Beruntungnya aku pagi ini.
Nonton video unik https://www.youtube.com/watch?v=iz38FbEycms&x-yt-ts=1422579428&feature=player_embedded&x-yt-cl=85114404 yang bikin aku terharu banget. Yak ampun. Yak ampun.
Bukan main banget rasanya. Nyanyi dicuekin itu ngga enak. Tapi, kalau kita tahu penyebab dicuekin mungkin kita bisa melakukan sesuatu.
Iya, sesuatu yang membuat kita diperhatikan selalu menuntut usaha ekstra. Penyanyi yang dicuekin ini akhirnya tahu bahwa pelanggan yang satu ini tuli dan bisu (mungkin). Ia belajar menggunakan bahasa yang dipahami, yaitu bahasa isyarat. So, it’s work.
Yah, ia menyanyi dengan tambahan bahasa isyarat, dan bossnya memberikan lampu emaram sehingga si pelanggan mau tak mau melihat pada si penyanyi,… dan,… here you go,… they are fall in love,… nice movie, cuma 9 menit.
Sabtu, 31 Januari 2015
Menulis yang bermanfaat
Beberapa waktu terakhir ini, saya mengamati tulisan-tulisan yang terdapat pada status FB teman-teman saya. Beberapa diantaranya bernuansa menilai kinerja/perbuatan orang lain, dalam hal ini adalah pemimpin bersama, yang kita sebut Presiden RI saat ini, Jokowi. Saya pribadi tidak berani melakukan penilaian serupa, namun bukan berarti saya melarang orang lain menilai Pak Presiden. Saya mempelajari tuturan yang bernuansa negatif dan mempertanyakan keputusan-keputusan Pak Presiden. Secara umum, saya melihat bahwa menjadi lumrah bagi kita untuk menilai orang lain menurut KACAMATA KITA. Namun demikian, jika kita ada di posisi Pak Presiden, bagaimana?
Salah satu penyebab akhirnya saya membuat sebuah komentar seperti ini,
"Mbak, hihihihi... saya milih Jokowi. Saya tidak menyesal. Mengapa? Walaupun naik angkot sampai sekarang belum turun, walaupun sepertinya saat ini "kelihatannya" Jokowi pembohong, petugas partai, dan inkonsisten,... buat saya itu semua baru terawangan dan rabaan. Karena, saya ini cuma rakyat biasa, ngga tahu politik, dan apapun cerita yang dibawa orang, itu semua,... cerita yang bisa jadi dibesar-besarkan, diringan-ringankan, dan subyektif. Selama saya bisa bekerja tenang, tidak cemas, dan aman, cukuplah. Toh saya belum buat apa2 untuk Indonesia. Hehehe... ngga membenarkan, juga ngga menyalahkan. Saya pengen memberkati pemimpin saya, dengan bijaksana dan membawa damai buat semua. Aamin".
Komentar saya ini dijawab oleh salah satu temannya teman FB saya tersebut demikian,
"Mbak Maria Etha, tolong sejujurnya Jokowi telah buat apa untuk Indonesia?"
Dan pemilik status menjawabnya.
"mbak Maria Etha, sayang sekali kalau demikian, anda merasa belum berbuat apa2 untuk negeri ini.. tak masalah, itu adalah bukti kejujuran. tapi tak bisa mbak salahkan juga, disini banyak orang yang telah mengabdi pada negara ini semenjak mereka remaja.saat orang lain masih berpangku tangan, mereka telah terjun ke masyarakat. oleh karena itu ada kemarahan dari mereka . lagian untuk umat moslim adalah hal yang aneh bila seseorang tidak mau juga mengingat kesalahannya padahal para alim ulama termasuk tokoh agama lintas agama telah mengingatkan. saya tak tahu apa yang mbak yakini, dan tak perlu tahu.... hehehe..."
Kemudian saya menjawab ini, pada temannya pemilik status,
Kenapa nanya apa yang dibuat orang lain untuk Indonesia, Mas? Kalau saya sih nanya diri sendiri aja dulu, apa yang sudah saya lakukan buat Indonesia. Itu point saya."
Kemudian si pemilik status memberitahukan secara tidak langsung bahwa pemberi komentar tersebut adalah seorang profesor. Hiks. Matilah saya profesor saya tanya begitu. Coba? Jadi kaget dong saya. Jadi di FB itu mesti hati-hati, tahu-tahu yang bicara adalah profesor atau doktor,... yang pengetahuannya sudah di atas kita jauh.
"Mbak Maria Etha, dulu memilih Jokowi dasarnya apa? Bukankah dia presiden yg akan bawa kemana Indonesia 5 tahun ke depan? Kalau saya jelas gak milih Jokowi, sedari awal, sejak 3 bulan jadi gubernur DKI, sudah kelihatan banget dia sulit dipercaya. Orang model gini gak bisa dijadikan pemimpin, kecuali kalau Indonesia diinginkan hancur. Dan sekarang..sudah lihat sendiri kan?"
Itu kata si Profesor.
Lha masak hancurnya Indonesia ini karena Jokowi? Haloooo, dia memimpin Indonesia juga baru berapa bulan? Kebijakannya yang mana yang menghancurkan? Buktinya sampai sekarang saya masih bisa bekerja dengan tenang, walaupun, angkot masih ngga mau nurunin harga setelah BBM kembali ke kisaran 6 rb-an?
Lalu inilah kata-kata saya,
"Tanpa mengurangi rasa hormat saya, jawaban saya demikian, Jika capres yang lain bisa dipercaya, saya tentu memilih yang lain. Namun diantara dua, memang, pilihannya tak bisa dibuat sempurna, dua-duanya banyak kekurangan. Tidak memilih juga menjadi pilihan, Namun sebagai warga yang bertanggung jawab, saya memilih yang menurut saya kekurangannya lebih sedikit. Selebihnya, saya melakukan bagian saya sebagai warga negara, mendoakan pemimpin saya agar bertanggung jawab dan melakukan tugas warga negara saya sebaik mungkin untuk memberi manfaat bagi negara ini. Kalau pemimpin saya tidak "amanah", ya tidak perlu dipilih lagi. Sudah. Ini baru 3 bulan, yakin bahwa memang semua yang kelihatan itu adalah sebenarnya? Buat saya, waktu akan membuktikan".
Beberapa hal yang saya renungi setelah itu,
1. Kita dapat memberi manfaat dengan menuliskan pikiran yang positif, bukan yang negatif. Andaikatapun kita tidak merasa sreg, apa salahnya kita telan dahulu dan melihat perkembangan. Bukannya berarti tetap diam jika kritis, namun sejauh ini, sekiranya keadaan begitu parahnya, suara positif kita, perilaku positif kita mungkin bisa mengubah keadaan. Daripada mengeluh di media sosial, apa salahnya jika kita mencoba menuliskan hal-hal baik yang kita lihat di sekeliling kita? Sekecil apapun, hal positif dapat bergulir membesar dan menjadi sesuatu yang bermakna, pada akhirnya.
2. Tuliskan sesuatu yang menghibur, yang bisa dinikmati semua orang. Teman saya mbak Lizz, selalu menulis cerpen, cerbung dan cerita-cerita cinta yang mengingatkan secara tidak langsung ada harapan. Yah, harapan di tengah situasi tak menentu itu perlu.
Politik tak ada habisnya, tak mengenal pertemanan, namun cerita kehidupan masih menawarkan harapan.
3. Tuliskan solusi yang masuk akal. Mungkin, jika kita memang lebih pintar dari Pak Jokowi, kita bisa memberikan pemikiran kita yang masuk akal dan bisa dicoba? Mengapa tidak? Mari kita husnuzon, kata seorang teman. Berpikiran baik. Itu ajakan cantik. Termasuk saat menulis.
Salah satu penyebab akhirnya saya membuat sebuah komentar seperti ini,
"Mbak, hihihihi... saya milih Jokowi. Saya tidak menyesal. Mengapa? Walaupun naik angkot sampai sekarang belum turun, walaupun sepertinya saat ini "kelihatannya" Jokowi pembohong, petugas partai, dan inkonsisten,... buat saya itu semua baru terawangan dan rabaan. Karena, saya ini cuma rakyat biasa, ngga tahu politik, dan apapun cerita yang dibawa orang, itu semua,... cerita yang bisa jadi dibesar-besarkan, diringan-ringankan, dan subyektif. Selama saya bisa bekerja tenang, tidak cemas, dan aman, cukuplah. Toh saya belum buat apa2 untuk Indonesia. Hehehe... ngga membenarkan, juga ngga menyalahkan. Saya pengen memberkati pemimpin saya, dengan bijaksana dan membawa damai buat semua. Aamin".
Komentar saya ini dijawab oleh salah satu temannya teman FB saya tersebut demikian,
"Mbak Maria Etha, tolong sejujurnya Jokowi telah buat apa untuk Indonesia?"
Dan pemilik status menjawabnya.
"mbak Maria Etha, sayang sekali kalau demikian, anda merasa belum berbuat apa2 untuk negeri ini.. tak masalah, itu adalah bukti kejujuran. tapi tak bisa mbak salahkan juga, disini banyak orang yang telah mengabdi pada negara ini semenjak mereka remaja.saat orang lain masih berpangku tangan, mereka telah terjun ke masyarakat. oleh karena itu ada kemarahan dari mereka . lagian untuk umat moslim adalah hal yang aneh bila seseorang tidak mau juga mengingat kesalahannya padahal para alim ulama termasuk tokoh agama lintas agama telah mengingatkan. saya tak tahu apa yang mbak yakini, dan tak perlu tahu.... hehehe..."
Kemudian saya menjawab ini, pada temannya pemilik status,
Kenapa nanya apa yang dibuat orang lain untuk Indonesia, Mas? Kalau saya sih nanya diri sendiri aja dulu, apa yang sudah saya lakukan buat Indonesia. Itu point saya."
