Jumat, 16 Januari 2015
Saya dan Menulis
Belakangan ini, sejak aktif di media sosial dengan judul awal kompas, saya menulis nyaris setiap hari. Banyak sekali tulisan saya, mulai dari dunia mengajar maupun pemikiran mengenai berbagai fenomena, dan juga tak jarang sekedar mengeluarkan uneg-uneg. Dalam 1 tahun 9 bulan menulis di media tersebut, saya sudah membuat 4 buku keroyokan dan membukukan 30 tulisan secara mandiri. Buku yang merupakan kumpulan 30 artikel saya tersebut telah terjual sekitar 100 exemplar. Belum kembali biaya pencetakannya, namun beberapa pembeli mengatakan, seandainya saya melakukan editing dan serius menggarap buku tersebut mestinya akan jadi baan pengayaan bagi guru. (Dalam hati saya, benarkah?) Beberapa tulisan original yang lahir dari pengalaman dan sempat saya tuliskan di sini juga sebenarnya tak lebih dari ungkapan hati. Saya mencintai dunia mengajar dan bermimpi, masih bermimpi, akan menjadi penulis cerita anak,....Mempengaruhi anak lewat tulisan, mengajarkan karakter positif melalui tulisan. Oh,... impian yang,... mungkin akan terwujud. HANYA JIKA SAYA DISIPLIN MENULIS. #cuma catatan pagi, sebelum kesekolah#
Minggu, 21 Desember 2014
Pentingnya Guru Menulis
Belajar, dengan menulis.
Menulis, tetap ingat apa yang dipelajari.
Mendengar lupa. Menulis ada catatan.
Guru menulis memang harus.
Paling sedikit ada satu yang harus ditulis oleh guru.
1. Perencanaan kegiatan belajar. Dalam suatu acara seminar, seorang narasumber mengatakan bahwa ruang kelas adalah panggung. Agar panggung ini bisa dikuasai perlu rencana. Adakah artis yang mau manggung tanpa rencana, dengan lagu yang tak dikuasai, suara fals dan tanpa tata rias? Gurupun seharusnya demikian. Kita tidak bisa mengajar tanpa rencana. Belajar adalah suatu kegiatan terencana dan bertujuan. Tanpa rencana = merencanakan kegagalan.
Mengapa rencana harus ditulis? Agar tidak lupa. Setuju?
Selain itu, rencana diperlukan, bilamana, guru berhalangan hadir, guru pengganti mengetahui dan dapat melakukan tindak lanjut dari rencana tersebut. Seorang guru yang (seperti saya) kurang ideal kondisi kesehatannya bisa lebih detail dalam menulis rencana-nya, agar sewaktu-waktu tidak hadir (karena sakit) bisa tetap berjalan pelajarannya sesuai rencana.
Rencana merupakan outline penting yang harus dituliskan guru. Pada satu rencana bisa saja penerapan lapangannya tergantung pada guru yang bersangkutan, namun sekurangnya jelas tujuan pembelajaran dan kelihatan apa yang sudah dicapai.
2. Guru perlu menuliskan refleksi dari pembelajaran yang sudah dilaksanakan. Refleksi merupakan hal penting lain, bisa melakukan perencanaan belum tentu sesuai dengan harapan pada pelaksanaan. Refleksi merupakan evaluasi, pencapaian dalam pelaksanaan, kekurangan dan hal hal yang perlu diperbaiki serta hal-hal yang penting untuk dipertahankan. Refleksi merupakan evaluasi diri secara mandiri. Walaupun seorang guru ingin berhasil dalam mengajar, belum tentu bisa dicapai dalam sekali pertemuan. Refleksi ini mencakup rasa, emosi saat mengajar, kesiapan siswa belajar, dan juga pemikiran terhadap perbaikan.
Mengapa refleksi penting? Karena pendidikan bukan tergantung pada faktor siswa saja, namun juga pada faktor guru yang siap belajar. Belajar dari kesalahan dan kekurangan pada pembelajaran sebelumnya.
3. Guru juga dapat menularkan kebiasaan menulis refleksi ini pada siswa. Guru perlu membaca refleksi siswa untuk melengkapi refleksi dirinya.
Belakangan ini, di kelas saya menyediakan buku catatan untuk siswa menuliskan perasaan dan pemikirannya setelah pembelajaran seharian. Pada buku yang saya berikan siswa lebih bisa mengekspresikan dirinya dan menjelaskan perasaannya berkaitan dengan pembelajaran. Salah satu siswa saya menggunakan buku yang saya bagikan untuk mencurahkan pemikirannya mengenai manajemen kelas saya juga.
Menarik karena dalam suatu acara bersama, seorang nara sumber menyebutkan bahwa guru yang baik belajar juga dari siswanya. Tulisan siswa saya mengajarkan saya hal-hal yang perlu saya perbaiki. Ia memotret hal-hal yang terjadi yang terlewatkan oleh saya. Siswa saya ini membuat saya semakin termotivasi menulis. Jadi, kebiasaan guru menulis memicu siswa untuk menulis juga. Seperti halnya membaca ditularkan, maka menulis-pun juga bisa ditularkan.
4. Saya menulis, karena tulisan saya adalah pemikiran saya, refleksi dari pengalaman hidup saya. Jadi sebagai guru, beberapa tulisan saya adalah berkaitan dengan pengalaman saya di sekolah. Koreksian, aturan, dan kegiatan keseharian guru. HANYA REFLEKSI. Cermin pemikiran dan perilaku, dan jika meminjam ungkapan seorang dosen, TERAPI JIWA.
Menulis diawali dari keinginan meluapkan rasa, berkelanjutan karena adanya fasilitas dari KOMPASIANA. Sejak mengenal KOMPASIANA, dan menyadari tulisan-tulisan saya mempunyai pembaca, maka timbullah semangat untuk menulis.
Guru juga manusia biasa. Punya perasaan, punya problem. Kehidupannya mungkin tak hanya berkutat di sekolah. Ada guru yang menjadi kepala keluarga, ada guru yang menjadi ibu rumah tangga. Ada guru yang melajang. Kondisi psikologis guru mempengaruhi interaksinya dengan siswa. Dengan menulis, guru dapat menerapi jiwanya sendiri, bertutur menyembuhkan diri sendiri.
Contoh sederhana, kemarin saya dipuji seseorang. “Hebat ya, miss. Ulangan bisa dikoreksi dengan cepat.” Kebetulan pujian itu hanya terdengar telinga saya. Kalau ada telinga guru lain mendengar, tentunya akan terjadi bisik-bisik. Seperti waktu kepala sekolah menyebutkan kepada guru-guru, “ Guru kita dipuji, mengerjakan koreksi ulangan cepat. Kepala sekolah tidak salah pilih guru. Selamat ya miss.” Reaksi spontan yang timbul di antara guru-guru adalah, “sudah buat analisisnya?” Guru yang dipuji memang baru bergabung dan belum tahu apa itu analisis. Perhatikan, bahwa guru punya rasa. Bisa merasa iri atau kurang dihargai, karena sudah bekerja lama tidak pernah dipuji, yang baru malah dipuji. Menulis menjadi TERAPI yang baik. Mencatat perasaan iri atau kurang dihargai bahkan mencatat keberhasilan, sehingga saat rasa iri mengganggu, kita punya pemikiran,… saya juga pernah mencapai prestasi kok. Guru tetap punya semangat dan gairah dalam mengajar. Saya punya beberapa buku berisi pujian siswa pada saya, yang pada saat saya lelah dan kendur, menjadi motivasi yang menyegarkan. Tetapi, bukan hanya siswa yang dapat menuliskan motivasi. Sebagai guru, kita perlu memotivasi diri. Caranya? Ya menulis.
5. Karena kebetulan saya di sekolah, maka saya bisa memotret kejadian-kejadian dalam lingkup sekolah. Tantangan yang dihadapi guru dan sukacita mengajar anak-anak. Saya menulis, karena ingin. Tentunya, saya berani mempertanggungjawabkan tulisan saya. Artinya, saya belajar dari semua pengalaman dan peristiwa yang saya alami. Memotret berarti mewariskan pengetahuan pada generasi berikutnya.
6. Tujuannya berbagi. Memang kelihatannya hanya berbagi, namun apa yang kita miliki, jika dibagikan akan memperkaya isinya. Berbagi yang paling sederhana, adalah pemikiran melalui tulisan. Guru yang profesional tentu saja guru yang mumpuni di bidangnya, dan guru yang cerdas dapat menuliskan pemikiran dari kompetensi yang telah dikuasainya. Interaksi antara guru dan peserta didik akan terlihat ketika guru menuliskan pengalaman terbaiknya, dan tentu saja melalui tulisan (sekali lagi) mampu mewariskannya pada guru-guru di masa yang akan datang.
Guru adalah figur yang secara professional dituntut mampu berbagi. Khususnya membagikan pengetahuannya sesuai mata pelajaran yang diampu. Ini dibuktikan melalui karya tulisnya baik secara ilmiah sebuat penelitian tindakan kelas, maupun secara reportase yaitu catatan harian. Orang yang pandai belum tentu bisa menjadi guru, karena berbagi adalah seni dan naluri seorang guru. Saya sudah sering mendengar pernyataan, “saya tidak sanggup mengajari anak saya, bukannya tidak tahu sih, tetapi bagaimana caranya?” Masalah besarnya adalah pada cara berbagi. Pintar saja tidak cukup, bagi seorang guru. Ia perlu mewakafkan diri, memberikan diri untuk berbagi.
Ruang ajar guru hanya sebatas kelas, atau lingkungannya saat ia berbagi. Dengan menulis, ia membuatnya menjadi global, apalagi dengan adanya blog, dan buku.Menulis di blog, menulis di media cetak, menulis buku memperluas jangkauan kelas kita. Distribusi guru tidak merata, mungkin dengan sumbangsih tulisan, guru dapat menjadi guru di tempat-tempat yang tak pernah dijejakinya. Saya misalnya, saat ini berdomisili di Jakarta, tulisan saya mengenai pembelajaran di SD bisa saja dibaca dan menjadi inspirasi bagi ibu rumah tangga di Papua, dan menolong guru yang bukan berasal dari pendidikan guru di pelosok Aceh. Apa mungkin? Mungkin.
