Rabu, 04 Februari 2015

Guru, Membuat Perbedaan

Menjadi guru, berarti mempunyai kesempatan membuat perbedaan. Di Ibukota ini, ada puluhan ribu guru, namun apakah sebagai guru kita bisa membuat perbedaan dan menjadikan diri kita "heart warmer" bagi siswa-siswi kita?
Saya terlahir dari keluarga yang tidak berfungsi. Orang tua saya berpisah sejak saya masih kanak-kanak. Lebih buruk lagi komunikasi diantara kami juga tidak baik. Beberapa siswa saya juga demikian. Namun mereka masih cukup beruntung dengan sisi komunikasi lebih baik. Saat masih kanak-kanak, mengais perhatian orang tua sedemikian sulit, tak jarang beberapa bagian dari diri saya masih tak nyaman dengan perhatian orang.
Beberapa siswa saya tak urung mengalami hal yang sama. Ibukota ini kejam. Mereka punya orang tua, namun kesibukan membuat orang tua seolah tak memperhatikan. Beberapa anak beruntung mendapatkan orang tua yang berfungsi, namun cukup banyak yang tidak.
Saya menjadi partner orang tua, memberikan kasih sayang dan perhatian pada anak-anak ini.
Bukan hanya saya sebenarnya, kita sebagai guru punya kesempatan untuk menjadi sahabat orang tua, memberi perhatian dan kasih sayang pada anak-anak.
Guru yang membuat perbedaan,
1. bersedia menyisihkan waktu untuk memberi perhatian.
Seorang rekan saya di sekolah ini, sudah cukup berusia, ia bekerja sekedar meng aktualisasikan diri, mengajar sebagai guru science, ia menyediakan 30 menit waktunya membimbing seorang siswa yang kurang beruntung yang ada di kelas science-nya. Free. Hanya untuk membantu anak ini. Tahun ini, anak tersebut memang tidak lagi bersama kami. Namun, mungkin apa yang dilakukan teman saya akan membekas di hatinya. Mengobrol saja merupakan suatu tanda perhatian, yang membuat anak merasa disayangi. Saya membiasakan turun ke kantin pada saat istirahat, hanya sekedar memberikan perhatian,"What do you eat?" "is your mom cook for you?" "Eat the vegetables, dear. You must need it."
Kadang melelahkan, memang. Kelas saya di lantai 3, ruang guru di lantai 2 dan kantin di lantai 1. Tetapi apa artinya kelelahan saya, saat melihat perkembangan anak-anak yang baik.
Suatu hari, saya terpaksa memberikan konsekuensi pada siswa yang sudah berulang kali tidak membawa buku pelajaran. Anak tersebut mengeluh bosan. Saya duduk dengannya, dengan koreksian di tangan, memberikan penjelasan, mengapa konsekuensi tersebut diberikan. Perhatian saya seutuhnya mendorong dia memperbaiki sikap. Mungkin hari-hari ini belum jelas perbedaannya. Namun siapa yang tahu? Saya sedang menabur.
2. Memberi apresiasi.
Terlalu menuntut, itulah yang terlihat di dunia persekolahan saat ini. Saya memilih memberi apresiasi kepada anak didik saya untuk setiap nilai terbaik. Namun bukan hanya nilai, tetapi juga perilaku terbaik. Saya memilih, memberikan semangat untuk usaha terbaik anak-anak saya. Kadang mereka sudah berupaya, namun, mereka tak menjadi pemilik nilai terbaik di kelas, lalu bagaimana? Bukan nilai saja, saya mendorong mereka bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam melakukan tugas-tugas. Saya memberikan block notes, stationary sebagai hadiah, dan juga sekedar sticker "smiling face".
3. Konsisten
Anak-anak memerlukan payung konsistensi. Jika kita tidak konsisten dengan aturan maka mereka akan menjadi bingung. Salah satu kejadian yang saya alami. Saya mengkampanyekan tidak menonton tayangan kekerasan, lalu dalam suatu fieldtrip sekolah mereka menonton cowboy show. Mereka mempertanyakan pada saya, kenapa nonton acara tersebut. Memang fun, lucu, dan banyak tawa, namun tetap saja banyak kekerasan di sana. Saya lupa bagaimana saya "ngeles"/menghindari dari pertanyaan tersebut, namun saya tidak bisa melupakan rasa bersalah yang saya rasakan berhari-hari setelah acara tersebut.
Konsistensi memberi rasa aman. Ketenangan karena pasti segalanya berjalan sesuai ketentuan. Konsistensi tentu berasal dari aturan yang sudah jelas. Saya berusaha memenuhi janji apapun yang saya berikan pada siswa saya.
contoh, untuk mengelola kelas saya menggunakan sistem pengaturan tempat duduk, saat saya berjanji, bahwa saya akan mengatur kembali bulan berikutnya, maka saya akan menepatinya. Sempat tidak sempat pasti saya lakukan. Penting bagi guru menjadikan diri bisa dipercaya. PR, harus diperiksa. Jangan sampai lupa.
4. Teladan
Mereka perlu contoh. Saya tak selalu bisa memaafkan. Namun saya berusaha keras, karena, kalau saya tidak bisa memaafkan, bagaimana saya bisa bercerita tentang memaafkan pada anak-anak saya? Saya juga kesulitan untuk disiplin, namun tetap berusaha, karena saya adalah contoh untuk anak didik saya.
Aturan dan anjuran yang kita berlakukan pada mereka seharusnya kita lakukan dulu. Kalau kita meminta mereka berdiri tegak, kita juga berdiri tegak. Kalau kita minta mereka menulis rapi, kita harus menulis rapi dulu.
Hmmmh,... sampai jumpa lagi. Selamat hari Rabu.

2 komentar:

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...