Kemudian si pemilik status memberitahukan secara tidak langsung bahwa pemberi komentar tersebut adalah seorang profesor. Hiks. Matilah saya profesor saya tanya begitu. Coba? Jadi kaget dong saya. Jadi di FB itu mesti hati-hati, tahu-tahu yang bicara adalah profesor atau doktor,... yang pengetahuannya sudah di atas kita jauh.
"Mbak Maria Etha, dulu memilih Jokowi dasarnya apa? Bukankah dia presiden yg akan bawa kemana Indonesia 5 tahun ke depan? Kalau saya jelas gak milih Jokowi, sedari awal, sejak 3 bulan jadi gubernur DKI, sudah kelihatan banget dia sulit dipercaya. Orang model gini gak bisa dijadikan pemimpin, kecuali kalau Indonesia diinginkan hancur. Dan sekarang..sudah lihat sendiri kan?"
Itu kata si Profesor.
Lha masak hancurnya Indonesia ini karena Jokowi? Haloooo, dia memimpin Indonesia juga baru berapa bulan? Kebijakannya yang mana yang menghancurkan? Buktinya sampai sekarang saya masih bisa bekerja dengan tenang, walaupun, angkot masih ngga mau nurunin harga setelah BBM kembali ke kisaran 6 rb-an?
Lalu inilah kata-kata saya,
"Tanpa mengurangi rasa hormat saya, jawaban saya demikian, Jika capres yang lain bisa dipercaya, saya tentu memilih yang lain. Namun diantara dua, memang, pilihannya tak bisa dibuat sempurna, dua-duanya banyak kekurangan. Tidak memilih juga menjadi pilihan, Namun sebagai warga yang bertanggung jawab, saya memilih yang menurut saya kekurangannya lebih sedikit. Selebihnya, saya melakukan bagian saya sebagai warga negara, mendoakan pemimpin saya agar bertanggung jawab dan melakukan tugas warga negara saya sebaik mungkin untuk memberi manfaat bagi negara ini. Kalau pemimpin saya tidak "amanah", ya tidak perlu dipilih lagi. Sudah. Ini baru 3 bulan, yakin bahwa memang semua yang kelihatan itu adalah sebenarnya? Buat saya, waktu akan membuktikan".
Beberapa hal yang saya renungi setelah itu,
1. Kita dapat memberi manfaat dengan menuliskan pikiran yang positif, bukan yang negatif. Andaikatapun kita tidak merasa sreg, apa salahnya kita telan dahulu dan melihat perkembangan. Bukannya berarti tetap diam jika kritis, namun sejauh ini, sekiranya keadaan begitu parahnya, suara positif kita, perilaku positif kita mungkin bisa mengubah keadaan. Daripada mengeluh di media sosial, apa salahnya jika kita mencoba menuliskan hal-hal baik yang kita lihat di sekeliling kita? Sekecil apapun, hal positif dapat bergulir membesar dan menjadi sesuatu yang bermakna, pada akhirnya.
2. Tuliskan sesuatu yang menghibur, yang bisa dinikmati semua orang. Teman saya mbak Lizz, selalu menulis cerpen, cerbung dan cerita-cerita cinta yang mengingatkan secara tidak langsung ada harapan. Yah, harapan di tengah situasi tak menentu itu perlu.
Politik tak ada habisnya, tak mengenal pertemanan, namun cerita kehidupan masih menawarkan harapan.
3. Tuliskan solusi yang masuk akal. Mungkin, jika kita memang lebih pintar dari Pak Jokowi, kita bisa memberikan pemikiran kita yang masuk akal dan bisa dicoba? Mengapa tidak? Mari kita husnuzon, kata seorang teman. Berpikiran baik. Itu ajakan cantik. Termasuk saat menulis.
Kisah dari Kelasku, Memanfaatkan Teman
"Miss, besok aku jangan sebangku sama X atau Y ya?"
Aku mengerutkan kening dan tersenyum mendengar permintaan sponsor tersebut. Beberapa waktu lalu permintaan ini muncul dari seorang anak lain, tetapi sama juga pesannya. Hanya beda orangnya. Ngga mau sebangku sama Z. Jawaban pertanyaan itu standar buatku. Selalu dengan pertanyaan yang sama.
"KENAPA?"
Yah. Kasus sebelumnya, si Z itu amat sangat pendiam sekali. Sulit bisa membuatnya bicara bahkan dengan saya sekalipun. PAdahal, Z itu anak yang pintar. Ia suka sekali tersenyum, tapi bicara? Tunggu diancam penggaris kayu. hihihi... Ngga kok becanda. Dia hanya bicara kalau saya atau guru yang menyuruhnya. Jadi teman-temannya keeratan sebangku dengan dia. Ngga asyik, katanya. (Kayak saya, ngga mau bicara, sekalinya bicara lebih panjang dari kereta api. apa ngga ya si Z ini. Penasaran kalau sudah besar kayak apa)
"X dan Y itu suka pinjam alat tulisku miss. KAlau ada tugas juga suka ngga bawa bahan minta sama aku."
Wah,... tanduk saya langsung keluar. Bukan main ini anak-anak, mau memanfaatkan teman ya?
"Kok baru bilang sekarang?"
Aduh,... matanya berkaca-kaca. Salah respon nih saya. "Maksud miss, kan semua harus bertanggung jawab bawa sendiri-sendiri. Ini kan kamu dimanfaatkan, kok ngga kemaren-kemaren Miss dikasih tahu? Kan masalah bisa segera ditindak lanjutin, nak?"
Masih diam. Pusing deh.
"Kamu takut sama miss Maria?"
Anak tersebut menggeleng. "Ngga miss."
Tapi air matanya sudah turun. Saya jadi panik. Aduh. Mati deh saya. Ntar dikira saya apain pula nih anak manis satu ini.
"Aku pernah bilang, tapi miss lupa ngkali?" Katanya mati-matian menahan air matanya supaya tidak jatuh.
"Ha? Kamu bilang yang mana nih? Ngga mau duduk sama X dan Y? Atau kenapa ngga mau duduk sama X dan Y?"
Aku tahu kenapa aku melupakannya. Waktu dia mengatakannya, dia hanya bilang ngga mau duduk dengan X dan Y saja. TAnpa alasan signifikan saya cenderun mendorong anak duduk dengan teman yang mana saja.
Tapi kalau anak pinjam alat sekolah terus ini kan maunya apa?
Karena saya mengajarkan mereka tidak pelit, kan bukan berarti juga memanfaatkan teman?
Penolakan duduk sebangku karena anak dimanfaatkan jelas perlu diselesaikan bukan dengan memisahkan. Namun dengan diskusi, agar anak yang dimaksud berhenti memanfaatkan temannya.
Kebiasaan memanfaatkan orang lain ini dimulai sejak kecil.
Malas mencatat, pinjam temannya. Mending kalau teman ini rela meminjamkan, namun mungkin saja si teman tidak rela. Lagipula mencatat kan berguna untuk si pencatat. Kalau yang malas ya akan sulit untuk menemukan manfaat mencatat ini.
Malas bawa alat tulis, pinjam teman. Seharian pinjamnya. Berapa banyak tinta yang disedot? Kalaupun temannya punya banyak alat tulis, tapi kan orang tuanya bisa memarahi, kalau cepat habis?
Nanti setelah dewasa, kebiasaan memanfaatkan ini bisa jadi berlanjut. Makanya, selagi masih dini perlu dihapus.
Hiks. Oke deh. Ngga sebangku sama X dan Y. Sama Z aja deh... hahahahahaha.
Aku mengerutkan kening dan tersenyum mendengar permintaan sponsor tersebut. Beberapa waktu lalu permintaan ini muncul dari seorang anak lain, tetapi sama juga pesannya. Hanya beda orangnya. Ngga mau sebangku sama Z. Jawaban pertanyaan itu standar buatku. Selalu dengan pertanyaan yang sama.
"KENAPA?"
Yah. Kasus sebelumnya, si Z itu amat sangat pendiam sekali. Sulit bisa membuatnya bicara bahkan dengan saya sekalipun. PAdahal, Z itu anak yang pintar. Ia suka sekali tersenyum, tapi bicara? Tunggu diancam penggaris kayu. hihihi... Ngga kok becanda. Dia hanya bicara kalau saya atau guru yang menyuruhnya. Jadi teman-temannya keeratan sebangku dengan dia. Ngga asyik, katanya. (Kayak saya, ngga mau bicara, sekalinya bicara lebih panjang dari kereta api. apa ngga ya si Z ini. Penasaran kalau sudah besar kayak apa)
"X dan Y itu suka pinjam alat tulisku miss. KAlau ada tugas juga suka ngga bawa bahan minta sama aku."
Wah,... tanduk saya langsung keluar. Bukan main ini anak-anak, mau memanfaatkan teman ya?
"Kok baru bilang sekarang?"
Aduh,... matanya berkaca-kaca. Salah respon nih saya. "Maksud miss, kan semua harus bertanggung jawab bawa sendiri-sendiri. Ini kan kamu dimanfaatkan, kok ngga kemaren-kemaren Miss dikasih tahu? Kan masalah bisa segera ditindak lanjutin, nak?"
Masih diam. Pusing deh.
"Kamu takut sama miss Maria?"
Anak tersebut menggeleng. "Ngga miss."
Tapi air matanya sudah turun. Saya jadi panik. Aduh. Mati deh saya. Ntar dikira saya apain pula nih anak manis satu ini.
"Aku pernah bilang, tapi miss lupa ngkali?" Katanya mati-matian menahan air matanya supaya tidak jatuh.
"Ha? Kamu bilang yang mana nih? Ngga mau duduk sama X dan Y? Atau kenapa ngga mau duduk sama X dan Y?"
