Sabtu, 28 Agustus 2010

Adaptasi Pergantian Tempat Kerja

Saat meninggalkan Batam, 11 Juni 2010 silam, saya sudah menerima pekerjaan baru di sebuah sekolah berkurikulum nasional, di Jakarta. Pada saat itu, saya berharap bisa bertahan lama di sekolah tersebut. Saya juga berharap bisa mengaplikasikan pendidikan konseling yang saya jalani di STT Jaffray dengan tugas di sekolah. Saya memang memilih sekolah tersebut karena jabatan yang ditawarkan. Jabatannya yaitu, Koordinator Konseling & Character Building TK-SMU. Sekalipun gaji yanng ditawarkan sangat kurang, saya tidak terlalu peduli karena saya berharap dapat praktek sebagai konselor, sebagai benefitnya. Apalagi, sekolah tersebut dilatarbelakangi oleh Panti Asuhan, tentunya tingkat kebutuhan konselornya tinggi. Sebagai tugas tetap saya selain di Konseling, saya akan menjadi guru Matematika dan wali kelas di SD.
Saya menggunakan waktu libur saya untuk mempelajari tugas saya sebagai konselor sekolah nantinya. Saya hanya mengambil 3 hari libur, karna banyak sekali materi yang perlu saya siapkan dari TK-SMU itu. Saya bahkan tidak dapat mengikuti bakti sosial di gereja saya karena saya mementingkan tugas baru saya ini. Saya tidak dapat mengikuti camp anak di gereja di mana saya aktif sebagai pembina anak, karena saya memilih fokus di sekolah.
Sekalipun demikian, saya telah menerangkan dan menegaskan pada sekolah, bahwa pada hari-hari Sabtu tertentu, saat saya ada kuliah di STT Jaffray, saya tidak dapat bekerja penuh. Hal tersebut disepakati, selama saya masih melaksanakan tugas saya sebagai wali kelas. Dengan demikian hati saya tenang walaupun tidak libur di hari Sabtu.
Saya tidak pernah mengira bahwa akan ada masalah berkaitan dengan hal ini. Pada saat kuliah Spiritual Formation, Juli lalu, bertepatan dengan acara pelatihan dari tim yang menjadi konsultan sekolah sehingga anak SD diliburkan, dan saya karena ada jadwal mengajar SMA sekalipun SD libur, tetap masuk, walaupun tidak mengikuti training, tetapi segera berangkat kuliah sehabis mengajar. Hari Senin, dalam pertemuan dengan seluruh guru SD, ketua yayasan memarahi semua guru yang tidak mengikuti training. Saat saya menjelaskan mengenai ketidakhadiran saya, di depan seluruh guru ketua yayasan itu berkata, ” Bu Maria mau jadi guru atau mau kuliah? Kalau mau kuliah, nggak usah kerja di sini!”
Saya sungguh merasa dipermalukan. Saya tertekan dan merasa sangat dibohongi. Saya sudah izin pada atasan dan diizinkan, kenapa jadi diperpanjang dan diultimatum demikian? Bahkan lebih mengecewakan lagi, ketua yayasan tersebut berkata” kalau Bu Maria tidak mau bekerja profesional, sekarang juga mundur juga boleh. Saya bisa mencari guru lain.” Saya shock.
Masalah belum berakhir, karena keesokan harinya semua guru SD kembali dipanggil dan dinyatakan atasan saya di nonaktifkan sebagai kepala sekolah dengan alasan tidak berwibawa pada anak buah sehingga dalam pelatihan banyak guru yang tidak hadir.
Dalam minggu itu pula saya diberitahu bahwa selama ini Konseling di sekolah itu hanya membuat masalah. Kalau saya masih mau bekerja di sekolah itu, konsentrasi saja mengajar SD. Tidak perlu konseling-konselingan. Sekali lagi saya shock. Sebagai penegas pernyataan itu, Koordinator Akademik di sekolah membebas tugaskan saya dari tatap muka orientasi konseling di SMP dan SMA.
Kekacauan ini membuat saya kehilangan arah. Saya mengajar tidak bisa konsentrasi, mengerjakan tugas kuliahpun tidak mampu. Ini melumpuhkan. Beberapa teman sekerja menilai kinerja saya menurun drastis. Saya menyadari hal tersebut. Saya mempertimbangkan berbagai hal. Salah satunya adalah, jika saya hanya diminta mengajar SD, saya tidak memperoleh apa-apa dari sekolah tersebut. Pukulan terakhir datang dari bendahara. Saya mendapat pemberitahuan bahwa selama 3 bulan pertama, gaji saya hanya 80%. Hal ini tidak pernah didiskusikan sebelumnya. Saya merasa sangat terpukul. Dengan segala kebutuhan hidup di Jakarta, dan kuliah, jelas tidak cukup. Dengan penawaran awal saja, saya sudah sangat harus mencukupkan diri.
Saya merasa enggan meninggalkan sekolah tersebut sebenarnya karena murid-murid yang sudah terlanjur saya kenal. Saya sulit menerima kenyataan bahwa harapan saya untuk melayani di sekolah itu hancur berantakan, dan menjadi tidak jelas. Lebih tertekan lagi dengan faktor tekanan yayasan yang seolah olah menyatakan saya tidak professional.
Saya beruntung belajar konseling dan membaca buku buku pak Julianto. Lewat buku-buku konseling beliau, saya belajar banyak tentang pentingnya berbagi masalah. Saya membagikan masalah ini kepada teman dekat saya , sehingga rasanya beban lebih ringan. Sehingga, ketika saya mendapatkan kesempatan baru, saya memiliki keberanian untuk mundur dari sekolah tersebut setelah menyelesaikan semua tanggung jawab tugas-tugas administrasi, dan meninggalkan Jakarta kembali, untuk bekerja di Bandung. Di Bandung, saya tidak mendapatkan benefit di bidang konselor, tetapi, melatih bahasa Inggris saya, karna pekerjaan baru tersebut adalah mengajar di Internasional School. Gaji yang diberikan juga lebih baik, yang terpenting, saya libur di hari sabtu dan bisa kuliah dengan tenang.
Saya bersyukur, masalah yang saya hadapi, tidak membuat saya patah semangat belajar, tetapi tetap melihat sisi positif di dalamnya. Memang, awalnya saya sempat kehilangan sukacita karena rasa cemas, dan putus asa.
Benar, saya cemas, karena record kerja saya buruk sekali. Benar-benarkah saya tak mampu beradaptasi, sehingga saya selalu meninggalkan tempat kerja saya dan atau diberhentikan? Saya benar-benar terganggu dengan situasi ini. Saya juga merasa malu meninggalkan pekerjaan saya sedemikian cepat, saya merasa bersalah pada murid-murid saya dari TK-SMU, namun, ini bukan keputusan saya semata, namun merupakan efek beruntun dari sikap arogan dan mementingkan diri dari orang lain. Saya masih sedih bila mengingat murid-murid saya, namun saya berusaha memaafkan diri saya sendiri karena meninggalkan mereka. Saya sedih harus meninggalkan pekerjaan yang baru saja saya jalani, yang saya berharap banyak saat itu. Saya merasa kecewa karena saya menyia-nyiakan waktu saya sehingga dalam 1 bulan apa yang saya lakukan jadi sia-sia. Saya merasa marah, karena dipermainkan dan direndahkan. Saat ini, saya masih berjuang membebaskan diri dari perasaan-perasaan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...