Kamis, 16 Mei 2013

Sesi kesedihan

Kemarin, 15 Mei 2013. Aku kembali menemui konselor. Mungkin, bagi beberapa orang, menemui seorang konselor adalah hal yang dihindari, walaupun mempunyai masalah. Aku mulai menemui konselor ini lagi, sejak dikeluarkan dari pekerjaanku, awal Maret lalu. Bukannya aku seorang konselor juga? Ya, tapi, akupun perlu membereskan “unfinish business” dalam hidupku sendiri. Aku bukannya tidak menyadari bahwa aku punya masalah dalam management emosi, dan konflik. Rendahnya fleksibilitas, sangat mempengaruhi aku dari berbagai aspek. Kesehatan, pekerjaan dan pelayanan. Aku ingin menjadi orang yang lebih baik. Konselor ini memberiku pantulan-pantulan perasaan dan juga membantuku mengenali hal-hal yang mungkin kusadari namun tidak pernah aku pikirkan. Menyeimbangkan pikiran dan perasaanku. Suatu contoh, aku sangat sedih karena seorang teman dekatku memutuskan berpisah dengan suaminya. Keduanya adalah orang-orang yang kukasihi. Ada 2 tahun puzzle hidupku bersama mereka. Mereka ada disampingku, saat aku sakit. Aku merasa sedih sekali saat mengetahuinya. Rasioku bisa memahami keluhan temanku (yang perempuan lebih dekat denganku). Tapi hatiku tetap pedih. Aku masih belum terbiasa dengan perpisahan. Saat mantan pemimpin kelompok selku ditinggalkan suaminyapun, hatiku pedih sekali. Aku sedih untuk anaknya, perempuan, bagaimana rasanya ditinggalkan seorang ayah diusia dewasa muda? Aku masih bisa mengingat kesedihanku, waktu aku masih SD kelas 6, mencuri baca surat papaku pada mamaku, saat mereka memutuskan berpisah. Bagaimana remaja itu bertahan? Sekarang sudah hampir 3 tahun, pria itu meninggalkan istrinya, PEMIMPIN KELOMPOK SEL. Aku masih sedih. Tahun lalu, kira-kira hari-hari ini, seorang sahabatku (pria) meninggal dunia. Aku baru tahu 4 bulan kemudian. Aku sangat sedih. Kadangkala, aku berharap secara mendadak ia memnyapaku di YM atau FB-ku seperti biasa. Aku masih bisa mengingat, nasehat-nasehatnya yang terkadang aku rasa membosankan,… tetapi sekarang seringkali aku berharap dia masih hidup. Rasa sedih itu juga bersumber dari, mengapa aku tidak tahu dia sakit? Bagaimana bisa aku berteman dan tidak tahu temanku sudah dipanggil TUHAN? Aku perlu merelease, melepaskan emosi-emosi negative ini, bukan? Aku tidak bisa bertahan saja. Sementara itu, aku juga harus membenahi fleksibilitasku. Aku harus mempertahankan pekerjaanku. Aku harus bisa fleksibel. Rajin, jujur serta kompeten saja tidak cukup. Aku sudah membuktikan ini. Aku kompeten, jujur dan rajin. Namun saat emosiku meledak, aku kehilangan pekerjaan semudah aku mendapatkannya. Yap, banyak orang mengaku sulit mendapatkan pekerjaan. Aku bersyukur, aku tidak kesulitan mendapatkan pekerjaan. Semua karena TUHAN. Tapi aku harus mengatasi semua masalahku dulu. Membenahi emosiku, fleksibilitasku yang membuka celah-celah konflik. AKU HARUS. Supaya aku bisa bertahan di pekerjaanku terbaru. Membicarakan kesedihan, aku sedih untuk sahabatku, yang kehilangan istrinya karena sakit, kurang lebih 1 ½ bulan lalu. Aku berempati untuk anak perempuannya. Aku memang tidak pernah memiliki perhatian dan kehadiran mamaku sejak kecil. Mamaku ada, hidup, tetapi, beliau adalah type mama yang sibuk dengan dirinya sendiri, dan dunianya berpusat pada dirinya sendiri. Aku membayangkan anak perempuan seusia anak sahabatku itu harus menghadapi mama yang sakit hampir setahun terakhir dan sekarang kehilangan mama juga dipanggil TUHAN. Aku juga sedih untuk sahabatku, yang kutahu adalah type pria “familyman”. Memang ia tidak mengeluh atau kelihatan sedih, karena bahkan ia sudah berteman kembali denganku, tetapi apa yang sebenarnya ada di dasar hati-nya? Aku ikut sedih dan merasa tidak berdaya memberi apa-apa. Tumpukan banyak perasaan ini mengganggu, walaupun kadang kuabaikan. Saat sesi konseling, aku menemukan pantulan-pantulan dan kilas balik, masa laluku, dalam pengalaman-pengalaman masa kini, baik melalui hidup orang lain maupun dalam hidupku. Kesedihan karena perpisahan, kehilangan dan duka orang lain. Aku menemukan bahwa, untuk dapat melupakan, kita harus bisa mengingat, dan kemudian, menerima, barulah melepaskan, sehingga akhirnya kesedihan itu dapat berganti menjadi syukur. Pada intinya, setelah sesi management emosi dan fleksibilitas ini selesai, aku berharap bisa senormal teman-temanku. Aku ingin mempertahankan teman-temanku, juga pekerjaanku, tanpa membuang idealisme dan prinsip Alkitab dalam hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...