Aku tahu kenapa aku melupakannya. Waktu dia mengatakannya, dia hanya bilang ngga mau duduk dengan X dan Y saja. TAnpa alasan signifikan saya cenderun mendorong anak duduk dengan teman yang mana saja.
Tapi kalau anak pinjam alat sekolah terus ini kan maunya apa?
Karena saya mengajarkan mereka tidak pelit, kan bukan berarti juga memanfaatkan teman?
Penolakan duduk sebangku karena anak dimanfaatkan jelas perlu diselesaikan bukan dengan memisahkan. Namun dengan diskusi, agar anak yang dimaksud berhenti memanfaatkan temannya.
Kebiasaan memanfaatkan orang lain ini dimulai sejak kecil.
Malas mencatat, pinjam temannya. Mending kalau teman ini rela meminjamkan, namun mungkin saja si teman tidak rela. Lagipula mencatat kan berguna untuk si pencatat. Kalau yang malas ya akan sulit untuk menemukan manfaat mencatat ini.
Malas bawa alat tulis, pinjam teman. Seharian pinjamnya. Berapa banyak tinta yang disedot? Kalaupun temannya punya banyak alat tulis, tapi kan orang tuanya bisa memarahi, kalau cepat habis?
Nanti setelah dewasa, kebiasaan memanfaatkan ini bisa jadi berlanjut. Makanya, selagi masih dini perlu dihapus.
Hiks. Oke deh. Ngga sebangku sama X dan Y. Sama Z aja deh... hahahahahaha.
Hadassah, semalam bersama sang Raja
Buku ini selesai kubaca setahun yang lalu. Sejak saat itu aku sudah membacanya berulang-ulang. Kisah dalam buku ini, difiksikan dari cerita Alkitab. Kisah sang ratu Ester. Aku menyukai kisahnya.
Perjalanan ratu Ester menuju tahta permaisuri raja Ahasyweros adalah perjalanan yang digambarkan penuh dengan kegalauan. Sebagai perempuan yang mencintai bangsanya dan terikat hukum-hukum agama Ester harus menerima pilihan antara berupaya menjadi ratu atau tersingkir di harem selir.
Sejak awal Star, demikian Ester disebut, ia sudah membuat pengurus istana terkesima. Ia tidak tertarik pada kekayaan di sekitarnya, namun dengan hati-hati menjalani hidupnya yang walaupun bukan pilihannya. Yah, siapa juga mau jadi calon selir? Belum tentu kan bisa menjadi ratu? Terpisah dengan pembimbingnya Mordekhai, dibayangi kematian karena darah bangsanya. Ia membangun dirinya sendiri dengan pemikiran positif, berdoa dan membawa kegalauannya dalam doa. Ester bukanlah anak bangsawan, dan juga bukan anak dengan asal usul yang jelas. Ia yatim piatu dan dibesarkan oleh pamannya, yang adalah juru tulis kerajaan.
Pada malam pertemuannya dengan sang raja, Ester bukannya memusatkan perhatian untuk dirinya sendiri namun dia menyenangkan raja dengan ketenangannya dan juga sikap manis yang tidak dibuat buat. Perhatian dan kasih sayang yang tulus Ester, membawanya ke kursi permaisuri, tanpa hubungan seks di malam tersebut.
Ratu Ester baru berhubungan dengan sang raja, setelah sah menjadi permaisuri. Mhhhhm. Memikatnya jalinan cerita dalam buku ini membuat saya enggan meletakkannya, bahkan setelah selesai membacanya, selalu ada kesenangan membacanya ulang. Buku yang sangat menarik.
Kisah Alkitab yang singkat, menjadi sebuah fiksi sepanjang 364 halaman.
Inti dari buku ini memukau, bahwa satu malam yang berharga setahun persiapan fisik dan pikiran, untuk sang raja, mungkin sama dengan satu keputusan berharga yang ditempa setahun persiapan fisik dan pemikiran.
Perjalanan ratu Ester menuju tahta permaisuri raja Ahasyweros adalah perjalanan yang digambarkan penuh dengan kegalauan. Sebagai perempuan yang mencintai bangsanya dan terikat hukum-hukum agama Ester harus menerima pilihan antara berupaya menjadi ratu atau tersingkir di harem selir.
Sejak awal Star, demikian Ester disebut, ia sudah membuat pengurus istana terkesima. Ia tidak tertarik pada kekayaan di sekitarnya, namun dengan hati-hati menjalani hidupnya yang walaupun bukan pilihannya. Yah, siapa juga mau jadi calon selir? Belum tentu kan bisa menjadi ratu? Terpisah dengan pembimbingnya Mordekhai, dibayangi kematian karena darah bangsanya. Ia membangun dirinya sendiri dengan pemikiran positif, berdoa dan membawa kegalauannya dalam doa. Ester bukanlah anak bangsawan, dan juga bukan anak dengan asal usul yang jelas. Ia yatim piatu dan dibesarkan oleh pamannya, yang adalah juru tulis kerajaan.
Pada malam pertemuannya dengan sang raja, Ester bukannya memusatkan perhatian untuk dirinya sendiri namun dia menyenangkan raja dengan ketenangannya dan juga sikap manis yang tidak dibuat buat. Perhatian dan kasih sayang yang tulus Ester, membawanya ke kursi permaisuri, tanpa hubungan seks di malam tersebut.
Ratu Ester baru berhubungan dengan sang raja, setelah sah menjadi permaisuri. Mhhhhm. Memikatnya jalinan cerita dalam buku ini membuat saya enggan meletakkannya, bahkan setelah selesai membacanya, selalu ada kesenangan membacanya ulang. Buku yang sangat menarik.
Kisah Alkitab yang singkat, menjadi sebuah fiksi sepanjang 364 halaman.
Inti dari buku ini memukau, bahwa satu malam yang berharga setahun persiapan fisik dan pikiran, untuk sang raja, mungkin sama dengan satu keputusan berharga yang ditempa setahun persiapan fisik dan pemikiran.
Kamis, 29 Januari 2015
Kisah dari kelasku, Berbagi itu perlu komunikasi.
Bete banget. Kenapa? Iya, hari ini ada acara pertemuan mendadak. Saya merasa, sensi banget ya? Merasa, bahwa saya sedang dicari-cari kesalahan. Kemarin, saya ditegur, hanya karena WAJAH saya kelihatan beda katanya waktu ada pemberitahuan seorang rekan yang tidak hadir sebab sedang "recovery". Kebingungan juga waktu ditanya ada apa? Ya ada apa? Saya aja ngga tahu. Lalau dijelaskan katanya saya kelihatan tidak senang. Ya ampun. Memangnya saya sudah kayak apa sih, penting gitu wajah saya dibahas?
Eh, ditambah secara tiba-tiba kelas saya dipermasalahkan. Tidak sejajar dengan kelas tetangga. Jiah, meledaklah saya yang memang sudah sumbu pendek sejak ditanya masalah wajah itu.
Tadinya pengen mangkir, tapi uh, lihat bunga-bunga yang dikasih bocah-bocah saya di kamar kok membuat hati saya ngga enak kalau mangkir karena personal problemo gitu. Udahlah saya masuk.
Pesoalannya, ada orang tua siswa yang merasa dirugikan karena tugas individual, anaknya sudah susah-susah mencari materi, ia mendampingi, kok setelah bahan bahannya ada anaknya suruh share dengan temannya yang ngga membawa.
Pemberian tugas sebenarnya kelompok, namun, setelah diskusi dengan kelas sebelah dibuat individual. Bukannya tidak memahami, anak-anak yang tidak bisa mendapatkan gambar karena keterbatasan pendampingan orang tua, namun sebagai siswa kelas 5 saya memang sedikit menuntut anak-anak saya berusaha lebih keras. Saya sudah menegaskan, kalau mencari pasti bisa. Koran masa tidak punya, dengan situasi sosial ekonomi anak-anak saya, rasanya tidak mungkin mereka tidak mempunyai koran, atau majalah dan menemukan materi mereka. Bisa juga dengan barter dengan teman sekelompok. Eh, saya cari data kamu cari gambar, nanti kita berbagi. Itu juga bisa. Saya tidak mengharuskan untuk mendapatkan dari internet. Saya ragu mereka memahami browsing yang aman. Saya lebih prefer mereka mencari dari buku, majalah atau koran, bahkan kartupos di Gramedia pun ada.
Anak-anak memang kadang tidak mau susah. Mereka main salin dari google, dan menempelkan di microsoft-word dan mencetaknya. Baru panik ketika space karton tidak cukup, tidak punya gambar dan lain-lain.
Pada dasarnya saya menjelaskan bahwa saya tidak melarang mereka berbagi. Namun saya menuntut untuk tidak meminta secara paksa. Kalau ada yang punya lebih dan tidak mau berbagi, sampaikan saja. Tidak perlu sungkan karena memang haknya menolak permintaan temannya. Yang meminta juga perlu tahu diri, sudah minta ngga usah pakai maksa. Inipun sudah saya jelaskan aturannya. Kok ya masih ada keluhan disuruh share. Yang suruh siapa juga?
Saya memang membimbing anak-anak di kelas saya mau berbagi, namun jangan mau dimanfaatkan. Masa mau saya ajarin anak-anak pelit? Kan ya ngga juga.
Pagi berikutnya saya terangkan pada mereka penilaian saya dasarnya bukan hanya ada atau tidak ada materialnya, namun juga cara mendapatkan material ini. Kalau anak yang mencari dengan susah payah, dan anak yang dapat minta (punya temannya) saya samakan keenakan dong? Inilah yang orang tua mungkin tidak memahaminya. Komunikasi yang belum selesai ini yang menyebabkan adanya keluhan.
Yah. Memang demikian. Seringkali komunikasi yang disampaikan tidak lengkap dan menyebabkan kesalahpahaman. Apalagi dengan perubahan-perubahan yang disebabkan oleh penyesuaian kondisi. Kelas sebelah, paralel saya, kebetulan sejawat saya sempat sakit 2 hari dan kemudian mendapatkan guru PPL sehingga dalam beberapa hal sedikit terlambat. Sementara saya sampai hari ini berhasil hadir ke sekolah tanpa absen.