Berkait dengan pentingnya guru menulis, manfaatnya adalah,
Mengembangkan dan menerapkan program-program inovatif, program inovatif bisa berkembang dan diterapkan dan terus dikembangkan jika ditulis. Bukannya sayang jika program yang dimiliki terlewatkan tanpa adanya rekaman tulisan. Tulisan guru dapat memotret program inovatif yang diterapkannya dalam manajemen kelas, pelaksanaan pembelajaran bahkan juga konseling siswa untuk perkembangan diri mereka.
• Membangun kapasitas dan memberdayakan guru. Ia tidak hanya menjadi penerima aturan ataupun kurikulum, pada akhirnya namun mampu memberdayakan dan menginspirasi anak didik serta lingkungannya. Guru bukan hanya berfungsi di sekolah, namun juga di luar sekolah. Menulis adalah salah satu caranya. Guru yang tidak menulis berhenti pada titik menerima, tidak berdaya apalagi berkapasitas lebih.
• Mendokumentasikan dan berbagi praktek-praktek terbaik kepada masyarakat. Menulis adalah proses dokumentasi yang tak akan hilang. Apa yang kita pikirkan akan lenyap jika tidak didokumentasikan. Guru yang menulis mewariskan pemikirannya pada masa depan.
Berkait dengan penulisan buku, guru dapat memasyarakatkan kesenangan membaca. Budaya literasi ditularkan dengan teladan. Ketika saya bercerita pada murid saya, bahwa saya menulis buku, mereka senang sekali. Padahal, penerbitannya masih indie. Mereka berebut membaca dan tak jarang menanyakan kebenaran cerita yang saya tulis. “ini cerita terjadi benar ya miss? Real story?” Ada juga di antara murid saya bertanya, “ apa menulis buku susah miss? ”
Pentingnya guru menulis bagi saya adalah sebagai refleksi dari apa yang sudah dilakukannya. Saya menjadi lebih mawas diri dan terus memperbaiki kinerja sebagai seorang guru.
Tantangan yang dihadapi guru untuk menulis, WAKTU. Saya mengagumi beberapa rekan kompasianers yang selain mengajar, masih punya waktu menulis. Tumpukan koreksian tak ada akhir di atas meja, dan juga administrasi menunggu untuk dikerjakan. Belum lagi, bagi ibu rumah tangga, atau kepala keluarga, yang juga seorang guru, waktu menulis. Kesibukan yang bertubi-tubi, ternyata justru memberi lebih banyak inspirasi untuk menulis, kata beberapa di antaranya.
Mengatasi tantangan ini dapat dilakukan sesuai saran dari seorang dosen yang juga penulis, dengan membuat skala prioritas dan manajemen waktu. Menulis pada dini hari misalnya. Membantu guru saat masih fresh, membuat perencanaan, refleksi, dan menyiapkan perbaikan.
Jadi, apa penting guru menulis? Jelas, PENTING.
Tulis artikel, ceritakan pemikiranmu.
Tulis cerita, inspirasikan siswamu
Tulis inspirasi, motivasi diri dan orang lain
Tulis motivasi, bagikan kekayaan batinmu
Tulis kekayaan hati, wariskan bagi generasi mendatang
Tulis warisan, bagikan pengetahuan.
Tulis pengetahuan, jadikan hidup kita kekal.
Salam cerdas edukasi
Maria Margaretha
Menulis, tetap ingat apa yang dipelajari.
Mendengar lupa. Menulis ada catatan.
Guru menulis memang harus.
Paling sedikit ada satu yang harus ditulis oleh guru.
1. Perencanaan kegiatan belajar. Dalam suatu acara seminar, seorang narasumber mengatakan bahwa ruang kelas adalah panggung. Agar panggung ini bisa dikuasai perlu rencana. Adakah artis yang mau manggung tanpa rencana, dengan lagu yang tak dikuasai, suara fals dan tanpa tata rias? Gurupun seharusnya demikian. Kita tidak bisa mengajar tanpa rencana. Belajar adalah suatu kegiatan terencana dan bertujuan. Tanpa rencana = merencanakan kegagalan.
Mengapa rencana harus ditulis? Agar tidak lupa. Setuju?
Selain itu, rencana diperlukan, bilamana, guru berhalangan hadir, guru pengganti mengetahui dan dapat melakukan tindak lanjut dari rencana tersebut. Seorang guru yang (seperti saya) kurang ideal kondisi kesehatannya bisa lebih detail dalam menulis rencana-nya, agar sewaktu-waktu tidak hadir (karena sakit) bisa tetap berjalan pelajarannya sesuai rencana.
Rencana merupakan outline penting yang harus dituliskan guru. Pada satu rencana bisa saja penerapan lapangannya tergantung pada guru yang bersangkutan, namun sekurangnya jelas tujuan pembelajaran dan kelihatan apa yang sudah dicapai.
2. Guru perlu menuliskan refleksi dari pembelajaran yang sudah dilaksanakan. Refleksi merupakan hal penting lain, bisa melakukan perencanaan belum tentu sesuai dengan harapan pada pelaksanaan. Refleksi merupakan evaluasi, pencapaian dalam pelaksanaan, kekurangan dan hal hal yang perlu diperbaiki serta hal-hal yang penting untuk dipertahankan. Refleksi merupakan evaluasi diri secara mandiri. Walaupun seorang guru ingin berhasil dalam mengajar, belum tentu bisa dicapai dalam sekali pertemuan. Refleksi ini mencakup rasa, emosi saat mengajar, kesiapan siswa belajar, dan juga pemikiran terhadap perbaikan.
Mengapa refleksi penting? Karena pendidikan bukan tergantung pada faktor siswa saja, namun juga pada faktor guru yang siap belajar. Belajar dari kesalahan dan kekurangan pada pembelajaran sebelumnya.
3. Guru juga dapat menularkan kebiasaan menulis refleksi ini pada siswa. Guru perlu membaca refleksi siswa untuk melengkapi refleksi dirinya.
Belakangan ini, di kelas saya menyediakan buku catatan untuk siswa menuliskan perasaan dan pemikirannya setelah pembelajaran seharian. Pada buku yang saya berikan siswa lebih bisa mengekspresikan dirinya dan menjelaskan perasaannya berkaitan dengan pembelajaran. Salah satu siswa saya menggunakan buku yang saya bagikan untuk mencurahkan pemikirannya mengenai manajemen kelas saya juga.
Menarik karena dalam suatu acara bersama, seorang nara sumber menyebutkan bahwa guru yang baik belajar juga dari siswanya. Tulisan siswa saya mengajarkan saya hal-hal yang perlu saya perbaiki. Ia memotret hal-hal yang terjadi yang terlewatkan oleh saya. Siswa saya ini membuat saya semakin termotivasi menulis. Jadi, kebiasaan guru menulis memicu siswa untuk menulis juga. Seperti halnya membaca ditularkan, maka menulis-pun juga bisa ditularkan.
4. Saya menulis, karena tulisan saya adalah pemikiran saya, refleksi dari pengalaman hidup saya. Jadi sebagai guru, beberapa tulisan saya adalah berkaitan dengan pengalaman saya di sekolah. Koreksian, aturan, dan kegiatan keseharian guru. HANYA REFLEKSI. Cermin pemikiran dan perilaku, dan jika meminjam ungkapan seorang dosen, TERAPI JIWA.
Menulis diawali dari keinginan meluapkan rasa, berkelanjutan karena adanya fasilitas dari KOMPASIANA. Sejak mengenal KOMPASIANA, dan menyadari tulisan-tulisan saya mempunyai pembaca, maka timbullah semangat untuk menulis.
Guru juga manusia biasa. Punya perasaan, punya problem. Kehidupannya mungkin tak hanya berkutat di sekolah. Ada guru yang menjadi kepala keluarga, ada guru yang menjadi ibu rumah tangga. Ada guru yang melajang. Kondisi psikologis guru mempengaruhi interaksinya dengan siswa. Dengan menulis, guru dapat menerapi jiwanya sendiri, bertutur menyembuhkan diri sendiri.
Contoh sederhana, kemarin saya dipuji seseorang. “Hebat ya, miss. Ulangan bisa dikoreksi dengan cepat.” Kebetulan pujian itu hanya terdengar telinga saya. Kalau ada telinga guru lain mendengar, tentunya akan terjadi bisik-bisik. Seperti waktu kepala sekolah menyebutkan kepada guru-guru, “ Guru kita dipuji, mengerjakan koreksi ulangan cepat. Kepala sekolah tidak salah pilih guru. Selamat ya miss.” Reaksi spontan yang timbul di antara guru-guru adalah, “sudah buat analisisnya?” Guru yang dipuji memang baru bergabung dan belum tahu apa itu analisis. Perhatikan, bahwa guru punya rasa. Bisa merasa iri atau kurang dihargai, karena sudah bekerja lama tidak pernah dipuji, yang baru malah dipuji. Menulis menjadi TERAPI yang baik. Mencatat perasaan iri atau kurang dihargai bahkan mencatat keberhasilan, sehingga saat rasa iri mengganggu, kita punya pemikiran,… saya juga pernah mencapai prestasi kok. Guru tetap punya semangat dan gairah dalam mengajar. Saya punya beberapa buku berisi pujian siswa pada saya, yang pada saat saya lelah dan kendur, menjadi motivasi yang menyegarkan. Tetapi, bukan hanya siswa yang dapat menuliskan motivasi. Sebagai guru, kita perlu memotivasi diri. Caranya? Ya menulis.
5. Karena kebetulan saya di sekolah, maka saya bisa memotret kejadian-kejadian dalam lingkup sekolah. Tantangan yang dihadapi guru dan sukacita mengajar anak-anak. Saya menulis, karena ingin. Tentunya, saya berani mempertanggungjawabkan tulisan saya. Artinya, saya belajar dari semua pengalaman dan peristiwa yang saya alami. Memotret berarti mewariskan pengetahuan pada generasi berikutnya.
6. Tujuannya berbagi. Memang kelihatannya hanya berbagi, namun apa yang kita miliki, jika dibagikan akan memperkaya isinya. Berbagi yang paling sederhana, adalah pemikiran melalui tulisan. Guru yang profesional tentu saja guru yang mumpuni di bidangnya, dan guru yang cerdas dapat menuliskan pemikiran dari kompetensi yang telah dikuasainya. Interaksi antara guru dan peserta didik akan terlihat ketika guru menuliskan pengalaman terbaiknya, dan tentu saja melalui tulisan (sekali lagi) mampu mewariskannya pada guru-guru di masa yang akan datang.
