Jumat, 24 Desember 2010

KESEIMBANGAN

Sebenarnya, sudah beberapa lama saya terganggu dengan teman sekerja saya. Ia seorang tamatan S2 dari bisnis administrasi universitas Griffith Australia. Ia mengajar bahasa Indonesia di sekolah saya, untuk kelas 5-6 SD dan SMP-SMA. Sejak pertengahan Agustus lalu ia pindah ke tempat kost saya, karena kost lamanya terhitung mahal. Ia punya mobil sendiri dan setelah ia pindah ke kost saya, biasanya saya menumpang di mobilnya. Sebenarnya sih, saya lebih suka jalan kaki sampai jalan raya dan menggunakan angkutan umum yang juga lewat di depan sekolah saya. Jalan kaki kan olahraga. Hanya saja, saya tidak enak juga satu kost, satu tempat kerja kok pergi sendiri-sendiri, sehingga saya menumpang mobilnya. Selama ini perasaan terganggu yang saya rasakan, selalu saya abaikan.
Apa yang mengganggu?
1. Cerita teman saya. Setiap kali saya berada di mobilnya, ia sering menceritakan tentang konflik-konfliknya. Mulai dari mantan teman sekerjanya, sampai dengan teman pria yang sedang mendekatinya. Penceritaannya bersifat negatif. Ia menyatakan mantan teman kerja yang menfitnahnya, menjelek-jelekkan dia hingga teman pria yang mencoba menipunya. Tak jarang juga peristiwa di sekolah dengan tetangga kubikel yang tidak disukaipun diceritakannya. Saya kecapekan sebelum tiba di sekolah dan setelah pulang kerumah.
2. Ledakan emosinya dengan penghuni kost lain dan tetangga. Saya menyadari bahwa setelah pulang sekolah kami sangat lelah. Saya maklum jika ia ingin bisa segera memarkir mobil dan beristirahat. Namun karena tempat kost kami di kampung, kadang ada saja warga yang titip parkir dan menggunakan tempat parkirnya yang biasa. Saya malu, waktu ia bertengkar dengan salah satu supir anak kost yang mau pindahan. Ia sama sekali tidak mau mengalah. Saya hanya bisa segera bersembunyi di kamar saya sendiri agar tidak mendengar pertengkaran tersebut. Toh, tetangga akhirnya bercerita pada saya. Agak sulit juga menanggapi dengan tenang. Saya hanya bisa bilang, ” yah, mungkin teman saya kelelahan, jadi agak emosional.”
3. 2 minggu lalu, ia bertengkar dengan saya, karena masalah serupa. Ia bertengkar dengan tetangga dan mengatai tetangga, ”saya doakan jualanmu bangkrut” dan si tetangga membalas, ” perempuan kok seperti itu, pantas tidak ada lelaki yang mau. Makanya jadi perawan tua”. Ia menuduh saya memberitahu tetangga bahwa dia tidak punya teman pria sehingga tetangga itu dapat mengatainya demikian. Ia juga marah karena setelah pertengkaran teman saya dan si tetangga, sekalipun ikut mobilnya, saya masih membeli bekal makanan dari si tetangga yang berjualan makanan. Saya sangat terpukul dengan tuduhannya, sehingga bingung bagaimana bereaksi. Awalnya saya menanggapi dengan senyum dan mencoba menjelaskan. Sampai tiba di sekolah (waktu itu pagi hari), ia tidak mau menerima penjelasan saya dan berkeras menuduh saya demikian. Seketika saya tertekan sekali dan merasa seperti digodam, sayapun menangis. Dalam keadaan tersebut, saya menyadari bahwa tubuh saya seperti melayang. Saya juga ingat, saya harus mengajar pada jam pertama. Saya tidak bisa konsentrasi. Saya minta izin pulang dan kembali ke kost dengan limbung. Beberapa kali saya nyaris jatuh. Saya menangis sepanjang jalan. Anehnya, keesokan harinya teman saya itu masih mengajak saya berangkat bersama seolah tidak ada apa-apa. Sampai lewat 3 hari ia tidak menyinggung masalah tersebut sama sekali. Ia bahkan mengambil uang makan saya dengan santainya sambil tersenyum-senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Ia mengembalikan sebagian keesokan harinya juga dengan sikap sama. Saya yang stress. Bagaimana mungkin? Setelah bersikeras menuduh, bersikap wajar tanpa ada percakapan yang bersifat klarifikasi? Saya tidak ingin konfrontasi langsung, mengingat emosi saya belum stabil. Saya memilih menarik diri darinya. Perlahan-lahan saya kembali berangkat sendiri, dengan berbagai alasan. Mau mencetak lembar kerjalah, mau ke ATMlah, asal bisa berangkat sendiri. Pulangpun demikian. Mau ke banklah, mau ke mall. Asal bisa menghindar.