Kesal kalau kita sudah kerja keras, berupaya maksimal, namun tidak diapresiasi, malah dicari-cari kekurangan. Mhhhhm. Curhat nih.
Eh, ditambah secara tiba-tiba kelas saya dipermasalahkan. Tidak sejajar dengan kelas tetangga. Jiah, meledaklah saya yang memang sudah sumbu pendek sejak ditanya masalah wajah itu.
Tadinya pengen mangkir, tapi uh, lihat bunga-bunga yang dikasih bocah-bocah saya di kamar kok membuat hati saya ngga enak kalau mangkir karena personal problemo gitu. Udahlah saya masuk.
Pesoalannya, ada orang tua siswa yang merasa dirugikan karena tugas individual, anaknya sudah susah-susah mencari materi, ia mendampingi, kok setelah bahan bahannya ada anaknya suruh share dengan temannya yang ngga membawa.
Pemberian tugas sebenarnya kelompok, namun, setelah diskusi dengan kelas sebelah dibuat individual. Bukannya tidak memahami, anak-anak yang tidak bisa mendapatkan gambar karena keterbatasan pendampingan orang tua, namun sebagai siswa kelas 5 saya memang sedikit menuntut anak-anak saya berusaha lebih keras. Saya sudah menegaskan, kalau mencari pasti bisa. Koran masa tidak punya, dengan situasi sosial ekonomi anak-anak saya, rasanya tidak mungkin mereka tidak mempunyai koran, atau majalah dan menemukan materi mereka. Bisa juga dengan barter dengan teman sekelompok. Eh, saya cari data kamu cari gambar, nanti kita berbagi. Itu juga bisa. Saya tidak mengharuskan untuk mendapatkan dari internet. Saya ragu mereka memahami browsing yang aman. Saya lebih prefer mereka mencari dari buku, majalah atau koran, bahkan kartupos di Gramedia pun ada.
Anak-anak memang kadang tidak mau susah. Mereka main salin dari google, dan menempelkan di microsoft-word dan mencetaknya. Baru panik ketika space karton tidak cukup, tidak punya gambar dan lain-lain.
Pada dasarnya saya menjelaskan bahwa saya tidak melarang mereka berbagi. Namun saya menuntut untuk tidak meminta secara paksa. Kalau ada yang punya lebih dan tidak mau berbagi, sampaikan saja. Tidak perlu sungkan karena memang haknya menolak permintaan temannya. Yang meminta juga perlu tahu diri, sudah minta ngga usah pakai maksa. Inipun sudah saya jelaskan aturannya. Kok ya masih ada keluhan disuruh share. Yang suruh siapa juga?
Saya memang membimbing anak-anak di kelas saya mau berbagi, namun jangan mau dimanfaatkan. Masa mau saya ajarin anak-anak pelit? Kan ya ngga juga.
Pagi berikutnya saya terangkan pada mereka penilaian saya dasarnya bukan hanya ada atau tidak ada materialnya, namun juga cara mendapatkan material ini. Kalau anak yang mencari dengan susah payah, dan anak yang dapat minta (punya temannya) saya samakan keenakan dong? Inilah yang orang tua mungkin tidak memahaminya. Komunikasi yang belum selesai ini yang menyebabkan adanya keluhan.
Yah. Memang demikian. Seringkali komunikasi yang disampaikan tidak lengkap dan menyebabkan kesalahpahaman. Apalagi dengan perubahan-perubahan yang disebabkan oleh penyesuaian kondisi. Kelas sebelah, paralel saya, kebetulan sejawat saya sempat sakit 2 hari dan kemudian mendapatkan guru PPL sehingga dalam beberapa hal sedikit terlambat. Sementara saya sampai hari ini berhasil hadir ke sekolah tanpa absen.
Kesal kalau kita sudah kerja keras, berupaya maksimal, namun tidak diapresiasi, malah dicari-cari kekurangan. Mhhhhm. Curhat nih.
Bahagia
Pagi ini, aku bangun terlalu awal.
yah, terlalu pagi sebenarnya untuk tubuhku yang sedang radang tenggorokan, yang membuat emosiku naik turun dan rasanya ingin "makan orang". hehehehe. Kegiatan pagiku selalu sederhana, toilet, kamar, dan laptop. Sama dengan kegiatan harianku, sekolah, privat, kost.
Beberapa waktu lalu aku sempat share dengan seorang sahabat, bahwa aku akan meninggalkan Jakarta lagi, mungkin.
Kata sahabatku, pergilah. Buat dirimu bahagia. Aku sedikit terkejut dengan pernyataannya. Buat dirimu bahagia? Memangnya kamu merasa aku ngga bahagia ya? Ia menjawab, Iya.
hmmmh. Aku mungkin bukan type yang sulit bahagia. Namun perubahan emosiku kadang kala seperti ekstrim yang menakutkan, bahkan diriku sendiri. Aku bisa tertawa gelak dan kemudian menangis dengan pahit pada hari yang sama dengan skala perbedaan emosi yang berada di simpangan besar. Kata sahabatku yang lain, simpangan emosi yang kamu tunjukkan terlalu sukar dipahami orang lain.
Yup. Kadang aku sendiri ingin bisa lebih netral. Balance. Seimbang. Tapi sulit sekali. Aku bisa mengeluarkan dua sisi emosi sekaligus pada saat yang bersamaan. Aku bisa menertawakan dan sekaligus marah. See? Its little bit scary, I thought.
Jadi temanku mengira aku ngga bahagia. Padahal sebenarnya, aku bahagia. Melakukan hal-hal kecil yang membuat orang lain bahagia. Iya.
Aku bahagia melihat orang lain bahagia.
Aku bahagia jika bisa membuat orang bahagia.
Tetapi, aku ngga bisa menyenangkan semua orang.
No, never.
Aku hanya bisa menyenangkan orang-orang yang memberitahu aku cara mereka senang. Kadang, hanya melike status FB mereka. Kadang hanya menyapa mereka. Kadang hanya membalas senyum mereka.
Sebenarnya bahagia itu mudah kok.
Senyum, sapa dan salam setulus hati.
By the way, apakah kita tulus?
Habis nonton video Thailand. Pemuda yang melakukan kebaikan-kebaikan kecil setiap harinya. Merasakan tersiram air, bukannya marah ia mengambil pot tanaman yang kering dan membiarkan air tersiram pada tanaman kering. Membantu tukang sayuran menarik gerobak, berbagi sepotong ayam dengan seekor anjing, memberi sedekah pada seorang anak kecil pengemis, menggantungkan sesisir pisang di pintu seorang nenek tua.
Melihat tanaman menjadi subur, ibu penjual sayur bahagia, anjing yang bersahabat, anak kecil pengemis pergi sekolah, nenak tua yang tersenyum lebar, semuanya tidak membuatnya masuk TV atau terkenal, namun membuat dia bahagia.
Bahagia itu, sederhana.
yah, terlalu pagi sebenarnya untuk tubuhku yang sedang radang tenggorokan, yang membuat emosiku naik turun dan rasanya ingin "makan orang". hehehehe. Kegiatan pagiku selalu sederhana, toilet, kamar, dan laptop. Sama dengan kegiatan harianku, sekolah, privat, kost.
Beberapa waktu lalu aku sempat share dengan seorang sahabat, bahwa aku akan meninggalkan Jakarta lagi, mungkin.
Kata sahabatku, pergilah. Buat dirimu bahagia. Aku sedikit terkejut dengan pernyataannya. Buat dirimu bahagia? Memangnya kamu merasa aku ngga bahagia ya? Ia menjawab, Iya.
hmmmh. Aku mungkin bukan type yang sulit bahagia. Namun perubahan emosiku kadang kala seperti ekstrim yang menakutkan, bahkan diriku sendiri. Aku bisa tertawa gelak dan kemudian menangis dengan pahit pada hari yang sama dengan skala perbedaan emosi yang berada di simpangan besar. Kata sahabatku yang lain, simpangan emosi yang kamu tunjukkan terlalu sukar dipahami orang lain.
Yup. Kadang aku sendiri ingin bisa lebih netral. Balance. Seimbang. Tapi sulit sekali. Aku bisa mengeluarkan dua sisi emosi sekaligus pada saat yang bersamaan. Aku bisa menertawakan dan sekaligus marah. See? Its little bit scary, I thought.
Jadi temanku mengira aku ngga bahagia. Padahal sebenarnya, aku bahagia. Melakukan hal-hal kecil yang membuat orang lain bahagia. Iya.
Aku bahagia melihat orang lain bahagia.
Aku bahagia jika bisa membuat orang bahagia.
Tetapi, aku ngga bisa menyenangkan semua orang.
No, never.
Aku hanya bisa menyenangkan orang-orang yang memberitahu aku cara mereka senang. Kadang, hanya melike status FB mereka. Kadang hanya menyapa mereka. Kadang hanya membalas senyum mereka.
Sebenarnya bahagia itu mudah kok.
Senyum, sapa dan salam setulus hati.
By the way, apakah kita tulus?
Habis nonton video Thailand. Pemuda yang melakukan kebaikan-kebaikan kecil setiap harinya. Merasakan tersiram air, bukannya marah ia mengambil pot tanaman yang kering dan membiarkan air tersiram pada tanaman kering. Membantu tukang sayuran menarik gerobak, berbagi sepotong ayam dengan seekor anjing, memberi sedekah pada seorang anak kecil pengemis, menggantungkan sesisir pisang di pintu seorang nenek tua.
Melihat tanaman menjadi subur, ibu penjual sayur bahagia, anjing yang bersahabat, anak kecil pengemis pergi sekolah, nenak tua yang tersenyum lebar, semuanya tidak membuatnya masuk TV atau terkenal, namun membuat dia bahagia.