Guru adalah figur yang secara professional dituntut mampu berbagi. Khususnya membagikan pengetahuannya sesuai mata pelajaran yang diampu. Ini dibuktikan melalui karya tulisnya baik secara ilmiah sebuat penelitian tindakan kelas, maupun secara reportase yaitu catatan harian. Orang yang pandai belum tentu bisa menjadi guru, karena berbagi adalah seni dan naluri seorang guru. Saya sudah sering mendengar pernyataan, “saya tidak sanggup mengajari anak saya, bukannya tidak tahu sih, tetapi bagaimana caranya?” Masalah besarnya adalah pada cara berbagi. Pintar saja tidak cukup, bagi seorang guru. Ia perlu mewakafkan diri, memberikan diri untuk berbagi.
Ruang ajar guru hanya sebatas kelas, atau lingkungannya saat ia berbagi. Dengan menulis, ia membuatnya menjadi global, apalagi dengan adanya blog, dan buku.Menulis di blog, menulis di media cetak, menulis buku memperluas jangkauan kelas kita. Distribusi guru tidak merata, mungkin dengan sumbangsih tulisan, guru dapat menjadi guru di tempat-tempat yang tak pernah dijejakinya. Saya misalnya, saat ini berdomisili di Jakarta, tulisan saya mengenai pembelajaran di SD bisa saja dibaca dan menjadi inspirasi bagi ibu rumah tangga di Papua, dan menolong guru yang bukan berasal dari pendidikan guru di pelosok Aceh. Apa mungkin? Mungkin.
Berkait dengan pentingnya guru menulis, manfaatnya adalah,
Mengembangkan dan menerapkan program-program inovatif, program inovatif bisa berkembang dan diterapkan dan terus dikembangkan jika ditulis. Bukannya sayang jika program yang dimiliki terlewatkan tanpa adanya rekaman tulisan. Tulisan guru dapat memotret program inovatif yang diterapkannya dalam manajemen kelas, pelaksanaan pembelajaran bahkan juga konseling siswa untuk perkembangan diri mereka.
• Membangun kapasitas dan memberdayakan guru. Ia tidak hanya menjadi penerima aturan ataupun kurikulum, pada akhirnya namun mampu memberdayakan dan menginspirasi anak didik serta lingkungannya. Guru bukan hanya berfungsi di sekolah, namun juga di luar sekolah. Menulis adalah salah satu caranya. Guru yang tidak menulis berhenti pada titik menerima, tidak berdaya apalagi berkapasitas lebih.
• Mendokumentasikan dan berbagi praktek-praktek terbaik kepada masyarakat. Menulis adalah proses dokumentasi yang tak akan hilang. Apa yang kita pikirkan akan lenyap jika tidak didokumentasikan. Guru yang menulis mewariskan pemikirannya pada masa depan.
Berkait dengan penulisan buku, guru dapat memasyarakatkan kesenangan membaca. Budaya literasi ditularkan dengan teladan. Ketika saya bercerita pada murid saya, bahwa saya menulis buku, mereka senang sekali. Padahal, penerbitannya masih indie. Mereka berebut membaca dan tak jarang menanyakan kebenaran cerita yang saya tulis. “ini cerita terjadi benar ya miss? Real story?” Ada juga di antara murid saya bertanya, “ apa menulis buku susah miss? ”
Pentingnya guru menulis bagi saya adalah sebagai refleksi dari apa yang sudah dilakukannya. Saya menjadi lebih mawas diri dan terus memperbaiki kinerja sebagai seorang guru.
Tantangan yang dihadapi guru untuk menulis, WAKTU. Saya mengagumi beberapa rekan kompasianers yang selain mengajar, masih punya waktu menulis. Tumpukan koreksian tak ada akhir di atas meja, dan juga administrasi menunggu untuk dikerjakan. Belum lagi, bagi ibu rumah tangga, atau kepala keluarga, yang juga seorang guru, waktu menulis. Kesibukan yang bertubi-tubi, ternyata justru memberi lebih banyak inspirasi untuk menulis, kata beberapa di antaranya.
Mengatasi tantangan ini dapat dilakukan sesuai saran dari seorang dosen yang juga penulis, dengan membuat skala prioritas dan manajemen waktu. Menulis pada dini hari misalnya. Membantu guru saat masih fresh, membuat perencanaan, refleksi, dan menyiapkan perbaikan.
Jadi, apa penting guru menulis? Jelas, PENTING.
Tulis artikel, ceritakan pemikiranmu.
Tulis cerita, inspirasikan siswamu
Tulis inspirasi, motivasi diri dan orang lain
Tulis motivasi, bagikan kekayaan batinmu
Tulis kekayaan hati, wariskan bagi generasi mendatang
Tulis warisan, bagikan pengetahuan.
Tulis pengetahuan, jadikan hidup kita kekal.
Salam cerdas edukasi
Maria Margaretha
Kamis, 13 November 2014
Peranan Teknologi Informasi dalam Pembelajaran
Oleh Maria Margaretha S.Pd.
Pada masa lalu, guru mengajar menggunakan buku ajar. Guru yang sudah mengajar bertahun-tahun, menguasai buku ajar hingga kadang kala guru sudah tak lagi perlu membuka buku ajar untuk melaksanakan proses pembelajaran. Hafal tanpa melihat buku ajar lagi.
Murid pada masa lalu bergantung sepenuhnya pada guru untuk menjelaskan hal-hal yang ada dalam buku ajar. Murid tidak masuk sekolah akan ketinggalan materi ajar yang diterangkan oleh guru. Murid takut sekali absen, karena takut ketinggalan.
Masa kini, murid tak lagi takut absen sekolah. Kata mereka, belajar melalui you tube lebih menarik dari keterangan guru. Mereka juga tak segan mengkritisi guru, karena hal-hal yang diterangkan guru sudah mereka ketahui dari internet.
Kondisi seperti ini, apakah fungsi guru jadinya?
Di kelas 5 SD, anggota kelas saya, dari 32 siswa, 28 di antaranya mempunyai akses internet. Mereka menggunakan internet dalam kesehariannya. 17 dari 28 tersebut mempunyai akses secara mobile, melalui I-Pad, atau telepon pintar (smart phone) dan sisanya menggunakan PC atau laptop. Ada juga yang menggunakan keduanya.
Separuh dari 28 tersebut menggunakan akses-nya ke internet untuk mencari bahan pelajaran yang tidak dimengertinya. Namun sedih juga, ternyata lebih banyak lagi yang menggunakan akses internet tersebut untuk akses game online. Beberapa di antaranya bahkan aktif di sosial media.
Sebagai guru masa kini, apa tindakan saya?
1. Mendorong diri memanfaatkan teknologi sebagai bagian dari sumber belajar. Saya menarik minat anak didik saya masuk pelajaran dengan pembukaan berupa video atau tampilan power point yang menarik, yang membuat anak jadi ingin tahu. Tentu saja ini memerlukan sarana dan prasarana pendukung dari sekolah. Tidak semua sekolah memiliki proyektor dan juga speaker, namun sekali lagi, kemampuan guru menggunakan piranti semacam ini penting. Guru perlu menguasai cara membuat slide untuk presentasi yang menarik, menambahkan animasi dan membuat desain dengan cara yang bervariasi.
2. Meng-edukasi anak menggunakan piranti elektronik dan akses internet untuk belajar. Memberikan tugas-tugas yang membuat anak belajar dengan menggunakan akses tersebut. Beberapa sekolah yang maju dan semua siswanya bisa terhubung dengan internet berlangganan situs-situs pembelajaran seperti, Raz-kidz.com, untuk meningkatkan kemampuan membaca bahasa Inggris, science, dan matematika.
Saya pernah memanfaatkan situs seperti IXL.com untuk melatih anak belajar matematika. Ada banyak situs-situs pendidikan yang bisa kita sarankan pada sisiwa untuk meningkatkan kemampuan pelajaran yang kita ampu. Sebagai guru SD yang mengampu semua mata pelajaran tentunya situs-situs ini bisa berguna sekali. Referensi tambahan untuk latihan pelajaran dengan topik-topik tertentu
3. Memberikan pembelajaran pada siswa terkait dengan etika di dunia maya dan memberikan pemahaman pentingnya menggunakan internet untuk kebaikan, bukan sekedar fun, namun memiliki nilai tambah yaitu ilmu dan etika.
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi bagi guru adalah,
a. Membuat kegiatan belajar jadi menyenangkan. Bervariasi dan tidak membosankan. Anak usia sekolah dasar senang bermain dan akses internet memberikan variasi latihan soal yang seolah-olah bermain, padahal belajar juga. Menghafalkan perkalian dengan games interaktif di papan tulis elektronik, membuat kelas sangat bersemangat.
b. Kesempatan guru meng-update kemampuan mengenai manajemen kelas dengan bergabung pada organisasi keguruan di dunia maya. Banyak tips-tips manajemen kelas yang di share oleh rekan guru lain, bisa kita manfaatkan dengan modifikasi untuk kelas kita. Mengapa tidak?
Selain itu kita juga dapat menemukan metode-metode pembelajaran unik yang bisa kita gunakan di kelas kita. Hal yang kita pikirkan, dan kita tahu, mungkin adalah hal baru bagi teman guru di tempat lain. Hal yang bagi guru lain biasa, bagi kita itu baru. Dengan Teknologi, kita bisa melakukan update dan membuat kelas kita lebih menarik dan kreatif.
c. Membangun jejaring sesama guru. Bertukar pikiran, untuk kemajuan pendidikan. Kreativitas tak melulu hadir dalam kesendirian, namun ketika kita bertemu (dunia maya) dengan guru lain, kita bisa menemukan inspirasi baru. Kenapa tidak?
d. Memperoleh sumber kreativitas tanpa ujung. Internet dipenuhi bahan-bahan yang bisa kita manfaatkan. Jika sekolah tidak punya proyektorpun, kita bisa menemukan gambar-gambar bermanfaat yang bisa diprint untuk media mengajar.
TAK KALAH PENTINGNYA:
Guru menguasai TIK bisa membuat buku, dan memberi manfaat pada lebih banyak orang melalu menulis. Mengapa tidak?
Pada masa lalu, guru mengajar menggunakan buku ajar. Guru yang sudah mengajar bertahun-tahun, menguasai buku ajar hingga kadang kala guru sudah tak lagi perlu membuka buku ajar untuk melaksanakan proses pembelajaran. Hafal tanpa melihat buku ajar lagi.