Kemudian, terjadilah insiden berikutnya. Wakil kepala sekolah meminta teman saya itu memeriksa lembar soal ujian yang saya buat. Ia mengajak saya berbicara mengenai lembar tersebut. Ia mengakui, ia tidak menguasai isi pelajaran saya. Ia hanya membantu membuat kalimat yang lebih ”mendarat” agar dimengerti siswa saya. Sebenarnya saya heran juga mengapa dia? Lembar ujian itu sebenarnya untuk kelas 2-4 SD, sedang dia mengajar kelas 5-6. Ia mengatakan bahwa ia memeriksa lembar ujian itu bersama guru Bahasa Indonesia kelas 1-4. Saya menanggapi dengan segan (karena saya masih belum siap secara emosi) lalu saya tutup dengan pernyataan, saya masih harus mengerjakan hal lain, karena guru Bahasa Indonesia kelas 1-4 sedang tidak ada dan saya memang masih sibuk merapikan pekerjaan saya lainnya. Saya menemui guru BI kelas 1-4 tersebut secara terpisah, yang mengakui memang ia memeriksa beberapa bagian tertentu dan memperbaiki kalimatnya. Setelah mendiskusikan bagian-bagian yang diperiksa guru tersebut saya membuat revisi. Kemudian saya mulai membaca lebih serius revisi yang dibuat teman saya itu. Saya menyadari bahwa banyak hal yang salah dengan revisinya dan sedikit berlebihan. Saya tidak ingin menjatuhkan teman saya itu. Saya mengusulkan agar lembar ujian saya diperiksa oleh seorang asisten guru yang benar-benar menguasai Bahasa Indonesia karena memang lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia(walaupun hanya asisten di TK), dan saya menjelaskan bahwa saya sedang ada konflik pribadi dengan teman saya itu, tanpa memberitahukan bahwa, revisi teman saya itu banyak yang salah. Lebih netral jika orang lain memeriksa apa yang perlu direvisi. Usulan saya kemudian dibicarakan dalam forum. Saya, guru bahasa Indonesia kelas 1-4, dan teman saya itu dipanggil. Wakil kepala sekolah SMP-SMA dan wakil kepala sekolah SD bersama sama berdiskusi. Keputusannya, saya harus mengabaikan konflik pribadi saya dengan teman saya itu dan tetap mengerjakan revisi tersebut bersama-sama. Akhirnya, saya menyerah. Revisi dari teman saya itu saya abaikan dan saya mengumpulkan lembar ujian saya dengan revisi dari guru BI kelas 1-4 saja.
Rupanya permintaan saya itu menyinggung perasaan teman saya itu dan ia menuduh saya menjelek-jelekkan dia. Saat itu saya sudah siap secara emosi untuk berbicara dengannya. Ia mengeluarkan uneg-unegnya selama 1 jam menuduh saya di hadapan penjaga kost yang dibangunkannya jam 10 malam itu saat saya mengajaknya bicara dengan baik-baik. Ia MENOLAK MENDENGARKAN saya sama sekali. Ia hanya menuduh dan menuduh dan semua tuduhannya tersebut merupakan prasangka saja. Akhir dari cerita ini adalah saya menemukan bahwa teman saya ini mengarang semua tuduhan tersebut.
Selama hampir 3 minggu itu saya mengalami stress karena teman saya itu. Rupanya stress saya ini berkaitan dengan masa lalu saya. Orang tua saya juga memiliki pola pemikiran negatif, seperti teman saya itu. Bertahun-tahun hidup dengan orang tua negatif yang menolak mendengarkan dengan terbuka, membuat saya CUEK DENGAN KATA ORANG. Kebalikan dari teman saya, orang tua saya hanya berbicara untuk memarahi saya dan jika dalam keadaan kesal bisa mendiamkan saya berhari-hari. Sikap orang tua saya itu membuat saya jadi cuek. Namun sekarang, saya jadi merasa bersalah untuk tuduhan yang tidak benar. Padahal, saya tidak bersalah dan tidak perlu menjelaskan apapun pada teman saya itu.
Dahulu, saya sangat ekstrim ”selama saya benar, cuek saja orang bilang apa”.
Sekarang, saya berada di ekstrim ”apa kata orang? Saya harus menjelaskan maksud saya. Mengapa ia tidak mau mendengarkan saya?”
Konselor di sekolah yang menolong saya menyadari bahwa masalah saya sangat sederhana. Saya harus mengabaikan tuduhan teman saya tersebut, dan tidak perlu menjelaskan apapun. Mencoba menjelaskan hanya memperumit masalah. Sebab memang dia tidak mau menyelesaikan masalah. Memang saya tidak menceritakan dia pada tetangga kok. Memang saya tidak bermaksud menjatuhkan dia kok. Biarkan saja dia menuduh. Terserah saja. Karena bukan saya yang rugi, kehilangan teman.
Kesadaran tentang hal ini membuat saya dapat mengabaikan teman saya tersebut. Syukurlah, akhirnya, saya menyadarinya. Namun membuat diri saya seimbang, bersikap cuek jika perlu, dan bersikap peduli pada saat lain, tidak mudah. Saya harus belajar dan banyak berlatih. Kesadaran adanya trauma masa kanak-kanak dan remaja, ketika pendapat dan perasaan saya diabaikan orang tua saya adalah kunci dari kemampuan saya bersikap seimbang saat ini. Saya belajar mencurahkan perasaan dan pendapat saya dalam diary, blog, dan juga dalam doa pribadi. Saya bersyukur memiliki sahabat yang juga sabar mendengarkan saya. Sekarang sih, saya lumayan seimbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...