Bahagia itu, sederhana.
Senin, 26 Januari 2015
Berprestasi, Mengapa tidak?
Semakin muda usia seseorang, sebenarnya kesempatan berprestasi makin besar. Pada usia muda, kita memiliki banyak sekali kemampuan. Tetapi, kita perlu memiliki niat untuk menggali potensi diri dan mengeksplorasinya.
Beberapa cara berprestasi di usia muda,
1. Fokus pada potensi diri dan kembangkan.
Setiap orang mempunyai kelebihan, tidak ada yang tidak bisa apa-apa. Untuk mengetahui potensi diri kita, maka haruslah kita mengerjakan apapun tugas-tugas kita dengan sebaik mungkin. Pekerjaan yang setengah-setengah, asal jadi tidak membantu kita menemukan potensi, namun membuat kita jadi terhambat mengenal diri.
Saat bekerja maksimal, kita akan menyadari pekerjaan mana yang membuat hati kita senang, dan lingkungan kita merespon baik. Berarti, dalam hal itulah kita punya potensi. Contoh: di sekolah, banyak pelajaran, kerjakan semua tugas pelajaran dengan sungguh sungguh, lalu lihat pelajaran mana kita sukai, lihat juga penilaian guru, atau orang tua. Dengarkan mereka.
Jika kita sudah tahu potensi kita, apakah kita tidak mengerjakan yang lain? Harus tetap mengerjakan yang lain dengan serius dan sungguh-sungguh. Siapa tahu dalam potensi kita ternyata ada hambatan. Contoh: Kita merasa yakin punya kemampuan main basket, sudah menang dan diketahui guru dan orang tua serta diberi support, tetapi tetaplah mengerjakan katakanlah pilihan kedua seperti menari, atau memasak, jika mungkin, ibarat kata jangan taruh telur di satu keranjang. Nanti kalau jatuh ngga punya lainnya.
Intinya: walaupun tidak berbakat, kita bisa mengerjakan hal lainnya, asalkan sungguh-sungguh.
2. mintalah nasehat dari orang tua dan guru, orang yang lebih dulu di bidang potensi kita.
dengarkan nasehat. Dalam ke-mudaan usia kita sering kali kita terbawa emosi, dan berkeras di dalam hal yang kita inginkan. Bukan salah sih, namun orang yang lebih tua, punya pengalaman hidup yang mungkin bermanfaat. Melewatkan nasehat dan didikan itu tidak baik. Bisa jadi kita menyesalinya. Sebelum menyesal, dengarkan saja, catat, baca ulang dan pikirkan. Walaupun tidak pasti benar, bisa jadi benar kan?
3. Manajemen waktu,
Setelah menemukan potensi, mendengarkan nasehat, kita perlu menyusun manajemen waktu yang baik. Jangan malas menyusun goal. MENYUSUN GOAL penting sehingga kita bisa MENYUSUN PRIORITAS dan MENYUSUN KEGIATAN. Kalaupun kita sudah berprestasi, kita tetap perlu manajemen waktu yang baik.
Siap berprestasi?
SEMANGAT!
Salam edukasi,
Maria Margaretha
Catatan: setelah berprestasi, ingatlah selalu menjaga ujar, pikir dan laku.
Beberapa cara berprestasi di usia muda,
1. Fokus pada potensi diri dan kembangkan.
Setiap orang mempunyai kelebihan, tidak ada yang tidak bisa apa-apa. Untuk mengetahui potensi diri kita, maka haruslah kita mengerjakan apapun tugas-tugas kita dengan sebaik mungkin. Pekerjaan yang setengah-setengah, asal jadi tidak membantu kita menemukan potensi, namun membuat kita jadi terhambat mengenal diri.
Saat bekerja maksimal, kita akan menyadari pekerjaan mana yang membuat hati kita senang, dan lingkungan kita merespon baik. Berarti, dalam hal itulah kita punya potensi. Contoh: di sekolah, banyak pelajaran, kerjakan semua tugas pelajaran dengan sungguh sungguh, lalu lihat pelajaran mana kita sukai, lihat juga penilaian guru, atau orang tua. Dengarkan mereka.
Jika kita sudah tahu potensi kita, apakah kita tidak mengerjakan yang lain? Harus tetap mengerjakan yang lain dengan serius dan sungguh-sungguh. Siapa tahu dalam potensi kita ternyata ada hambatan. Contoh: Kita merasa yakin punya kemampuan main basket, sudah menang dan diketahui guru dan orang tua serta diberi support, tetapi tetaplah mengerjakan katakanlah pilihan kedua seperti menari, atau memasak, jika mungkin, ibarat kata jangan taruh telur di satu keranjang. Nanti kalau jatuh ngga punya lainnya.
Intinya: walaupun tidak berbakat, kita bisa mengerjakan hal lainnya, asalkan sungguh-sungguh.
2. mintalah nasehat dari orang tua dan guru, orang yang lebih dulu di bidang potensi kita.
dengarkan nasehat. Dalam ke-mudaan usia kita sering kali kita terbawa emosi, dan berkeras di dalam hal yang kita inginkan. Bukan salah sih, namun orang yang lebih tua, punya pengalaman hidup yang mungkin bermanfaat. Melewatkan nasehat dan didikan itu tidak baik. Bisa jadi kita menyesalinya. Sebelum menyesal, dengarkan saja, catat, baca ulang dan pikirkan. Walaupun tidak pasti benar, bisa jadi benar kan?
3. Manajemen waktu,
Setelah menemukan potensi, mendengarkan nasehat, kita perlu menyusun manajemen waktu yang baik. Jangan malas menyusun goal. MENYUSUN GOAL penting sehingga kita bisa MENYUSUN PRIORITAS dan MENYUSUN KEGIATAN. Kalaupun kita sudah berprestasi, kita tetap perlu manajemen waktu yang baik.
Siap berprestasi?
SEMANGAT!
Salam edukasi,
Maria Margaretha
Catatan: setelah berprestasi, ingatlah selalu menjaga ujar, pikir dan laku.
Yin Galema, Belajar budaya dan juga sastra, tulisan fiksi sejarah
Saya meminjam buku ini dari sekolah. Biasa, seringnya malam minggu menjadi waktu tidur yang terlalu awal jika tidak ada buku. Jadilah buku ini saya jadikan pengantar tidur.
Buku ini terdiri dari 27 bab yang menceritakan kehidupan kanak-kanak hingga dewasanya seorang gadis bernama Yin Galema. Ia adalah putri dari Tiongkok yang dititipkan ayah kandungnya seorang pelaut di kerajaan Balok, Belitong. 562 halaman cerita tak terasa sangat singkat untuk mengantar tidur saya.
Dibimbing Mak Nyayu, istri dari Raja Balok, ia tumbuh bersama Ni Ayu Tenga anak kedua raja Balok dan Dayang Rindit anak dari seorang saudagar yang sering berkunjung dan dikunjunginya. Yin, juga mengenal agama di bawah bimbingan Ki Ronggo Udo. Sayangnya ia jatuh cinta dan dicintai oleh dua laki-laki. Laki-laki pertama yang dicintainya adalah sebangsa Jin (orang Bunian) anak dari raja Balok dengan istri bunian-nya, yakni Kanda Badau, yang dikenalnya beberapa saat sebelum tiba haid pertamanya. Laki-laki yang juga mencintainya, walau berbeda alam ini diasuh oleh Ki Ronggo Udo dan ditunangkan saat ia mendapat haid pertama. Tak ada yang tahu pertunangan rahasia ini bahkan dua kawan masa kecilnya. Namun, ada laki-laki kedua yang tak pernah menyerah, Ki Agus Mending, putra mahkota raja Balok yang adalah kawan masa kecilnya juga, yang kadang disapa bang Dulhen, yang sebenarnya telah meminang dayang Rindit. Bang Dulhen ini akhirnya menikahi dayang Rindit juga namun masih mengejar Yin untuk menjadi selir.
Jalinan cerita cinta dalam buku ini juga dipadukan dengan kisah perjalanan Yin ke Tumasik menjemput peninggalan ayahnya dan kemudian terjebak dalam perseteruan perebutan dua peti harta titipan Raja Balok dalam kapal ayahnya yang tewas dibunuh sahabat-sahabat Tiongkoknya, Wang Xi dan Ho Chim Lai.
Buku ini mengajari bebarapa hal buatku,
1. Belajar sejarah lewat fiksi itu menyenangkan. Tidak membosankan. Jangan segan menjadi pencerita, karena sejarah yang enak diceritakan adalah sajarah yang dikenang.
2. Belajar budaya lewat fiksi juga bisa dilakukan. Penulisan Ian Sancin menarik dan punya daya pikat.
Kekurangan pada buku ini,
1. dari halaman 167-181 saya menemukan halaman kosong. Sayang. Saya jadi kehilangan beberapa bagian ceritanya.
2. bagi pembaca yang melihat ketebalan mungkin buku ini tidaklah diminati, namun buat pembaca yang mencintai cerita, saya sedikit penasaran dengan keberhasilan Yin mengejar Kanda Badaunya. Menurut saya, bukanlah salah Yin, kalau Bang Dulhen putra mahkota itu gigih mengejar Yin hingga merenggut kehormatan Yin. Mengingat tuturan ceritera bahwa Bang DUlhen ini adalah putra mahkota bahkan Raja balok setelah Ramondanya berpulang.
PENASARAN. Asli.
Pendapat saya tentang buku,
LAYAK DIBACA dan MENARIK.
Buku ini terdiri dari 27 bab yang menceritakan kehidupan kanak-kanak hingga dewasanya seorang gadis bernama Yin Galema. Ia adalah putri dari Tiongkok yang dititipkan ayah kandungnya seorang pelaut di kerajaan Balok, Belitong. 562 halaman cerita tak terasa sangat singkat untuk mengantar tidur saya.