Murid pada masa lalu bergantung sepenuhnya pada guru untuk menjelaskan hal-hal yang ada dalam buku ajar. Murid tidak masuk sekolah akan ketinggalan materi ajar yang diterangkan oleh guru. Murid takut sekali absen, karena takut ketinggalan.
Masa kini, murid tak lagi takut absen sekolah. Kata mereka, belajar melalui you tube lebih menarik dari keterangan guru. Mereka juga tak segan mengkritisi guru, karena hal-hal yang diterangkan guru sudah mereka ketahui dari internet.
Kondisi seperti ini, apakah fungsi guru jadinya?
Di kelas 5 SD, anggota kelas saya, dari 32 siswa, 28 di antaranya mempunyai akses internet. Mereka menggunakan internet dalam kesehariannya. 17 dari 28 tersebut mempunyai akses secara mobile, melalui I-Pad, atau telepon pintar (smart phone) dan sisanya menggunakan PC atau laptop. Ada juga yang menggunakan keduanya.
Separuh dari 28 tersebut menggunakan akses-nya ke internet untuk mencari bahan pelajaran yang tidak dimengertinya. Namun sedih juga, ternyata lebih banyak lagi yang menggunakan akses internet tersebut untuk akses game online. Beberapa di antaranya bahkan aktif di sosial media.
Sebagai guru masa kini, apa tindakan saya?
1. Mendorong diri memanfaatkan teknologi sebagai bagian dari sumber belajar. Saya menarik minat anak didik saya masuk pelajaran dengan pembukaan berupa video atau tampilan power point yang menarik, yang membuat anak jadi ingin tahu. Tentu saja ini memerlukan sarana dan prasarana pendukung dari sekolah. Tidak semua sekolah memiliki proyektor dan juga speaker, namun sekali lagi, kemampuan guru menggunakan piranti semacam ini penting. Guru perlu menguasai cara membuat slide untuk presentasi yang menarik, menambahkan animasi dan membuat desain dengan cara yang bervariasi.
2. Meng-edukasi anak menggunakan piranti elektronik dan akses internet untuk belajar. Memberikan tugas-tugas yang membuat anak belajar dengan menggunakan akses tersebut. Beberapa sekolah yang maju dan semua siswanya bisa terhubung dengan internet berlangganan situs-situs pembelajaran seperti, Raz-kidz.com, untuk meningkatkan kemampuan membaca bahasa Inggris, science, dan matematika.
Saya pernah memanfaatkan situs seperti IXL.com untuk melatih anak belajar matematika. Ada banyak situs-situs pendidikan yang bisa kita sarankan pada sisiwa untuk meningkatkan kemampuan pelajaran yang kita ampu. Sebagai guru SD yang mengampu semua mata pelajaran tentunya situs-situs ini bisa berguna sekali. Referensi tambahan untuk latihan pelajaran dengan topik-topik tertentu
3. Memberikan pembelajaran pada siswa terkait dengan etika di dunia maya dan memberikan pemahaman pentingnya menggunakan internet untuk kebaikan, bukan sekedar fun, namun memiliki nilai tambah yaitu ilmu dan etika.
Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi bagi guru adalah,
a. Membuat kegiatan belajar jadi menyenangkan. Bervariasi dan tidak membosankan. Anak usia sekolah dasar senang bermain dan akses internet memberikan variasi latihan soal yang seolah-olah bermain, padahal belajar juga. Menghafalkan perkalian dengan games interaktif di papan tulis elektronik, membuat kelas sangat bersemangat.
b. Kesempatan guru meng-update kemampuan mengenai manajemen kelas dengan bergabung pada organisasi keguruan di dunia maya. Banyak tips-tips manajemen kelas yang di share oleh rekan guru lain, bisa kita manfaatkan dengan modifikasi untuk kelas kita. Mengapa tidak?
Selain itu kita juga dapat menemukan metode-metode pembelajaran unik yang bisa kita gunakan di kelas kita. Hal yang kita pikirkan, dan kita tahu, mungkin adalah hal baru bagi teman guru di tempat lain. Hal yang bagi guru lain biasa, bagi kita itu baru. Dengan Teknologi, kita bisa melakukan update dan membuat kelas kita lebih menarik dan kreatif.
c. Membangun jejaring sesama guru. Bertukar pikiran, untuk kemajuan pendidikan. Kreativitas tak melulu hadir dalam kesendirian, namun ketika kita bertemu (dunia maya) dengan guru lain, kita bisa menemukan inspirasi baru. Kenapa tidak?
d. Memperoleh sumber kreativitas tanpa ujung. Internet dipenuhi bahan-bahan yang bisa kita manfaatkan. Jika sekolah tidak punya proyektorpun, kita bisa menemukan gambar-gambar bermanfaat yang bisa diprint untuk media mengajar.
TAK KALAH PENTINGNYA:
Guru menguasai TIK bisa membuat buku, dan memberi manfaat pada lebih banyak orang melalu menulis. Mengapa tidak?
Minggu, 12 Oktober 2014
Luka
Aku tak pernah memahami
Adanya rasa ini
dalam relung-relung hati
kala kumenyendiri
Kadang,
ingin kuberlari
didera radang
tak kunjung henti
Aku ingin seperti yang lain
punya toleransi lebih dan pengertian
lelah sudah aku berjalan
tak sanggup lagi ku meniti titian
kenapa aku berbeda?
Adanya rasa ini
dalam relung-relung hati
kala kumenyendiri
Kadang,
ingin kuberlari
didera radang
tak kunjung henti
Aku ingin seperti yang lain
punya toleransi lebih dan pengertian
lelah sudah aku berjalan
tak sanggup lagi ku meniti titian
kenapa aku berbeda?
Sabtu, 15 Maret 2014
Berilah, pemberian yang menyembuhkan
Berilah pada orang yang membutuhkan tanpa mengharap imbalan. Karena saat memberi, berarti kita sedang menabung untuk masa kekekalan. Kita perlu mengingat bahwa kita tak membawa apa-apa waktu kita dilahirkan, masuk ke dunia ini. Demikian pula saat kita meninggalkan dunia ini, mati, wafat, kita tak pula bisa membawa apapun. Hal ini memang bukanlah apa yang diajarkan dunia ini pada manusia masa sekarang.
Di masa kini, manusia cenderung menyimpan dan memikirkan dirinya sendiri untuk masa depan yang ada akhirnya, yaitu kematian. Bahkan, penjara adalah kematian kala hidup. Ini bisa dilihat dari kehidupan para pemimpin masa kini.
Beberapa hari lalu saya terlibat percakapan sendu, dengan seorang ibu. Ia mengutarakan kejengkelannya karena seolah kurang dipedulikan oleh keluarganya. Rumah-rumah ibadah juga kehilangan pemimpin yang memikirkan umat. Di gereja, ada pemimpin jemaat yang ditahan, dicurigai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk diri dan keluarga. Tak kurang juga disebut beberapa ustad dalam forum-forum diskusi, yang menuntut rupiah dari umat.
Aduhai, memang masih ada nurani di antara-nya. Namun sungguh sedih kala menyimak dan mengamati bagaimana manusia masa kini menjadi egois dan tak lagi peduli.
Memberi, dapat menjadi sarana untuk menyadarkan diri, bahwa hidup ini sementara. Mari berbagi dengan memberi, apa yang seharusnya kita berikan. Salam.
9memberi tak hanya uang. Namun juga waktu dan tenaga.
Kamis, 16 Mei 2013
Pengalaman Mengurus KTP DKI
Saat aku menuliskan ini, KTP DKI aku sudah keluar. Yups... Finally, aku mendapatkan KTPku. Aku menulis ini tepatnya Desember 2011. Ini adalah tulisanku di website kependudukan DKI saat mengurus KTP.
Selamat siang,
Saya Maria Margaretha. Tanggal 1 November baru lalu, saya mengajukan perpindahan dari Surabaya. Saya mempunyai semua surat dan persyaratan lengkap.
Saat datang ke kelurahan, ditawarkan untuk menguruskannya dengan biaya 200 ribu untuk waktu pembuatan selama 2 minggu oleh bapak Dudi. Saya memutuskan mengurus sendiri dan diberitahukan oleh (Bapak Wawan) pegawai kelurahan Sawah Besar lainnya akan makan waktu 7 bulan kurang lebih dengan biaya sesuai retribusi kelurahan. Pak Wawan memberitahukan saya bahwa tidak mungkin saya mengurus sendiri karena hanya petugas kelurahan yang berhak mengurus KTP warga pendatang ke kantor walikota. Apakah itu benar?
Perlu saya terangkan bahwa Pak Wawan (No. Hp: 085715666679) mengakui beliau hanya pegawai honorer dan memberitahukan bahwa Pak Dudi adalah atasannya yang adalah pindahan dari kantor walikota. Beliau sendiri memberitahu saya bahwa beliau sudah 7 tahun bekerja di kelurahan dan belum 1 wargapun yang mengurus KTPnya sendiri selain saya. Apakah semua penuturan dan penjelasan Pak Wawan tersebut benar dan dapat dipercaya?
Semua berkas saya yaitu: SKCK daerah asal, surat pindah daerah asal, Surat keterangan bekerja di Jakarta, KK dan KTP penjamin (Copy), Surat keterangan RT/RW di Pasar Baru, Akta kelahiran, pas foto 3X4, sudah di kelurahan. Saya sudah menyelesaikan proses hingga kecamatan dan kembali kekelurahan untuk surat pelaporan penduduk baru. Agar KTP dapat selesai 14 hari kerja persyaratannya adalah menyertakan dana 200 ribu tersebut.
Mohon informasi sejelasnya.
Hormat saya.
Maria Margaretha Tanggal Surat 17 November 2011
Yth. Sdr Maria Margaretha
Terimakasih Saudara telah mengunjungi Website Dinas Kependudukan & Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta,
Sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 42 Pergub No. 16 Tahun 2005 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, bagi persyaratan untuk pindah menjadi penduduk DKI Jakarta (WNI) adalah:
1. Surat Pengantar dari RT/RW
2. Surat Keterangan Pindah yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil daerah asal
3. Surat Keterangan Jaminan Tempat Tinggal (KK dari tempat tinggal di Jakarta/Surat Keterangan dari Pengelola Apartemen/Tempat Kost)
4. Surat Keterangan Jaminan Kerja dari instansi/perusahaan/orang yang mempekerjakannya, atau Surat Keterangan dari Perguruan Tinggi/Sekolah bagi pelajar/mahasiswa
5. Surat Keterangan Kelakuan Baik dari daerah asal.
6. Akta Kelahiran
Permohonan dan Persyaratan tsb diajukan melalui Loket Pelayanan Administrasi Kependudukan Kelurahan setempat di jam dan hari kerja (Senin s.d. Jum'at). Pelayanan online belum kami terapkan, karena masih dalam proses pengembangan pelayanan.
