Sabtu, 23 Mei 2015

Anak dan Perceraian

Entah mengapa, membaca cerpen stripping mbak Lizz membuat saya tergelitik. Bukan masalah ceritanya, namun masalah realita kehidupan di sekeliling yang memang sangat mendekati penuturan cerita tersebut. Beberapa orang anak "korban" perceraian (sulit memilih kata selain korban, namun boleh kalau mau usul) mengalami ketakutan terhadap pernikahan, dan kebanyakan tak berakhir sebahagia tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut. Sebagian menikah dan mengulangi sejarah, dalam arti juga bercerai, karena berbagai hal. Sebenarnya intinya, tidak mau mengulang kesalahan orang tua sih, tetapi justru karena berfokus pada mengulang maka yang terjadi adalah pengulangan.
Sejumlah pertanyaan yang muncul dalam diri anak-anak ini,


1. Mengapa orang tuaku bercerai? Kalau aku jadi anak baik, mungkin mereka tidak bercerai. Anak-anak mengira bahwa penyebab perceraian orang tua mereka adalah mereka. Seolah mereka tidak cukup baik sebagai anak. Harga diri rendah sebagai akibat perceraian adalah hal yang lumrah. Anak bergumul dan tidak pernah berhenti membatin pertanyaan ini. Pada saat mereka menyadari bahwa bukan mereka penyebab perpisahan orang tua mereka, ada tahapan pertanyaan lain yang muncul.


2. Salah siapa orang tuaku bercerai? Ada ibu yang menyalahkan ayah, ada ayah yang menyalahkan ibu. Ibu saya menyalahkan ayah saya, dalam kasus saya. Ibu saya mungkin tidak memaksudkannya demikian. Namun stigma yang menempel di pikiran saya adalah ayah tidak bertanggung jawab. Ayah tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Itu salah ayah. Ayah egois. Saat saya beranjak dewasa, saya menyadari bahwa stigma itu tidak 100% benar. Karena ayah berusaha mencukupi keperluan keluarga, namun ibu saya memang gaya hidupnya melebihi kemampuan ayah. Ayah berusaha, namun memang kemampuan maksimalnya ya sedemikian. Misalnya, ibu suka pesta. Ultah anak harus dipestakan, sementara ayah tidak mampu. Itu yang disebut ibu, ayah tidak bertanggung jawab. Bukan masalah besar andaikata ibu mau menerima ketidak mampuan ayah, namun menjadi besar karena ibu akan mengomel terus-menerus dan mengesankan ayah sebagai figur yang tidak memiliki struggle of life. Ada ayah yang menyalahkan ibu, wanita yang tidak tahu diri. dan sebagainya dan sebagainya.


3. Bagaimana saya nanti tidak mengalami perpisahan seperti mama dan papa saya? Pada titik ini, pengalaman Gracia dalam fiksi tersebut bisa jadi pengalaman kami. takut menikah, takut gagal dalam pernikahan dan tak jarang sebenarnya anak-anak ini dibebani stigma kegagalan pernikahan orang tuanya.


"JANGAN MENIKAH DENGAN X, DIA KAN ORANG TUANYA BERCERAI. NANTI BISA_BISA KAMU BERCERAI JUGA"


Yang sebenarnya, anak tak punya kuasa, tak mampu, dan tak bisa menghalangi orang tuanya agar tidak bercerai. toh mereka mengalami stigma negatif yang sama.


Kabar baiknya dalam cerpen stripping itu ada kalimat menggugah seperti ini, "Kalau memang ngga mau pisah, ya berjuang supaya ngga pisah".
Menarik.
Tidak semua ketakutan terbukti, selalu ada harapan. BAGI YANG MAU MENGUSAHAKANNYA.


Thanks mbak Lizz, buat ceritanya. SO TOUCHING.

2 komentar:

  1. hai mbak retha...
    aku udah nulis panjang-lebar di kolom komentar ini tentang perceraianku sendiri dan pandangan pribadiku tentang hidup anakku pasca perceraian.
    lalu tulisan yg panjang itu kuhapus sendiri karena sebagaimana halnya pernikahan, perceraian adalah sesuatu yg sangat pribadi sifatnya.
    sebagaimana pernikahan, perceraian hanya bisa dipahami oleh para pelakunya.
    perceraianku hanya bisa dipahami olehku dan mantan suamiku, begitu pula perceraian orang tua mbak retha hanya bisa mereka pahami sendiri.
    orang lain hanya bisa menilai dari luar... istilah jawanya "sawang-sinawang".
    begitu juga posisi sebagai korban.
    tidak hanya anak... (mantan) istri dan (mantan) suami juga korban perceraian.
    ada yg bisa menata hidup dengan baik, ada yg gagal.
    keputusan untuk berhasil atau gagal pasca bercerai juga hanya bisa diambil oleh para pelakunya.
    para pelaku perceraian bisa memilih kok, mau jadi korban atau mau survive...mau move on apa tidak...
    aku tidak melihat juno, anakku itu, sebagai korban perceraian.
    dia anak biasa dengan pengalaman hidup yg berbeda dengan teman-temannya yg lain.
    karena sekali aku melabeli juno sebagai korban, maka seterusnya dia akan memposisikan diri sebagai korban.
    aku nggak mau itu.
    dia harus tumbuh jadi laki-laki dewasa yg bahagia dengan dirinya sendiri.
    kalopun suatu ketika nanti ada calon mertua yg tidak mau anaknya dinikahi juno hanya karena aku dan papanya juno bercerai, well, berarti mereka (si camer dan anaknya) tidak layak mendapatkan menantu dan suami seistimewa juno.
    aku percaya setiap orang punya garis nasibnya sendiri, termasuk dengan siapa ia berjodoh.
    dan perceraian orang tua tidak ada pengaruhnya terhadap garis nasib si anak.

    maaf ya mbak, kalo sharingku ini menyinggung mbak retha...
    peyuuuukkkk...

    BalasHapus
  2. Yah,... sudah jawab panjang lewat HP ngga ke submit. Masih gaptek nih mbak Arek. Btw, saya ngga tersinggung, dan satu hal yang saya garisbawahin dari tulisan mbak Arek adalah bagian ini mbak,--- kalopun suatu ketika nanti ada calon mertua yg tidak mau anaknya dinikahi juno hanya karena aku dan papanya juno bercerai, well, berarti mereka (si camer dan anaknya) tidak layak mendapatkan menantu dan suami seistimewa juno---
    Saya percaya pengalaman setiap orang berbeda dan di dalam setiap pengalaman ada saja nilai yang bisa dipetik. Sudut pandang kita juga menentukan keberhasilan kita meniti masa-masa sulit masing masing. Kalau kita bisa berdamai dengan pengalaman yang sulit seperti Gracia dalam kisah di fiksi itu, dan Ilyan, kita bisa menyemangati orang di sekitar kita juga. Makasih sharingnya mbak Arek. Melengkapi dengan perspektif berbeda.

    BalasHapus

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...