Minggu, 26 Februari 2017

Kemahalan? Makan di mana?

Pagi tadi, saya bangun agak kesiangan. Sepertinya efek tidur kemalaman setelah nonton Sing Street di Plaza Indonesia. Bangun kesiangan membuat malas. Jelas. Jadi setelah bergulir gulir di kasur beberapa saat saya baru benar benar bangun dan perut saya kelaparan.
Baru jam 11 saya keluar mencari makan. Pilihan makanan di area kost saya memang lumayan banyak. Mulai kelas pinggir jalan, warteg, kafe dan restoran.
Ada Upnormal, di Susilo Raya, Dapoer Roti Panggang, yang model kafe kafe. Ada warung mie Aceh Sabeena, dan beberapa warteg di area Susilo III.
Akhirnya, pilihan saya adalah warteg yang bersebelahan dengan warung soto Lamongan di Susilo 3. Menunya, Cah Jamur, labu, dan kakap asam manis. Segelas teh tawar hangat saya pesan sebagai tambahan.
Pas bayar, saya diberi harga lima belas ribu. Saya membayar dengan uang 20 ribuan. Tapi, diberi kembalian 5000 an dan 2000 an serta 500 an dua. Bingung.
"Pak, kan 15 ribu?"
" 15 rb kemahalan. Nanti ngga makan lagi".
Saya tersentuh dengan jawaban tersebut. Bukan apa apa. Buat saya, makan adalah kebutuhan primer. Kalau lapar ya makan. Berapapun harga makanannya. Kalau beli makan di kafe bisa, masa makan di warung nawar? Yang benar saja.
Kesadaran bapak itu membuat saya berpikir, apakah sesuai jerih lelah memasak dengan harga makanan?
Terlepas dari rasa, kreativitas pemasak dan juga usaha memasak dengan segala persiapannya perlu dihargai dengan baik.
Trimakasih pak, sudah memberi saya renungan pagi, lewat kalimat sederhana. Selamat makan. Salam
Maria Margaretha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...