Atas permohonan tersebut, Sdr akan mendapatkan Surat Keterangan Tempat Tinggal (SKTT).
SKTT beserta berkas selanjutnya diajukan ke Kecamatan setempat (Seksi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kecamatan) untuk mengajukan permohonan Surat Keterangan Pendatang Baru, dan dilaporkan kembali ke Kelurahan dan akan mendapatkan Surat Keterangan Calon Penduduk dan penjelasan waktu untuk proses KTP. (karena petugas kelurahan harus memproses lebih dahulu ke Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota),
Setelah 14 hari, Saudara datang kembali ke Kantor Kelurahan untuk proses KTP (penyerapan sidik jari dan foto).
Sesuai keterangan di atas untuk pendatang baru dibutuhkan 14 hari.
Terima kasih atas peran aktif Sdr dalam mewujudkan tertib administrasi kependudukan. Demikian, harap maklum.
Salam
Redaksi (tanggal Surat 28 November 2011)
Yth. Redaksi,
Setelah menerima jawaban dari pertanyaan saya tanggal 17 November lalu, pada 28 November, kemarin, tanggal 30 November saya mencetak jawaban redaksi dan menunjukkannya pada petugas kependudukan di kantor kelurahan Pasar Baru. Petugas, (Bapak Wawan) menyatakan dengan tegas bahwa ia mengikuti prosedur sebagaimana tertulis di surat keterangan calon penduduk. Dan beliau dengan tegas mengatakan bahwa redaksi salah. Ia meminta saya membaca bagian bawah dimana tertera tulisan bahwa surat keterangan calon penduduk tersebut berlaku selama 180 hari. Ketika saya menanyakan apakah saya perlu memberitahu redaksi bahwa redaksi salah, ia akhirnya mengatakan tidak perlu dan meminta saya kembali 3 minggu lagi dan menemui atasannya Bapak Dudi, (021 98913400), untuk diproses KTP. Padahal berkas saya sejak 15 November sudah di tangan petugas kelurahan untuk diproses ke Dinas kependudukan. Surat Keterangan Calon Penduduk saya bertanggal 15 November. Saya mohon penjelasan lebih kongkret lagi. Saya bersedia dihubungi melalui HP saya di 085720397090. Saya mohon ketegasannya, siapa yang salah dan kapan KTP saya seharusnya selesai, sesuai prosedur terbaru??? Terimakasih atas jawabannya dan saya menanti jawaban redaksi.
Yth Redaksi, sehubungan dengan surat saya tanggal 17 November dan dijawab redaksi 28 November, dan 1 Desember kemarin yang belum dijawab, saya sungguh2 menunggu-nunggu jawaban dari Redaksi, mengingat semakin lama KTP saya tertahan di kelurahan Pasar Baru (karena Pak Dudi dan Pak Wawan petugas Kependudukan di kelurahan), semakin lama pula saya dapat mengurus perubahan dokumen lain. Padahal, saya hanya berharap menjadi warga negara yang baik.
Mengingat saya menyertakan no HP kedua petugas, dapatkah pihak Dinas melakukan penindakan. Kapan saya seharusnya dapat memperoleh KTP saya, jika surat keterangan calon penduduk saya bertanggal 15 November? Karena setelah saya datang kembali dengan print out balasan dari redaksi dinyatakan bahwa saya disuruh kembali ke Kelurahan 3 minggu lagi, dimana itu berarti sekitar tanggal 28 Desember.
Berikut no SKCP saya 79/1.755.13/XI/2011, dan no SKPPB saya 206/1.755.155/XI/Swh. Besar/2011 dan dan No Surat Pindah saya 475/6538/436.6.7/2011 bertanggal 01 November 2011.
Saya membutuhkan KTP saya untuk mengurus perubahan NPWP, Paspor dan SIM. Saya bahkan sudah meluangkan waktu kerja saya.
Bapak Dudi, menjawab SMS saya meminta agar saya kembali ke kelurahan tanggal 12 Desember dengan alasan beliau sedang dalam diklat. Apakah hal-hal tersebut wajar???
Mohon diinformasikan bagaimana seharusnya. Terimakasih.
Redaksi Yth.,
Setelah saya menulis dan dijawab 28 November lalu, saya menulis kembali di awal Desember, namun tidak dijawab. 4 tulisan saya tidak mendapatkan jawaban, namun, saya mendapat telepon dari Ibu Santi, saya tidak tahu siapa beliau, namun beliau bertanya bagaimana akhir masalah KTP saya, dan saya menerangkan bahwa saya belum memperoleh penyelesaian yang memuaskan. Siang itu, setelah ibu Santi menelepon, ketua RT mendatangi rumah saya dan menyuruh saya foto untuk KTP saya. Keesokan harinya KTP tersebut selesai. Saya merasa perlu mengungkapkan kepuasan saya melalui forum ini. Bagaimanapun, saya menghargai petugas yang telah(saya tidak tahu caranya) membuat Pak Wawan dan Pak Dudi tersebut menyelesaikan KTP saya walaupun agak terlambat namun lebih masuk akal (karena hanya 16 hari kerja daripada 7 bulan).
Saya menghabiskan banyak waktu membaca surat-surat warga diforum ini sebelumnya. Saya merasa sedih bahwa banyak sekali warga yang diperas oleh oknum-oknum. Warga tidak dapat mengadu pada redaksi, karna tidak ada akses internet bahkan mungkin tidak tahu cara menggunakan komputer. Mengapa Redaksi tidak memberikan penyuluhan pada warga? Saya mengajar anak didik saya mematuhi aturan, namun dilapangan kondisi sangat berbeda. Mendengar dari Pak Wawan yang menuturkan bahwa beliau tidak digaji membuat saya empati. Tentu saja pungli terjadi jika pernyataan beliau benar. Pada saat saya foto, petugas yang mencetak KTP saya mengatakan bahwa kelurahan harus membayar Rp.15000,- dikantor walikota untuk setiap blangko KTP. Sementara warga mendapatkan gratis/ Apakah itu benar? Jika itu benar, mungkin itu penyebab mereka melakukan pungli. Saya ingat waktu saya tinggal di Batam, di sana warga dapat mengecek proses pembuatan KTP mereka secara online. Jakarta kota yang segalanya tersedia, mengapa tidak dapat melakukan hal yang sama? Atau untuk memudahkan warga, mungkin dapat dipasang no customer service di telepon untuk dinas kependudukan? Saya mencari2 no telpon dinas kependudukan melalui 108, internet, namun waktu saya telpon tidak tersambung. Mohon, agar dapat dicegah dan dilakukan sesuatu. Kelurahan pondok Bambu misalnya, sudah banyak sekali keluhan. Kelurahan Pasar Baru sendiri jika menilik pernyataan Pak Wawan, 7 tahun tidak ada yang mengurus sendiri, mengapa? tentu ada masalah. Saya berharap dapat mendengar kemajuan di dinas kependudukan yang terlihat dengan perburangnya keluhan warga melalui suara warga ini. Sekali lagi terimakasih.
Saat ini, saya juga bahkan telah mendapatkan E-KTP Jakarta. Hmmmmmmf senang sih. Walaupun E-KTPnya belum diaktivasi. Belum sempat. Berharap sekarang di era gubernur JOKOWI, membuat KTP juga jadi lebih mudah.
Sesi kesedihan
Kemarin, 15 Mei 2013.
Aku kembali menemui konselor. Mungkin, bagi beberapa orang, menemui seorang konselor adalah hal yang dihindari, walaupun mempunyai masalah. Aku mulai menemui konselor ini lagi, sejak dikeluarkan dari pekerjaanku, awal Maret lalu. Bukannya aku seorang konselor juga? Ya, tapi, akupun perlu membereskan “unfinish business” dalam hidupku sendiri. Aku bukannya tidak menyadari bahwa aku punya masalah dalam management emosi, dan konflik. Rendahnya fleksibilitas, sangat mempengaruhi aku dari berbagai aspek. Kesehatan, pekerjaan dan pelayanan. Aku ingin menjadi orang yang lebih baik.
Konselor ini memberiku pantulan-pantulan perasaan dan juga membantuku mengenali hal-hal yang mungkin kusadari namun tidak pernah aku pikirkan. Menyeimbangkan pikiran dan perasaanku.
Suatu contoh, aku sangat sedih karena seorang teman dekatku memutuskan berpisah dengan suaminya. Keduanya adalah orang-orang yang kukasihi. Ada 2 tahun puzzle hidupku bersama mereka. Mereka ada disampingku, saat aku sakit. Aku merasa sedih sekali saat mengetahuinya. Rasioku bisa memahami keluhan temanku (yang perempuan lebih dekat denganku). Tapi hatiku tetap pedih.
Aku masih belum terbiasa dengan perpisahan. Saat mantan pemimpin kelompok selku ditinggalkan suaminyapun, hatiku pedih sekali. Aku sedih untuk anaknya, perempuan, bagaimana rasanya ditinggalkan seorang ayah diusia dewasa muda? Aku masih bisa mengingat kesedihanku, waktu aku masih SD kelas 6, mencuri baca surat papaku pada mamaku, saat mereka memutuskan berpisah. Bagaimana remaja itu bertahan? Sekarang sudah hampir 3 tahun, pria itu meninggalkan istrinya, PEMIMPIN KELOMPOK SEL.
Aku masih sedih.
Tahun lalu, kira-kira hari-hari ini, seorang sahabatku (pria) meninggal dunia. Aku baru tahu 4 bulan kemudian. Aku sangat sedih. Kadangkala, aku berharap secara mendadak ia memnyapaku di YM atau FB-ku seperti biasa. Aku masih bisa mengingat, nasehat-nasehatnya yang terkadang aku rasa membosankan,… tetapi sekarang seringkali aku berharap dia masih hidup. Rasa sedih itu juga bersumber dari, mengapa aku tidak tahu dia sakit? Bagaimana bisa aku berteman dan tidak tahu temanku sudah dipanggil TUHAN?
