normal, aku bisa mengendalikan emosiku kan??? Aku berterimakasih untuk Ibu Psikolog yang baik hati itu yang membuatku jadi bersemangat dan menolongku lebih memahami diriku sendiri.

5 komentar:

  1. Kayaknya kamu bukan asperger deh,karena kamu masih punya sahabat dan memiliki empati tinggi.sementara aku ingin bergaul tapi tidak ada seorangpun yang mau bergaul denganku karena aku tidak bisa bercanda sama sekali dan lemah dalam bahasa non verbal,kadang2 juga aku gak nyambung kalo bicara,kaku.umurku 19 tahun didiagnosa sejak umur 17 tahun.disekolah aku selalu diejek dan dibullied oleh teman2

    BalasHapus
  2. Dear Arif,
    menurut aku, apa yang kamu alami hampir sama dengan yang aku alami. Aku mengerti apa yang kamu rasakan. Pada suatu saat nanti kamu akan mendapakan seseorang yang mau bersahabat sama kamu. Waktu dulu, aku juga ngga punya teman kok. Aku ingin berteman, tapi sepertinya orang nggak mau teman sama aku. Mereka mengejekku dibelakang aku. Rasanya ngga enak deh. Sekarang aku sudah nggak memikirkan perbuatan orang yang mengejek itu lagi. Mereka itu bukan orang baik. Bukan keinginanku, dan keinginanmu menjadi seperti ini. Aku berusaha meminimalkan kekuranganku dengan berlatih. Kadang capekkkkkkkkkkk berlatih.

    BalasHapus
  3. bagaimanpun manusia merupakan mahkluk yang memiliki sifat yag berbeda. Apa yang dialami olehmu adalah sebuah perjalanan yang memang sedikit rumit tetapi harus bisa mengatasinya. berusahalah bersosialisasi dengan baik, pahami karakteristik orang tetapi jangan sampai empati seperti itu.okeeeeee

    BalasHapus
  4. Dear gun-gun, maybe it doesn't like empathy. It's a real thing that, what we feel, what we think is really different. Mungkin kamu belum memahami, bagaimana orang-orang asperger berjuang menyesuaikan diri dan bergulat dengan letupan-letupan emosi yang kadang dapat berbahasa bagi diri mereka sendiri.

    BalasHapus
  5. Saya memiliki pengalaman yang mirip-mirip dengan Mbak Maria. Saya menyadari kelemahan saya sebagai orang yang memiliki idealisme tinggi dan memiliki banyak ekspetasi terhadap orang lain. Saat ini saya mencoba untuk tak berekspetasi banyak terhadap orang lain dan lebih banyak mengambil keputusan agar hidup terus maju. Oh ya Mbak Maria, saya akan merasa sangat senang jika kita punya kesempatan ngobrol banyak lewat e-mail. E-mail saya ada di: ardiyanto.pramono@gmail.com. Sementara itu blog saya adalah:
    http://ruang-apresiasi.blogspot.com/

    BalasHapus

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...