Dibimbing Mak Nyayu, istri dari Raja Balok, ia tumbuh bersama Ni Ayu Tenga anak kedua raja Balok dan Dayang Rindit anak dari seorang saudagar yang sering berkunjung dan dikunjunginya. Yin, juga mengenal agama di bawah bimbingan Ki Ronggo Udo. Sayangnya ia jatuh cinta dan dicintai oleh dua laki-laki. Laki-laki pertama yang dicintainya adalah sebangsa Jin (orang Bunian) anak dari raja Balok dengan istri bunian-nya, yakni Kanda Badau, yang dikenalnya beberapa saat sebelum tiba haid pertamanya. Laki-laki yang juga mencintainya, walau berbeda alam ini diasuh oleh Ki Ronggo Udo dan ditunangkan saat ia mendapat haid pertama. Tak ada yang tahu pertunangan rahasia ini bahkan dua kawan masa kecilnya. Namun, ada laki-laki kedua yang tak pernah menyerah, Ki Agus Mending, putra mahkota raja Balok yang adalah kawan masa kecilnya juga, yang kadang disapa bang Dulhen, yang sebenarnya telah meminang dayang Rindit. Bang Dulhen ini akhirnya menikahi dayang Rindit juga namun masih mengejar Yin untuk menjadi selir.
Jalinan cerita cinta dalam buku ini juga dipadukan dengan kisah perjalanan Yin ke Tumasik menjemput peninggalan ayahnya dan kemudian terjebak dalam perseteruan perebutan dua peti harta titipan Raja Balok dalam kapal ayahnya yang tewas dibunuh sahabat-sahabat Tiongkoknya, Wang Xi dan Ho Chim Lai.
Buku ini mengajari bebarapa hal buatku,
1. Belajar sejarah lewat fiksi itu menyenangkan. Tidak membosankan. Jangan segan menjadi pencerita, karena sejarah yang enak diceritakan adalah sajarah yang dikenang.
2. Belajar budaya lewat fiksi juga bisa dilakukan. Penulisan Ian Sancin menarik dan punya daya pikat.
Kekurangan pada buku ini,
1. dari halaman 167-181 saya menemukan halaman kosong. Sayang. Saya jadi kehilangan beberapa bagian ceritanya.
2. bagi pembaca yang melihat ketebalan mungkin buku ini tidaklah diminati, namun buat pembaca yang mencintai cerita, saya sedikit penasaran dengan keberhasilan Yin mengejar Kanda Badaunya. Menurut saya, bukanlah salah Yin, kalau Bang Dulhen putra mahkota itu gigih mengejar Yin hingga merenggut kehormatan Yin. Mengingat tuturan ceritera bahwa Bang DUlhen ini adalah putra mahkota bahkan Raja balok setelah Ramondanya berpulang.
PENASARAN. Asli.
Pendapat saya tentang buku,
LAYAK DIBACA dan MENARIK.
Minggu, 25 Januari 2015
Nonton Bareng KOMIK I Fine Love you Thank you
Sebenarnya join blog kompasiana membuat saya bisa ikutan acara ini. Berkat Babeh Helmi, salah satu pentolan Koplak Yo Band di Kompasiana, KOMIK diberi 10 tiket nonton gratis di Blitz Grand Indonesia, Sabtu 17 Januari 2015 lalu.
Agak pusing juga saya menyusun jadwal, karena Jumatnya mendadak mendapat kabar ada kerabat yang sakit yang perlu dibantu. Belum lagi saya ada janji dengan Mas Nugroho, sahabat dari masa-masa di Kalbar. Akhirnya, saya putusin, kalau terpaksa tiketnya beli aja gimana?
Hujan besar pula.
Tetapi, well, the show must go on.
Jam 15.30, sudah duduk manis di lounge untuk mengikuti press conference. Kenalan ama mbak Intan (PIC komikers) dan hahahihi sama mak Fadlun yang sudah beberapa kali ketemu, tapi lupa mulu sayanya.
Beberapa hal dari pressconference yang saya catat,...
1. Blogger ngga dikasih foto bareng sama artisnya. Sebenarnya mestinya kata Babeh, kalau kami mau menunggu 30 menit untuk media, blogger diberi kesempatan belakangan. Sayangnya kami sudah mutung duluan. Yah,... ini jadi catatan jangan mutungan
2. Filmnya kan tentang tutor bahasa Inggris, sayang banget press con nya justru dalam bahasa Thailand. Akan asyik kalau artis dan produsernya bisa bahasa Inggris. Seenggaknya kan lebih bisa enak ngobrolnya.
3. Voucher dinnernya oke. Coffee Bean sangat kooperatif. Sehabis pres con 45 menit, kami para blogger menyebar. Saya, mas Nug dan Mak Fadlun memutuskan langsung ke Coffee Bean supaya nantinya tak perlu mengantre dinnernya. Dan nikmat juga sandwich gandumnya.
Kami ngobrolin acara kompasiana dan juga nobar-nobar yang pernah diikuti bareng kompasiana.
Well jam 18.00 kami kembali ke Blitz. Eh, ada nemu dompet di lantai. Saya serahkan ke security. Mudah2an sampai pada pemiliknya.
Jam 18.15, masuk ke studio 1. Premiere film ini diawali dengan prakata dari kementrian pariwisata Thailand, dan juga produser dan embassy.
Eh, ada door prize, dan... guess what? Saya dapat. Ngga nyangka juga. Hadiahnya USB kayak kartu bergambar film ini. Aku bisa salaman dan juga foto bareng Ice. Senengnya.
Filmnya sekarang,
1. Pembukaan film ini adalah promosi eksotisme Thailand. Bener2 promosi. Energetic, beautiful, dll. Wow. Cerdas juga ya cara promonya.
2. Full laugh. Beneran. Lucu banget. Meski ada beberapa adegan yang yah little bit dirty,... kek BAB si anak SMP yang berceceran pas CD-nya ditarik ama si Gym, gara2 keisengan si anak itu motret CD-nya si Pleng,... tapi at least aku mesti bilang lucu. Karena emang lucu, walaupun kasar. Belom lagi, adegan si Kaya nyembunyiin cowoknya di kolong meja pas video cam-an sama Pleng. Trus ada yang anak buah si Gym pantatnya disulut kembang api,... lucu.
3. Pembelajaran yang kudapat:
-cowok itu makhluk yang pantang menyerah kalau ada maunya. Ngeliat si Gym belajar bahasa Inggris itu beneran deh fun abis. Belum lagi, ternyata dibalik kesangaran si Gym ternyata dia tuh cowok yang mmmmmhm gentle banget. Aduh,... bikin gimana gitu.
- Jadi tutor itu gampang-gampang susah ya. Muridnya dari TK sampai dewasa,... hadeuh pening pisan. Walaupun aku suka model pembelajaran dan strategi si Pleng membuat kelasnya tuh keren banget.
- Cinta? Itu bukan soal perasaan aja. Namun komunikasi dan gimana komitmennya. Kaya itu ngga cinta Gym. Kalau cinta bertepuk sebelah tangan sebenarnya mendingan kabur aja deh.
JADI....
Film Thailand ini boleh ditonton,
1. kalau suka roman lucu.
2. baiknya jangan bawa anak kecil ya... agak jorok di beberapa adegan.
3. remaja sih baiknya ditemanin. Seru kok. Hanya pintar-pintar kita aja jelasin kalau ada yang kurang pantas.
4. siap-siap,... film ini fun abis.
Happy watching guys.... (tayang di bioskop blitz mulai kemaren kek-nya)
Agak pusing juga saya menyusun jadwal, karena Jumatnya mendadak mendapat kabar ada kerabat yang sakit yang perlu dibantu. Belum lagi saya ada janji dengan Mas Nugroho, sahabat dari masa-masa di Kalbar. Akhirnya, saya putusin, kalau terpaksa tiketnya beli aja gimana?
Hujan besar pula.
Tetapi, well, the show must go on.
Jam 15.30, sudah duduk manis di lounge untuk mengikuti press conference. Kenalan ama mbak Intan (PIC komikers) dan hahahihi sama mak Fadlun yang sudah beberapa kali ketemu, tapi lupa mulu sayanya.
Beberapa hal dari pressconference yang saya catat,...
1. Blogger ngga dikasih foto bareng sama artisnya. Sebenarnya mestinya kata Babeh, kalau kami mau menunggu 30 menit untuk media, blogger diberi kesempatan belakangan. Sayangnya kami sudah mutung duluan. Yah,... ini jadi catatan jangan mutungan
2. Filmnya kan tentang tutor bahasa Inggris, sayang banget press con nya justru dalam bahasa Thailand. Akan asyik kalau artis dan produsernya bisa bahasa Inggris. Seenggaknya kan lebih bisa enak ngobrolnya.
3. Voucher dinnernya oke. Coffee Bean sangat kooperatif. Sehabis pres con 45 menit, kami para blogger menyebar. Saya, mas Nug dan Mak Fadlun memutuskan langsung ke Coffee Bean supaya nantinya tak perlu mengantre dinnernya. Dan nikmat juga sandwich gandumnya.
Kami ngobrolin acara kompasiana dan juga nobar-nobar yang pernah diikuti bareng kompasiana.
Well jam 18.00 kami kembali ke Blitz. Eh, ada nemu dompet di lantai. Saya serahkan ke security. Mudah2an sampai pada pemiliknya.
Jam 18.15, masuk ke studio 1. Premiere film ini diawali dengan prakata dari kementrian pariwisata Thailand, dan juga produser dan embassy.
Eh, ada door prize, dan... guess what? Saya dapat. Ngga nyangka juga. Hadiahnya USB kayak kartu bergambar film ini. Aku bisa salaman dan juga foto bareng Ice. Senengnya.