Aku perlu merelease, melepaskan emosi-emosi negative ini, bukan? Aku tidak bisa bertahan saja. Sementara itu, aku juga harus membenahi fleksibilitasku. Aku harus mempertahankan pekerjaanku. Aku harus bisa fleksibel. Rajin, jujur serta kompeten saja tidak cukup. Aku sudah membuktikan ini. Aku kompeten, jujur dan rajin. Namun saat emosiku meledak, aku kehilangan pekerjaan semudah aku mendapatkannya.
Yap, banyak orang mengaku sulit mendapatkan pekerjaan. Aku bersyukur, aku tidak kesulitan mendapatkan pekerjaan. Semua karena TUHAN. Tapi aku harus mengatasi semua masalahku dulu. Membenahi emosiku, fleksibilitasku yang membuka celah-celah konflik. AKU HARUS. Supaya aku bisa bertahan di pekerjaanku terbaru.
Membicarakan kesedihan, aku sedih untuk sahabatku, yang kehilangan istrinya karena sakit, kurang lebih 1 ½ bulan lalu. Aku berempati untuk anak perempuannya. Aku memang tidak pernah memiliki perhatian dan kehadiran mamaku sejak kecil. Mamaku ada, hidup, tetapi, beliau adalah type mama yang sibuk dengan dirinya sendiri, dan dunianya berpusat pada dirinya sendiri. Aku membayangkan anak perempuan seusia anak sahabatku itu harus menghadapi mama yang sakit hampir setahun terakhir dan sekarang kehilangan mama juga dipanggil TUHAN. Aku juga sedih untuk sahabatku, yang kutahu adalah type pria “familyman”. Memang ia tidak mengeluh atau kelihatan sedih, karena bahkan ia sudah berteman kembali denganku, tetapi apa yang sebenarnya ada di dasar hati-nya? Aku ikut sedih dan merasa tidak berdaya memberi apa-apa.
Tumpukan banyak perasaan ini mengganggu, walaupun kadang kuabaikan. Saat sesi konseling, aku menemukan pantulan-pantulan dan kilas balik, masa laluku, dalam pengalaman-pengalaman masa kini, baik melalui hidup orang lain maupun dalam hidupku. Kesedihan karena perpisahan, kehilangan dan duka orang lain.
Aku menemukan bahwa, untuk dapat melupakan, kita harus bisa mengingat, dan kemudian, menerima, barulah melepaskan, sehingga akhirnya kesedihan itu dapat berganti menjadi syukur.
Pada intinya, setelah sesi management emosi dan fleksibilitas ini selesai, aku berharap bisa senormal teman-temanku. Aku ingin mempertahankan teman-temanku, juga pekerjaanku, tanpa membuang idealisme dan prinsip Alkitab dalam hidupku.
Rabu, 08 Mei 2013
Pemimpin yang melayani
Aku membaca-baca banyak berita tentang Jokowi Ahok, beberapa hari terakhir ini, Mulai dari kebijaksanaan seleksi jabatannya yang dikecam seorang lurah, meninggalnya seorang bayi yg notabene dalam pendapatku, bukanlah tanggung jawabnya dan dia disalahkan, kemacetan dan sampai MRT serta usaha untuk mengatasi banjir dengan mengeruk waduk Pluit, yang ditentang orang-orang yang menempati lahan itu.
Aku berpikir, bahwa menjadi warga, pengusul, pemberi ide, penonton sungguh sangat mudah. Dalam pelaksanaan mereka yang dilapangan ini dan bergulat dengan jutaan masalah yang tak terlihat. Kupikir, mereka hanya 2 orang yang sungguh-sungguh berusaha dengan seluruh kemampuan menghadapi dan mencari solusi, jutaan orang. Apa yang bisa kita lakukan?
Sejak 13 Februari 2013, saya memulai babak terbaru dalam pelayanan saya. Bertahun-tahun ini saya mengarahkan diri menerima bimbingan dan belajar untuk tunduk pada otoritas sya. Tanpa pernah saya sadari ketaatan dan kesediaan saya, membawa saya pada posisi ini. Ya, 13 Februari 2013, Sanggar Anak Cerdas Ceria dimulai, dan saya dipercaya sebagai person in contact, atau penanggung jawab pelaksana kegiatan tersebut.
Saya belajar membuat keputusan-keputusan dan juga mengorganisasi kegiatan 3 X 2 jam setiap minggunya. Semula, saya hanya perlu mengatur hal-hal sederhana. Namun seiring dengan pertumbuhan jumlah anak didik di sanggar, bertumbuh juga jumlah crew di sanggar. Saya kadang merasa dipercayakan hal, yang saya TIDAK MAMPU lakukan. Namun untuk mundur, rasanya sudah terlalu terlambat.
Saya menyadari bahwa saya sangat bermasalah dengan fleksibilitas. Saya mengundurkan diri dari pekerjaan saya dibeberapa tempat, karena alasan-alasan yang bagi beberapa orang adalah hal yang sebenarnya bisa dikompromikan. Sekali lagi, fleksibilitas yang rendah membuat saya hampir selalu gagal berkompromi. Saya lelah dengan kondisi berganti pekerjaan setiap tahun. Namun disisi lain saya kesulitan berkompromi.
Saat ini sebagai pemimpin saya jadi semakin harus fleksibel. Kadang kala saya ingin menangis setiap mengakhiri hari. Rasanya mustahil melakukan semua ini tanpa pertolongan TUHAN.
Saat ini crew di Sanggar sudah mencapai 30 an pada database. Sementara anak didik pada database sudah 200,… bayangkan. Awal, dimulai hanya dengan jumlah crew kurang dari sepertiganya dan jumlah anak didik 9 saja. Belum lagi orang tua anak yang mengantar. Anak didik sudah dibagi 2 grup, Bimbel dan Prasekolah.
Seringkali saya merasa tidak berdaya saat hari H kegiatan crew SMS, “kak, hari ini absen ya. Ada kegiatan di kantor.” Atau “kak, maaf nih ada keperluan keluarga.” Aku bisa merasakan yang dirasakan atasan aku dulu bila temanku absen bekerja. (Namun bekerja tentunya berbeda dengan melayani sebagai sukarelawan. Semua crew adalah sukarewan termasuk saya. Beda pula dengan situasi di sekolah kalau teman absen, mereka dipotong salary, sedang kita yg menggantikan ngga dapat apa-apa.) Tetapi harus diakui, ini membuatku jadi deg-degan setiap hari sanggar.
Tetapi crew yang absen dengan pemberitahuan di awal tentunya layak diapresiasi, karena memperlihatkan tanggungjawab. Bahkan yang memberitahu saat pelaksanaan pun saya masih bisa apresiasi. Crew yang benar2 membuat saya pusing adalah crew yang terjadwal, dan berkomitmen pada hari tertentu, tetapi absen dan tidak memberi kabar. Crew yang (menurut saya, ) berharap ada yang menelepon/SMS, “ Kak, hari ini bisa ya?” bahkan setelah disms pun seringkali ngga dijawab. Bayangkan ngondoknya jadi pemimpin, apalagi,saya yang fleksibilitas rendah. Sampai seorang teman menohok saya dengan kata-kata sederhana, “kak, ingat-ingat ya, kakak teH bukan kepala sekolah, kakak teH gembala… yah gembalakanlah orang-orang itu.” So, sebagai gembala, aku adalah pelayan bagi semua orang-orang itu.
NANGIS DEH.
2001 Aku selesai kuliah kependidikan agama Kristen, aku tidak mau menjadi gembala,… dan sekarang,.. bumm … here I am.
Saya belajar, mencoba menjadi fleksibel, berkompromi dan tidak lagi melihat segala sesuatu dalam konteks ideal. Menjadi seorang gembala, bukan bicara soal memimpin saja. Namun juga bagaimana mengayomi dan membuat sebanyak mungkin anak dan crew diperhatikan dan dikasihi, maybe at the end of this era, I can be more flexible? Who knows…?
Minggu, 09 Oktober 2011
Nonton Bareng "Green Lantern"
Sabtu kemarin sungguh menyenangkan.
Aku melakukan perjalanan ke Bandung untuk ketemu teman-teman KESAN. Aku juga bawa shake chocolate untuk temanku Yosi yang belakangan ikutan aku minum HERBALIFE. Rasa coklat lebih jadi favoritenya daripada vanila yang kusukai.
Aku tidak terlalu suka nonton sebenarnya. Anehnya, Shinta dan temen-temenku di Batam telah membuatku menikmati kegiatan menonton bareng ini. Walaupun, rasanya masih lebih nikmat baca buku di gramedia sendirian.
So, Nonton bareng.
Ada 9 orang yang nonton, termasuk aku. Yunus dan Yosi, Daniel dan Kang-kang, Marlene dan Mary (temennya, aku ngga terlalu kenal), Erna dan temennya, tentunya aku sendiri.
Filmnya: Green Lantern.
Film ini kalau dilihat dari sudut teologi, menurut aku agak berbau new age lho....Mengapa? Karena dalam film ini diceritakan bahwa kekuatan terbesar manusia adalah kehendak. Yang nyata-nyata diperlihatkan bahwa kehendak diri itu dapat menaklukkan ketakutan. Padahal, kalau lihat Alkitab, Manusia mengalahkan ketakutan karena Kasih Illahi dalam dirinya I Yohanes 4:12, kalo gak salah sih....
Tapi aku menikmati film ini. Ada pengakuan bahwa berbeda itu saling melengkapi. Pada saat si Hal, tokoh pahlawan dalam film ini dikatakan sebagai individu yang ngga bisa mengalahkan ketakutannya seperti pasukan Green Lantern lain, ternyata ketakutan sebenarnya juga berharga. Ketakutan menyadarkan manusia keterbatasan dirinya. Padahal Pasukan Green Lantern telah dilatih dan diseragamkan untuk tidak memiliki ketakutan, tetapi ternyata mereka tidak berdaya menghadapi Paralax yang menyerap ketakutan mahluk2 di planet2 yang dihancurkannya. Malah si Hal manusia biasa yang masih punya ketakutan, yang berbeda dengan prajurit Green Lantern lain justru bisa mengalahkan Paralax.
Hei, aku menyukai bagian saat teman-teman Hal meyakinkan Hal bahwa ia masih memiliki keberanian walaupun merasakan ketakutan.
Why? ini sesuai dengan situasi aku. Persahabatan, teman-temanlah yang membuat aku merasakan keberanian menghadapi ketidakpastian. Aku punya TUHAN, jadi aku percaya bahwa TUHAN yang memberikku teman-teman sebaik mereka semua.
