Jumat, 13 Februari 2015

Mencintai Murid

Kemarin, setelah kembali ke sekolah, cerita-cerita mengenai guru-guru yang berusaha memastikan keslamatan murid-murid yang tidak terjemput, dan orang tua yang berjalan kaki berkilo-kilo meter menjemput anak-anaknya menjadi trending topic.
Namun ada beberapa hal yang ingin saya luruskan, mengenai banjir. Di area saya, Grogol, banjir yang sangat parah hanya terjadi pada hari Senin dan Selasa. Pada hari Rabu relatif surut dan hampir normal. Ketakutan akan banjir susulan lah yang menyebabkan Rabu disekolah aktivitas ditiadakan. Listrik padam adalah alasan kedua. Tanpa listrik bagaimana mau beraktivitas.
Meninggalkan sekolah pada pukul 3 lewat 15 menit senin siang itu, saya menumpang mobil seorang murid kelas 4 yang dijemput supirnya. Mobil hanya ada jok depan. Sedangkan dibelakang digunakan tempat barang-barang. Bersama saya ada seorang walimurid kelas 1, perempuan yang ternyata rumahnya juga di Jalan Rawa Bahagia. Ia menuturkan ia sudah berjalan dari Pluit sejak jam 1 siang untuk mencapai sekolah. Melintasi banjir dan kemacetan, menjemput anak perempuannya. Sementara 3 anak bercanda di atas mobil, saya dan ibu tersebut menyusun rencana menyeberangi banjir. Dua murid saya merengek mengajak jalan kaki saja, tak tahan dengan kemacetan. Keduanya tidak berjas hujan dan tidak beralas kaki. Kecemasan saya sebagai ibu adalah, kalau mereka nanti akan terkena pecahan kaca atau benda tajam di jalan. Saya melompat turun dari mobil membeli 2 pasang sandal jepit. Setelah saya bergantian ibu tersebut turun membelikan makan kedua anak saya dan supir serta anak kelas empat. Hanya nasi putih, mie, dan telur bulat. Asal ada tenaga untuk berjalan. Sementara tidak pasti mobil bisa tiba pada pukul berapa di pom bensin Grogol. Jam 6.15, murid saya laki-laki dijemput di depan Superindo Daan Mogot. Ayahnya berjalan kaki karena motornya mogok akibat mencoba menembus banjir dan membawa jas hujan. Saya membantu anak saya mengenaka jas hujannya dan turun dari mobil. Jalan kaki dari mana? Dari Jembatan Dua, lewat Pesing. Aduhai. Itulah cinta.
Setelah makan, saya dan anak saya juga ibu dan anak kelas 1 itu turun dari mobil, seraya berterimakasih pada supir mobil dan siswa kelas 4 yang memberi tumpangan. Kami berharap kami tidak bertemu banjir karena gerimis masih meraja.
Sampai perempatan lampu merah aman. Berempat kami bahu membahu. Sebentar ibu tersebut di depan sebantar saya di depan. Tangan saya menggenggam erat tangan siswa saya, sambil terus membesarkan hatinya. "sebentar lagi, nak, kita sampai. Ada air bersih untuk mandi, dan bisa pakai baju kering".
Kata saya ketika anak saya mengeluh karena dingin, jijik dan celana dalamnya basah.
Saya melihat ibu anak kelas 1 itu sudah mendekap dan menggendong anaknya. Ia memang tak membawa apa-apa di tangannya. Saya membawa 2 tas dan 1 payung. Saya juga merasa tak sanggup menggendong siswa saya ini. Saya hanya menggandengnya, sambil terus berdoa.
Ternyata, di sebelah lain jalanan tersebut, seorang teman guru membawa siswi kelas 4 yang orang tuanya tak sanggup menerobos air. Ms. X melewati 2 titik banjir jalan Macan pada jam 5 dengan menggendong seorang siswi yang untungnya mungil, sampai di hotel Ibis budget. Siswi tersebut juga berjalan kaki sampai bertemu orang tuanya. Kebetulan di sini, kami searah dengan mereka. Berjibaku kami lakukan toh tetap akan kami lakukan kalau toh kami pulang sendirian.
Jelas membawa siswa bersama kami membuat lebih berat. Namun dalam musibah, daripada mengeluh, kami mencari solusi. Solusi sebuah musibah, dan memperkuat persaudaraan antar guru. Kami GURU PARTNER orang tua. Kami mencintai anak-anak anda, seperti anda mencintai mereka.
Hari ini, murid saya menyalami saya, "ms. happy valentine".
Valentine masih besok. Cinta selalu ada setiap hari. Selamat pagi, salam pendidikan dengan cinta.
Maria Margaretha 13 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...