Filmnya sekarang,
1. Pembukaan film ini adalah promosi eksotisme Thailand. Bener2 promosi. Energetic, beautiful, dll. Wow. Cerdas juga ya cara promonya.
2. Full laugh. Beneran. Lucu banget. Meski ada beberapa adegan yang yah little bit dirty,... kek BAB si anak SMP yang berceceran pas CD-nya ditarik ama si Gym, gara2 keisengan si anak itu motret CD-nya si Pleng,... tapi at least aku mesti bilang lucu. Karena emang lucu, walaupun kasar. Belom lagi, adegan si Kaya nyembunyiin cowoknya di kolong meja pas video cam-an sama Pleng. Trus ada yang anak buah si Gym pantatnya disulut kembang api,... lucu.
3. Pembelajaran yang kudapat:
-cowok itu makhluk yang pantang menyerah kalau ada maunya. Ngeliat si Gym belajar bahasa Inggris itu beneran deh fun abis. Belum lagi, ternyata dibalik kesangaran si Gym ternyata dia tuh cowok yang mmmmmhm gentle banget. Aduh,... bikin gimana gitu.
- Jadi tutor itu gampang-gampang susah ya. Muridnya dari TK sampai dewasa,... hadeuh pening pisan. Walaupun aku suka model pembelajaran dan strategi si Pleng membuat kelasnya tuh keren banget.
- Cinta? Itu bukan soal perasaan aja. Namun komunikasi dan gimana komitmennya. Kaya itu ngga cinta Gym. Kalau cinta bertepuk sebelah tangan sebenarnya mendingan kabur aja deh.
JADI....
Film Thailand ini boleh ditonton,
1. kalau suka roman lucu.
2. baiknya jangan bawa anak kecil ya... agak jorok di beberapa adegan.
3. remaja sih baiknya ditemanin. Seru kok. Hanya pintar-pintar kita aja jelasin kalau ada yang kurang pantas.
4. siap-siap,... film ini fun abis.
Happy watching guys.... (tayang di bioskop blitz mulai kemaren kek-nya)
Sabtu, 17 Januari 2015
Sociopath (catatan seorang teman)
Sociopath adalah orang yang berperilaku anti sosial, kurang bertanggung jawab dengan perbuatannya dan mengabaikan hati nurani.
Seorang yang mengidap sociopath adalah orang yang cenderung anti sosial dan meremehkan opini orang lain dan senang hidup dalam kebenaran menurut versinya juga suka menjatuhkan orang lain.
Saya akan melarang orang lain memasak di rumah saya tapi jangan salahkan saya kalau saya sendiri suka menggoreng “ikan” tetangga sendiri.
Saya akan berhaha hihi untuk menyebut gadis yang menjadi orang ketiga adalah perusak rumah tangga orang lain tapi jangan pernah menyatakan saya salah kalau saya berpendapat ” rumah tangga bukanlah barang yang bisa dirusak oleh pihak ketiga”.
Saya akan mengatakan kalau rumah saya jangan dimasuki orang gila tapi jangan salahkan saya kalau saya boleh gila di rumah orang lain, karena saya orang gila.
***
Setiap apa yang ditulis seseorang dalam sebuah artikelnya adalah sebuah keniscayaan relatif. Tidak bisa mutlak selalu benar dan juga tidak mutlak selalu salah. Selalu ada nilai - nilai berspektrum luas yang ditulis seseorang untuk bisa dikaji dan digali oleh pembacanya. Maka dalam media sosial, penyedia selalu mempersilahkan semua pihak untuk berinteraktif dengan menjawab sebuah permasalahan. Inilah komunikasi dan interaksi sosial yang dibangun oleh semua media. Tidak terkecuali media arus utama. Karena kita akan mendapatkan kolom komentar di setiap berita online yang diletakkan biasanya paling bawah sebuah halaman online.
Penulis adalah orang Indonesia yang berayah suku Jawa dan ibu dari Bali. Lama tinggal di Jayapura dan Semarang. Setelah menikah, penulis memilih Bali sebagai tempat tinggal. Ada banyak kenikmatan yang saya rasakan setelah tinggal di Bali. Penulis bisa merasakan hidup dengan layak karena karunia Tuhan dan keberkahan hidup bersosialisasi dengan banyak orang di Bali.
Teman-teman dan rekan sosial dalam lingkungan saya beragam. Saya memiliki banyak juga teman yang asli Bali dan seluruh Indonesia juga tentunya.
Dan jangan salahkan saya ketika banyak teman dan lingkungan sekitar saya merasa kehilangan Bali. Mereka hidup di Bali tapi bukan menjadi tuan di rumah sendiri. Begitu deras arus pariwisata di Bali menggebrak kehidupan orang kecil Bali yang akhirnya tidak pernah menikmati sama sekali kue pariwisata yang sangat besar bentuknya.
Dan salah satu kehidupan orang Bali yang semakin terkikis di tanah Legian adalah mereka kehilangan keheningan dan kesucian tanah yang harus rela diinjak dengan pengorbanan mereka menemui orang asing dalam keadaan telanjang membayar dagangan mereka. Ironis sekali bukan ?
Ketika suatu malam saya menemani seorang saudara yang ingin melihat tanah Legian, saya sedikit sedih. Dan kesedihan itupun pernah saya ungkap di media ini.
Hanya memang benar kata orang bijak, ” Jangan pernah terkejut, ketika engkau menulis baik, maka respon orang akan berbeda dengan yang engkau harapkan. Jangan pernah takut. Karena sebenarnya mereka sedang sibuk memperhatikan dirimu, tulisanmu dan kepribadianmu. Berani menulis, berani bertanggung jawab”.
Saya salut dengan ejekan seorang senior saya dengan menyebut,” Jangan Lebay” maka saya pun menjawab “terima kasih”. Ejekan itu sebuah penghargaan besar buat saya. Karena hidup juga pahit, asin, manis, sepet dan segar. Buat saya itu menyegarkan pikiran saya.
Lebay karena saya menangis betapa Tanah Legian di waktu malam menjadi bukan Indonesia. Tak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk berbuat jahat kepada para pelancong untuk memerah putihkan tanah Legian. BUKAN. bukan itu point nya. Saya hanya berharap bahwa Pemerintah lebih bisa mentertibkan para pelancong untuk menghormati Indonesia sebagai negeri timur. Menghargai Indonesia khususnya Bali untuk tidak memuntahkan minuman keras mereka ke tanah Legian. Untuk tidak membuang kondom sembarangan di tanah Legian. Untuk tidak menipu penduduk asli dengan membeli tanah Legian dengan memakai nama orang asli Bali, uangnya dari pemilik dollar. Salah kah kalau saya sedih bila barat sudah berhasil merusak kehidupan timur di tanah Legian ?
Naif rasanya jika saya menulis reportase dengan memakai gambar dari blog lain pun dipermasalahkan. Pernahkah melihat media arus utama menulis berita dengan gambar dari media lain yang kurang lebih isi beritanya sama dan permasalahan yang dibahas juga sama. Lantas hak apa kita melarang orang lain menulis reportase dengan mengambil gambar milik orang lain.
Untunglah saya masih menulis di halaman saya sendiri, login nama saya masih “XiXiXi” khan ? Bukan milik orang lain, karena password saya juga sendiri yang tahu.
” Sibuk memasak di dapur orang” untuk istilah memberi komentar dengan sikap kurang baik di artikel penulis lain sangat lah tepat. Akan tetapi lebih menusuk lagi kalau kita “menilai masakan orang lain di dapur orang lain”. Rasanya saya akan sepakat dengan Soimah, MASBULOh…..Masalah ya Buat Lo.
Tulisan ini adalah catatan seorang teman. Saya mempublishnya kemabali dengan izin. Catatan ini tadinya dipublish di Kompasiana.
Seorang yang mengidap sociopath adalah orang yang cenderung anti sosial dan meremehkan opini orang lain dan senang hidup dalam kebenaran menurut versinya juga suka menjatuhkan orang lain.
Saya akan melarang orang lain memasak di rumah saya tapi jangan salahkan saya kalau saya sendiri suka menggoreng “ikan” tetangga sendiri.
Saya akan berhaha hihi untuk menyebut gadis yang menjadi orang ketiga adalah perusak rumah tangga orang lain tapi jangan pernah menyatakan saya salah kalau saya berpendapat ” rumah tangga bukanlah barang yang bisa dirusak oleh pihak ketiga”.
Saya akan mengatakan kalau rumah saya jangan dimasuki orang gila tapi jangan salahkan saya kalau saya boleh gila di rumah orang lain, karena saya orang gila.
***
Setiap apa yang ditulis seseorang dalam sebuah artikelnya adalah sebuah keniscayaan relatif. Tidak bisa mutlak selalu benar dan juga tidak mutlak selalu salah. Selalu ada nilai - nilai berspektrum luas yang ditulis seseorang untuk bisa dikaji dan digali oleh pembacanya. Maka dalam media sosial, penyedia selalu mempersilahkan semua pihak untuk berinteraktif dengan menjawab sebuah permasalahan. Inilah komunikasi dan interaksi sosial yang dibangun oleh semua media. Tidak terkecuali media arus utama. Karena kita akan mendapatkan kolom komentar di setiap berita online yang diletakkan biasanya paling bawah sebuah halaman online.
Penulis adalah orang Indonesia yang berayah suku Jawa dan ibu dari Bali. Lama tinggal di Jayapura dan Semarang. Setelah menikah, penulis memilih Bali sebagai tempat tinggal. Ada banyak kenikmatan yang saya rasakan setelah tinggal di Bali. Penulis bisa merasakan hidup dengan layak karena karunia Tuhan dan keberkahan hidup bersosialisasi dengan banyak orang di Bali.
Teman-teman dan rekan sosial dalam lingkungan saya beragam. Saya memiliki banyak juga teman yang asli Bali dan seluruh Indonesia juga tentunya.