So, ngga sia-sia kan menghabiskan 5 jam perjalanan ke Bandung hanya untuk 4 jam hang out bersama teman-teman kesan??? THANKS GOD for give me a good friend like them.....
Aku melakukan perjalanan ke Bandung untuk ketemu teman-teman KESAN. Aku juga bawa shake chocolate untuk temanku Yosi yang belakangan ikutan aku minum HERBALIFE. Rasa coklat lebih jadi favoritenya daripada vanila yang kusukai.
Aku tidak terlalu suka nonton sebenarnya. Anehnya, Shinta dan temen-temenku di Batam telah membuatku menikmati kegiatan menonton bareng ini. Walaupun, rasanya masih lebih nikmat baca buku di gramedia sendirian.
So, Nonton bareng.
Ada 9 orang yang nonton, termasuk aku. Yunus dan Yosi, Daniel dan Kang-kang, Marlene dan Mary (temennya, aku ngga terlalu kenal), Erna dan temennya, tentunya aku sendiri.
Filmnya: Green Lantern.
Film ini kalau dilihat dari sudut teologi, menurut aku agak berbau new age lho....Mengapa? Karena dalam film ini diceritakan bahwa kekuatan terbesar manusia adalah kehendak. Yang nyata-nyata diperlihatkan bahwa kehendak diri itu dapat menaklukkan ketakutan. Padahal, kalau lihat Alkitab, Manusia mengalahkan ketakutan karena Kasih Illahi dalam dirinya I Yohanes 4:12, kalo gak salah sih....
Tapi aku menikmati film ini. Ada pengakuan bahwa berbeda itu saling melengkapi. Pada saat si Hal, tokoh pahlawan dalam film ini dikatakan sebagai individu yang ngga bisa mengalahkan ketakutannya seperti pasukan Green Lantern lain, ternyata ketakutan sebenarnya juga berharga. Ketakutan menyadarkan manusia keterbatasan dirinya. Padahal Pasukan Green Lantern telah dilatih dan diseragamkan untuk tidak memiliki ketakutan, tetapi ternyata mereka tidak berdaya menghadapi Paralax yang menyerap ketakutan mahluk2 di planet2 yang dihancurkannya. Malah si Hal manusia biasa yang masih punya ketakutan, yang berbeda dengan prajurit Green Lantern lain justru bisa mengalahkan Paralax.
Hei, aku menyukai bagian saat teman-teman Hal meyakinkan Hal bahwa ia masih memiliki keberanian walaupun merasakan ketakutan.
Why? ini sesuai dengan situasi aku. Persahabatan, teman-temanlah yang membuat aku merasakan keberanian menghadapi ketidakpastian. Aku punya TUHAN, jadi aku percaya bahwa TUHAN yang memberikku teman-teman sebaik mereka semua.
So, ngga sia-sia kan menghabiskan 5 jam perjalanan ke Bandung hanya untuk 4 jam hang out bersama teman-teman kesan??? THANKS GOD for give me a good friend like them.....
Jumat, 24 Desember 2010
KESEIMBANGAN
Sebenarnya, sudah beberapa lama saya terganggu dengan teman sekerja saya. Ia seorang tamatan S2 dari bisnis administrasi universitas Griffith Australia. Ia mengajar bahasa Indonesia di sekolah saya, untuk kelas 5-6 SD dan SMP-SMA. Sejak pertengahan Agustus lalu ia pindah ke tempat kost saya, karena kost lamanya terhitung mahal. Ia punya mobil sendiri dan setelah ia pindah ke kost saya, biasanya saya menumpang di mobilnya. Sebenarnya sih, saya lebih suka jalan kaki sampai jalan raya dan menggunakan angkutan umum yang juga lewat di depan sekolah saya. Jalan kaki kan olahraga. Hanya saja, saya tidak enak juga satu kost, satu tempat kerja kok pergi sendiri-sendiri, sehingga saya menumpang mobilnya. Selama ini perasaan terganggu yang saya rasakan, selalu saya abaikan.
Apa yang mengganggu?
1. Cerita teman saya. Setiap kali saya berada di mobilnya, ia sering menceritakan tentang konflik-konfliknya. Mulai dari mantan teman sekerjanya, sampai dengan teman pria yang sedang mendekatinya. Penceritaannya bersifat negatif. Ia menyatakan mantan teman kerja yang menfitnahnya, menjelek-jelekkan dia hingga teman pria yang mencoba menipunya. Tak jarang juga peristiwa di sekolah dengan tetangga kubikel yang tidak disukaipun diceritakannya. Saya kecapekan sebelum tiba di sekolah dan setelah pulang kerumah.
2. Ledakan emosinya dengan penghuni kost lain dan tetangga. Saya menyadari bahwa setelah pulang sekolah kami sangat lelah. Saya maklum jika ia ingin bisa segera memarkir mobil dan beristirahat. Namun karena tempat kost kami di kampung, kadang ada saja warga yang titip parkir dan menggunakan tempat parkirnya yang biasa. Saya malu, waktu ia bertengkar dengan salah satu supir anak kost yang mau pindahan. Ia sama sekali tidak mau mengalah. Saya hanya bisa segera bersembunyi di kamar saya sendiri agar tidak mendengar pertengkaran tersebut. Toh, tetangga akhirnya bercerita pada saya. Agak sulit juga menanggapi dengan tenang. Saya hanya bisa bilang, ” yah, mungkin teman saya kelelahan, jadi agak emosional.”
3. 2 minggu lalu, ia bertengkar dengan saya, karena masalah serupa. Ia bertengkar dengan tetangga dan mengatai tetangga, ”saya doakan jualanmu bangkrut” dan si tetangga membalas, ” perempuan kok seperti itu, pantas tidak ada lelaki yang mau. Makanya jadi perawan tua”. Ia menuduh saya memberitahu tetangga bahwa dia tidak punya teman pria sehingga tetangga itu dapat mengatainya demikian. Ia juga marah karena setelah pertengkaran teman saya dan si tetangga, sekalipun ikut mobilnya, saya masih membeli bekal makanan dari si tetangga yang berjualan makanan. Saya sangat terpukul dengan tuduhannya, sehingga bingung bagaimana bereaksi. Awalnya saya menanggapi dengan senyum dan mencoba menjelaskan. Sampai tiba di sekolah (waktu itu pagi hari), ia tidak mau menerima penjelasan saya dan berkeras menuduh saya demikian. Seketika saya tertekan sekali dan merasa seperti digodam, sayapun menangis. Dalam keadaan tersebut, saya menyadari bahwa tubuh saya seperti melayang. Saya juga ingat, saya harus mengajar pada jam pertama. Saya tidak bisa konsentrasi. Saya minta izin pulang dan kembali ke kost dengan limbung. Beberapa kali saya nyaris jatuh. Saya menangis sepanjang jalan. Anehnya, keesokan harinya teman saya itu masih mengajak saya berangkat bersama seolah tidak ada apa-apa. Sampai lewat 3 hari ia tidak menyinggung masalah tersebut sama sekali. Ia bahkan mengambil uang makan saya dengan santainya sambil tersenyum-senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Ia mengembalikan sebagian keesokan harinya juga dengan sikap sama. Saya yang stress. Bagaimana mungkin? Setelah bersikeras menuduh, bersikap wajar tanpa ada percakapan yang bersifat klarifikasi? Saya tidak ingin konfrontasi langsung, mengingat emosi saya belum stabil. Saya memilih menarik diri darinya. Perlahan-lahan saya kembali berangkat sendiri, dengan berbagai alasan. Mau mencetak lembar kerjalah, mau ke ATMlah, asal bisa berangkat sendiri. Pulangpun demikian. Mau ke banklah, mau ke mall. Asal bisa menghindar.
Kemudian, terjadilah insiden berikutnya. Wakil kepala sekolah meminta teman saya itu memeriksa lembar soal ujian yang saya buat. Ia mengajak saya berbicara mengenai lembar tersebut. Ia mengakui, ia tidak menguasai isi pelajaran saya. Ia hanya membantu membuat kalimat yang lebih ”mendarat” agar dimengerti siswa saya. Sebenarnya saya heran juga mengapa dia? Lembar ujian itu sebenarnya untuk kelas 2-4 SD, sedang dia mengajar kelas 5-6. Ia mengatakan bahwa ia memeriksa lembar ujian itu bersama guru Bahasa Indonesia kelas 1-4. Saya menanggapi dengan segan (karena saya masih belum siap secara emosi) lalu saya tutup dengan pernyataan, saya masih harus mengerjakan hal lain, karena guru Bahasa Indonesia kelas 1-4 sedang tidak ada dan saya memang masih sibuk merapikan pekerjaan saya lainnya. Saya menemui guru BI kelas 1-4 tersebut secara terpisah, yang mengakui memang ia memeriksa beberapa bagian tertentu dan memperbaiki kalimatnya. Setelah mendiskusikan bagian-bagian yang diperiksa guru tersebut saya membuat revisi. Kemudian saya mulai membaca lebih serius revisi yang dibuat teman saya itu. Saya menyadari bahwa banyak hal yang salah dengan revisinya dan sedikit berlebihan. Saya tidak ingin menjatuhkan teman saya itu. Saya mengusulkan agar lembar ujian saya diperiksa oleh seorang asisten guru yang benar-benar menguasai Bahasa Indonesia karena memang lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia(walaupun hanya asisten di TK), dan saya menjelaskan bahwa saya sedang ada konflik pribadi dengan teman saya itu, tanpa memberitahukan bahwa, revisi teman saya itu banyak yang salah. Lebih netral jika orang lain memeriksa apa yang perlu direvisi. Usulan saya kemudian dibicarakan dalam forum. Saya, guru bahasa Indonesia kelas 1-4, dan teman saya itu dipanggil. Wakil kepala sekolah SMP-SMA dan wakil kepala sekolah SD bersama sama berdiskusi. Keputusannya, saya harus mengabaikan konflik pribadi saya dengan teman saya itu dan tetap mengerjakan revisi tersebut bersama-sama. Akhirnya, saya menyerah. Revisi dari teman saya itu saya abaikan dan saya mengumpulkan lembar ujian saya dengan revisi dari guru BI kelas 1-4 saja.
