Sabtu, 07 Februari 2015

Disiplinkan Anak bukan Menghukum

Membaca berita mengenai kisah anak SMP tewas karena hukuman fisik dari gurunya, membuat saya tercenung. Cukup lama. Miris sekali, jika anak didik kita meninggal, akibat pilihan yang kurang tepat.
Sebagai guru, hati kecil saya menangis ketika anak didik saya tidak membuat PR. Ada banyak kasus yang menyebabkan kadang kala guru perlu memberi konsekuensi pada siswa. Saya sedih kalau siswa saya tidak menuruti peraturan, masa bodoh terhadap pelajaran, dan kadang memilih terjebak pada kondisi “terikat” dengan games, atau gadget, sehingga ketinggalan dalam belajar.
Konsekuensi logis sebenarnya ditanggung siswa dengan perbuatan itu.
1. Ketinggalan dalam belajar. PR sering diberikan untuk memantapkan pelajaran di kelas. Jika pembelajaran sudah mantap, PR juga bisa menjadi sarana mengulang kembali materi yang sudah dipelajari. Jika siswa tidak membuat PR, kita sebagai guru perlu me-refleksi diri. PR kita ini bermanfaat atau tidak?
2. Kehilangan nilai. PR juga merupakan sarana menolong siswa yang nilai ulangan hariannya jelek. Beberapa siswa saya yang ulangan sering tidak mencapai KKM terbantu dengan nilai tugas. Kalau PR tidak dikumpulkan, atau dikerjakan, pengurangan nilai saja sudah menakutkan bagi siswa. Saya masih ingat waktu SMP saya begadang sepanjang malam, membuat tugas menyusun unsur cerita, dari guru Bahasa Indonesia saya, karena tidak mau nilai tugas saya berkurang. (Tugas ini sebetulnya kelompok, tapi teman sekelompok saya pada malas, jadi saya minta guru saya mengizinkan saya membuatnya individual) Bisa saja kita sebagai guru membuat perjanjian batasan waktu PR dikumpul masih diberikan nilai, dengan pengurangan sampai batas tertentu atau nilai 0 tanpa pengumpulan.
KENAPA HARUS MAIN FISIK?
Sedih sekali. Sangat sedih. Pendidikan memang seharusnya memerlukan disiplin. DISIPLIN SEPERTI APA?
Ini adalah pertanyaan besarnya. Disiplin sebenarnya erat dengan beberapa hal ini.
1. Perjanjian
Membuat perjanjian di awal mengajar adalah hal yang selalu saya lakukan. Murid saya baru kelas 2 SD bahkan bisa memahami suatu perjanjian sederhana. Saya menjelaskan perilaku seperti apa yang saya harapkan dari anak-anak tersebut. Apakah perilaku di kelas, maupun perilaku di sekolah dan perilaku dalam membuat pekerjaan rumah. Konsekuensi apa jikapun disepakati di awal tahun pembelajaran. Misal, menggunakan kata-kata yang baik di lingkungan sekolah. Anak mengatakan kata-kata kasar seperti, “Bego,… bodoh,…Picek…” peringatan pertama adalah panggilan pribadi. Personal conversation. Siapa tahu mereka belum menyadari bahwa kata-kata tersebut kasar. Peringatan kedua adalah teguran. Peringatan ketiga ditulis di buku komunikasi (tertulis), peringatan keempat orang tua dihubungi (lewat telepon). Sama dengan PR atau lupa membawa buku. Peringatan pertama selalu personal conversation. peringatan kedua teguran lisan. peringatan ketiga hubungi orang tua melalui buku komunikasi atau agenda. Peringatan keempat hubungi orang tua secara langsung melalui telepon.
Perjanjian tentunya akan membantu mengkondisikan anak. Disiplin dibangun dengan pengkondisian yang KONSISTEN yang didasari KASIH SAYANG. Anak juga tahu apa yang diharapkan dari mereka dan bisa mereka harapkan.
2. Reward,
Anak SMP punya “pride”. Rasa bangga jika tugasnya tuntas, membuat ia menyelesaikan tugas-tugas dengan bertanggung jawab. Daripada menghukum yang tidak membuat PR, cobalah beri reward pada yang membuat PR. Pastikan reward tersebut membuat yang malas jadi iri. Tidak susah melakukan ini. Siswa saya saja, karena iri melihat reward bersliweran, bisa berubah. Masak anak SMP tidak? Saya tahu, ini perlu kreativitas ekstra memikirkan reward yang sesuai. Bahkan bisa jadi pengeluaran tambahan bagi kita. Tapi, tidak semua reward perlu dana. Ide ide reward gratis bisa didapat dari bacaan-bacaan. Kalau toh memang kita mengasihi anak didik kita, apa sih yang mahal buat mereka?
3. Kerjasama dengan orang tua.
Bapak, ibu guru, kita adalah partner orang tua. Menghukum secara fisik belum tentu membantu anak berubah. Tanya pada orang tuanya, kondisi seperti apa yang bisa membuat anak bertanggung jawab dengan pekerjaan rumahnya. Minta dukungan orang tua.
Saya saat ini mengajar di kelas 5. Hukuman fisik bukanlah pilihan buat saya. Anak kelas 5 sudah preteen. Sudah punya rasa malu. Mengandalkan hal ini, saya tidak menghukum fisik, namun mendorong anak merefleksikan, bagaimana perasaan orang tua yang bersusah payah membayar iuran sekolah jika mereka tidak sungguh-sungguh dalam belajar. Bagaimana rasanya jika tidak naik kelas karena nilai kurang dan harus sekelas dengan adik?
Anak SMP kan sudah remaja. Sudah bisa diajak bicara lebih dari anak SD?
Pendisiplinan pada siswa seyogyanya,
1. mendidik, bukan menyiksa.
2. Memberikan pembelajaran, bukan meluapkan amarah.
3. Membangun/menumbuhkan tekad siswa memperbaiki kelakuan, bukan membunuh.
4. memotivasi bukan mematikan.
Saya berharap guru-guru menyadari bahwa siswa bukan robot, yang akan berubah dengan menulis 100 kali, saya tidak akan lupa membawa PR atau menulis 100 kali saya tidak akan berkata-kata kasar, apalagi dengan push up atau scott jump atau sit up atau lari keliling lapangan. Robot juga tidak berubah, apalagi manusia.
Salam edukasi,
Maria Margaretha

2 komentar:

  1. Memang jadi guru itu susah susah gampang ya mbak Maria. Harus bisa memposisikan diri dengan bijaksana antara pengajar, pendidik dan orang tua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya pak Pical. Sebenarnya tinggal masalah rasa cinta saja sih pak,... tujuan suatu tindakan. Makasih singgahnya pak,...

      Hapus

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...