Dan jangan salahkan saya ketika banyak teman dan lingkungan sekitar saya merasa kehilangan Bali. Mereka hidup di Bali tapi bukan menjadi tuan di rumah sendiri. Begitu deras arus pariwisata di Bali menggebrak kehidupan orang kecil Bali yang akhirnya tidak pernah menikmati sama sekali kue pariwisata yang sangat besar bentuknya.
Dan salah satu kehidupan orang Bali yang semakin terkikis di tanah Legian adalah mereka kehilangan keheningan dan kesucian tanah yang harus rela diinjak dengan pengorbanan mereka menemui orang asing dalam keadaan telanjang membayar dagangan mereka. Ironis sekali bukan ?
Ketika suatu malam saya menemani seorang saudara yang ingin melihat tanah Legian, saya sedikit sedih. Dan kesedihan itupun pernah saya ungkap di media ini.
Hanya memang benar kata orang bijak, ” Jangan pernah terkejut, ketika engkau menulis baik, maka respon orang akan berbeda dengan yang engkau harapkan. Jangan pernah takut. Karena sebenarnya mereka sedang sibuk memperhatikan dirimu, tulisanmu dan kepribadianmu. Berani menulis, berani bertanggung jawab”.
Saya salut dengan ejekan seorang senior saya dengan menyebut,” Jangan Lebay” maka saya pun menjawab “terima kasih”. Ejekan itu sebuah penghargaan besar buat saya. Karena hidup juga pahit, asin, manis, sepet dan segar. Buat saya itu menyegarkan pikiran saya.
Lebay karena saya menangis betapa Tanah Legian di waktu malam menjadi bukan Indonesia. Tak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk berbuat jahat kepada para pelancong untuk memerah putihkan tanah Legian. BUKAN. bukan itu point nya. Saya hanya berharap bahwa Pemerintah lebih bisa mentertibkan para pelancong untuk menghormati Indonesia sebagai negeri timur. Menghargai Indonesia khususnya Bali untuk tidak memuntahkan minuman keras mereka ke tanah Legian. Untuk tidak membuang kondom sembarangan di tanah Legian. Untuk tidak menipu penduduk asli dengan membeli tanah Legian dengan memakai nama orang asli Bali, uangnya dari pemilik dollar. Salah kah kalau saya sedih bila barat sudah berhasil merusak kehidupan timur di tanah Legian ?
Naif rasanya jika saya menulis reportase dengan memakai gambar dari blog lain pun dipermasalahkan. Pernahkah melihat media arus utama menulis berita dengan gambar dari media lain yang kurang lebih isi beritanya sama dan permasalahan yang dibahas juga sama. Lantas hak apa kita melarang orang lain menulis reportase dengan mengambil gambar milik orang lain.
Untunglah saya masih menulis di halaman saya sendiri, login nama saya masih “XiXiXi” khan ? Bukan milik orang lain, karena password saya juga sendiri yang tahu.
” Sibuk memasak di dapur orang” untuk istilah memberi komentar dengan sikap kurang baik di artikel penulis lain sangat lah tepat. Akan tetapi lebih menusuk lagi kalau kita “menilai masakan orang lain di dapur orang lain”. Rasanya saya akan sepakat dengan Soimah, MASBULOh…..Masalah ya Buat Lo.
Tulisan ini adalah catatan seorang teman. Saya mempublishnya kemabali dengan izin. Catatan ini tadinya dipublish di Kompasiana.
Guru, Panggilan dan Ibadah
Kemarin sore, sekolah saya, Pelita, menyelenggarakan ibadah dan perayaan Natal. KAli ini, acara tersebut untuk guru-guru. Sekitar 200 guru dariberbagai jenjang menghadiri acara ini. Walaupun tidak semua guru Nasrani, namun karena sejak awal bergabung guru-guru tersebut telah mengetahui affiliasi sekolah, maka banyak guru senior non Nasrani juga mengikuti acara. (Habis acara dapat amplop sih... hehehehe. Mudah-mudahan motivasinya bukan amplop) Tahun lalu, acara diselenggarakan secara katolik. Tahun ini secara Kristen.
Sebenarnya tulisan ini bukan hendak menyinggung masalah apa keyakinan guru-guru di sekolah. Namun, yang menjadi topik saya adalah renungan yang disampaikan oleh Pendeta Lie Amin. Guru adalah pekerjaan yang bukan pilihan, namun panggilan. Maksudnya, tak semua orang dipanggil menjadi guru. Ada banyak orang, meninggalkan tugas mengajar, karena
1. Uang. Saya tidak mendapatkan penghargaan yang layak sebagai guru, kenapa harus tetap menjadi guru? Itu pertanyaan lumrah bagi guru berorientasi uang. Uang kan real, nyata, panggilan itu cuma perasaan. Itu juga pendapat lain. Hidup butuh uang, bro, sis. Anak juga harus dikasih makan. Gaji sekian mending saya kerja yang lain daripada jadi guru. TAk heran saat gaji guru dinaikkan banyak orang mulai melirik profesi guru. Namun tetap saja, uang yang utama.
2. Tak sabar. Kesabaran itu bukanlah lahir karena sifat bawaan. Kesabaran itu dilatih. Beralasan kita tak punya kesabaran sebenarnya merupakan pernyataan lain dari tidak terpanggil. Saya bukan orang yang sabar, tetapi saya sudah 12 tahun menjadi guru. Saya bukan tak pernah marah pada murid-murid saya, namun murid-murid saya mencintai saya. Kesabaran saya bukan karena memang saya punya sifat tersebut, namun karena saya mencintai anak-anak saya. Cinta itu lahir dari panggilan.
Dua saja dulu. Kata Pendeta, ada dua pekerjaan yang memerlukan panggilan, Guru dan Ulama (pendeta, ia menyebutnya, karena Kristen). Tanpa panggilan, bayangkan pekerjaan ini melelahkan pikiran, tubuh, dan juga menyita seluruh waktu. Sebagai guru atau dan ulama, seseorang, secara sadar membiarkan dirinya disorot 24 jam perbuatan dan perkataannya. Padahal, guru dan ulama juga manusia lho.
Ada waktunya lelah, sakit, ada waktunya tertekan/stress jika ada masalah, punya keluarga yang belum tentu juga memahami panggilannya. So, bagi kita yang masih sanggup berdiri/duduk sebagai guru, saat ini, SELAMAT atas penggilannya. Ini adalah Ibadah kita pada Sang Pencipta, meneruskan kata-kata dan pengetahuan kepada generasi berikutnya.
Ibadah, karena, hanya TUHAN yang mencukupkan kita. Asal kita setia, pasti, ibadah kita diterima. Rizki mah Tuhan yang atur, kata orang bijak.
Sebenarnya tulisan ini bukan hendak menyinggung masalah apa keyakinan guru-guru di sekolah. Namun, yang menjadi topik saya adalah renungan yang disampaikan oleh Pendeta Lie Amin. Guru adalah pekerjaan yang bukan pilihan, namun panggilan. Maksudnya, tak semua orang dipanggil menjadi guru. Ada banyak orang, meninggalkan tugas mengajar, karena
1. Uang. Saya tidak mendapatkan penghargaan yang layak sebagai guru, kenapa harus tetap menjadi guru? Itu pertanyaan lumrah bagi guru berorientasi uang. Uang kan real, nyata, panggilan itu cuma perasaan. Itu juga pendapat lain. Hidup butuh uang, bro, sis. Anak juga harus dikasih makan. Gaji sekian mending saya kerja yang lain daripada jadi guru. TAk heran saat gaji guru dinaikkan banyak orang mulai melirik profesi guru. Namun tetap saja, uang yang utama.
2. Tak sabar. Kesabaran itu bukanlah lahir karena sifat bawaan. Kesabaran itu dilatih. Beralasan kita tak punya kesabaran sebenarnya merupakan pernyataan lain dari tidak terpanggil. Saya bukan orang yang sabar, tetapi saya sudah 12 tahun menjadi guru. Saya bukan tak pernah marah pada murid-murid saya, namun murid-murid saya mencintai saya. Kesabaran saya bukan karena memang saya punya sifat tersebut, namun karena saya mencintai anak-anak saya. Cinta itu lahir dari panggilan.
Dua saja dulu. Kata Pendeta, ada dua pekerjaan yang memerlukan panggilan, Guru dan Ulama (pendeta, ia menyebutnya, karena Kristen). Tanpa panggilan, bayangkan pekerjaan ini melelahkan pikiran, tubuh, dan juga menyita seluruh waktu. Sebagai guru atau dan ulama, seseorang, secara sadar membiarkan dirinya disorot 24 jam perbuatan dan perkataannya. Padahal, guru dan ulama juga manusia lho.
Ada waktunya lelah, sakit, ada waktunya tertekan/stress jika ada masalah, punya keluarga yang belum tentu juga memahami panggilannya. So, bagi kita yang masih sanggup berdiri/duduk sebagai guru, saat ini, SELAMAT atas penggilannya. Ini adalah Ibadah kita pada Sang Pencipta, meneruskan kata-kata dan pengetahuan kepada generasi berikutnya.
Ibadah, karena, hanya TUHAN yang mencukupkan kita. Asal kita setia, pasti, ibadah kita diterima. Rizki mah Tuhan yang atur, kata orang bijak.
Langganan:
Komentar (Atom)
Tips Hidup Maksimal
Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...
-
Judul:Zone Penulis: Jack Lance Penerbit: Bhuana Sastra/BIP Jumlah halaman : 328 ISBN: 9786024554927 Harga: Rp. 75K Sinopsis: Dengan ...
-
Pagi ini, habis curhat di WAG. Salah satu WAG event. Belakangan ini kalau ikutan event apa apa kan konfirmasi nya kudu masuk WAG. Sebenarnya...