Rupanya permintaan saya itu menyinggung perasaan teman saya itu dan ia menuduh saya menjelek-jelekkan dia. Saat itu saya sudah siap secara emosi untuk berbicara dengannya. Ia mengeluarkan uneg-unegnya selama 1 jam menuduh saya di hadapan penjaga kost yang dibangunkannya jam 10 malam itu saat saya mengajaknya bicara dengan baik-baik. Ia MENOLAK MENDENGARKAN saya sama sekali. Ia hanya menuduh dan menuduh dan semua tuduhannya tersebut merupakan prasangka saja. Akhir dari cerita ini adalah saya menemukan bahwa teman saya ini mengarang semua tuduhan tersebut.
Selama hampir 3 minggu itu saya mengalami stress karena teman saya itu. Rupanya stress saya ini berkaitan dengan masa lalu saya. Orang tua saya juga memiliki pola pemikiran negatif, seperti teman saya itu. Bertahun-tahun hidup dengan orang tua negatif yang menolak mendengarkan dengan terbuka, membuat saya CUEK DENGAN KATA ORANG. Kebalikan dari teman saya, orang tua saya hanya berbicara untuk memarahi saya dan jika dalam keadaan kesal bisa mendiamkan saya berhari-hari. Sikap orang tua saya itu membuat saya jadi cuek. Namun sekarang, saya jadi merasa bersalah untuk tuduhan yang tidak benar. Padahal, saya tidak bersalah dan tidak perlu menjelaskan apapun pada teman saya itu.
Dahulu, saya sangat ekstrim ”selama saya benar, cuek saja orang bilang apa”.
Sekarang, saya berada di ekstrim ”apa kata orang? Saya harus menjelaskan maksud saya. Mengapa ia tidak mau mendengarkan saya?”
Konselor di sekolah yang menolong saya menyadari bahwa masalah saya sangat sederhana. Saya harus mengabaikan tuduhan teman saya tersebut, dan tidak perlu menjelaskan apapun. Mencoba menjelaskan hanya memperumit masalah. Sebab memang dia tidak mau menyelesaikan masalah. Memang saya tidak menceritakan dia pada tetangga kok. Memang saya tidak bermaksud menjatuhkan dia kok. Biarkan saja dia menuduh. Terserah saja. Karena bukan saya yang rugi, kehilangan teman.
Kesadaran tentang hal ini membuat saya dapat mengabaikan teman saya tersebut. Syukurlah, akhirnya, saya menyadarinya. Namun membuat diri saya seimbang, bersikap cuek jika perlu, dan bersikap peduli pada saat lain, tidak mudah. Saya harus belajar dan banyak berlatih. Kesadaran adanya trauma masa kanak-kanak dan remaja, ketika pendapat dan perasaan saya diabaikan orang tua saya adalah kunci dari kemampuan saya bersikap seimbang saat ini. Saya belajar mencurahkan perasaan dan pendapat saya dalam diary, blog, dan juga dalam doa pribadi. Saya bersyukur memiliki sahabat yang juga sabar mendengarkan saya. Sekarang sih, saya lumayan seimbang.
Apa yang mengganggu?
1. Cerita teman saya. Setiap kali saya berada di mobilnya, ia sering menceritakan tentang konflik-konfliknya. Mulai dari mantan teman sekerjanya, sampai dengan teman pria yang sedang mendekatinya. Penceritaannya bersifat negatif. Ia menyatakan mantan teman kerja yang menfitnahnya, menjelek-jelekkan dia hingga teman pria yang mencoba menipunya. Tak jarang juga peristiwa di sekolah dengan tetangga kubikel yang tidak disukaipun diceritakannya. Saya kecapekan sebelum tiba di sekolah dan setelah pulang kerumah.
2. Ledakan emosinya dengan penghuni kost lain dan tetangga. Saya menyadari bahwa setelah pulang sekolah kami sangat lelah. Saya maklum jika ia ingin bisa segera memarkir mobil dan beristirahat. Namun karena tempat kost kami di kampung, kadang ada saja warga yang titip parkir dan menggunakan tempat parkirnya yang biasa. Saya malu, waktu ia bertengkar dengan salah satu supir anak kost yang mau pindahan. Ia sama sekali tidak mau mengalah. Saya hanya bisa segera bersembunyi di kamar saya sendiri agar tidak mendengar pertengkaran tersebut. Toh, tetangga akhirnya bercerita pada saya. Agak sulit juga menanggapi dengan tenang. Saya hanya bisa bilang, ” yah, mungkin teman saya kelelahan, jadi agak emosional.”
3. 2 minggu lalu, ia bertengkar dengan saya, karena masalah serupa. Ia bertengkar dengan tetangga dan mengatai tetangga, ”saya doakan jualanmu bangkrut” dan si tetangga membalas, ” perempuan kok seperti itu, pantas tidak ada lelaki yang mau. Makanya jadi perawan tua”. Ia menuduh saya memberitahu tetangga bahwa dia tidak punya teman pria sehingga tetangga itu dapat mengatainya demikian. Ia juga marah karena setelah pertengkaran teman saya dan si tetangga, sekalipun ikut mobilnya, saya masih membeli bekal makanan dari si tetangga yang berjualan makanan. Saya sangat terpukul dengan tuduhannya, sehingga bingung bagaimana bereaksi. Awalnya saya menanggapi dengan senyum dan mencoba menjelaskan. Sampai tiba di sekolah (waktu itu pagi hari), ia tidak mau menerima penjelasan saya dan berkeras menuduh saya demikian. Seketika saya tertekan sekali dan merasa seperti digodam, sayapun menangis. Dalam keadaan tersebut, saya menyadari bahwa tubuh saya seperti melayang. Saya juga ingat, saya harus mengajar pada jam pertama. Saya tidak bisa konsentrasi. Saya minta izin pulang dan kembali ke kost dengan limbung. Beberapa kali saya nyaris jatuh. Saya menangis sepanjang jalan. Anehnya, keesokan harinya teman saya itu masih mengajak saya berangkat bersama seolah tidak ada apa-apa. Sampai lewat 3 hari ia tidak menyinggung masalah tersebut sama sekali. Ia bahkan mengambil uang makan saya dengan santainya sambil tersenyum-senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Ia mengembalikan sebagian keesokan harinya juga dengan sikap sama. Saya yang stress. Bagaimana mungkin? Setelah bersikeras menuduh, bersikap wajar tanpa ada percakapan yang bersifat klarifikasi? Saya tidak ingin konfrontasi langsung, mengingat emosi saya belum stabil. Saya memilih menarik diri darinya. Perlahan-lahan saya kembali berangkat sendiri, dengan berbagai alasan. Mau mencetak lembar kerjalah, mau ke ATMlah, asal bisa berangkat sendiri. Pulangpun demikian. Mau ke banklah, mau ke mall. Asal bisa menghindar.
Kemudian, terjadilah insiden berikutnya. Wakil kepala sekolah meminta teman saya itu memeriksa lembar soal ujian yang saya buat. Ia mengajak saya berbicara mengenai lembar tersebut. Ia mengakui, ia tidak menguasai isi pelajaran saya. Ia hanya membantu membuat kalimat yang lebih ”mendarat” agar dimengerti siswa saya. Sebenarnya saya heran juga mengapa dia? Lembar ujian itu sebenarnya untuk kelas 2-4 SD, sedang dia mengajar kelas 5-6. Ia mengatakan bahwa ia memeriksa lembar ujian itu bersama guru Bahasa Indonesia kelas 1-4. Saya menanggapi dengan segan (karena saya masih belum siap secara emosi) lalu saya tutup dengan pernyataan, saya masih harus mengerjakan hal lain, karena guru Bahasa Indonesia kelas 1-4 sedang tidak ada dan saya memang masih sibuk merapikan pekerjaan saya lainnya. Saya menemui guru BI kelas 1-4 tersebut secara terpisah, yang mengakui memang ia memeriksa beberapa bagian tertentu dan memperbaiki kalimatnya. Setelah mendiskusikan bagian-bagian yang diperiksa guru tersebut saya membuat revisi. Kemudian saya mulai membaca lebih serius revisi yang dibuat teman saya itu. Saya menyadari bahwa banyak hal yang salah dengan revisinya dan sedikit berlebihan. Saya tidak ingin menjatuhkan teman saya itu. Saya mengusulkan agar lembar ujian saya diperiksa oleh seorang asisten guru yang benar-benar menguasai Bahasa Indonesia karena memang lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia(walaupun hanya asisten di TK), dan saya menjelaskan bahwa saya sedang ada konflik pribadi dengan teman saya itu, tanpa memberitahukan bahwa, revisi teman saya itu banyak yang salah. Lebih netral jika orang lain memeriksa apa yang perlu direvisi. Usulan saya kemudian dibicarakan dalam forum. Saya, guru bahasa Indonesia kelas 1-4, dan teman saya itu dipanggil. Wakil kepala sekolah SMP-SMA dan wakil kepala sekolah SD bersama sama berdiskusi. Keputusannya, saya harus mengabaikan konflik pribadi saya dengan teman saya itu dan tetap mengerjakan revisi tersebut bersama-sama. Akhirnya, saya menyerah. Revisi dari teman saya itu saya abaikan dan saya mengumpulkan lembar ujian saya dengan revisi dari guru BI kelas 1-4 saja.
Rupanya permintaan saya itu menyinggung perasaan teman saya itu dan ia menuduh saya menjelek-jelekkan dia. Saat itu saya sudah siap secara emosi untuk berbicara dengannya. Ia mengeluarkan uneg-unegnya selama 1 jam menuduh saya di hadapan penjaga kost yang dibangunkannya jam 10 malam itu saat saya mengajaknya bicara dengan baik-baik. Ia MENOLAK MENDENGARKAN saya sama sekali. Ia hanya menuduh dan menuduh dan semua tuduhannya tersebut merupakan prasangka saja. Akhir dari cerita ini adalah saya menemukan bahwa teman saya ini mengarang semua tuduhan tersebut.
Selama hampir 3 minggu itu saya mengalami stress karena teman saya itu. Rupanya stress saya ini berkaitan dengan masa lalu saya. Orang tua saya juga memiliki pola pemikiran negatif, seperti teman saya itu. Bertahun-tahun hidup dengan orang tua negatif yang menolak mendengarkan dengan terbuka, membuat saya CUEK DENGAN KATA ORANG. Kebalikan dari teman saya, orang tua saya hanya berbicara untuk memarahi saya dan jika dalam keadaan kesal bisa mendiamkan saya berhari-hari. Sikap orang tua saya itu membuat saya jadi cuek. Namun sekarang, saya jadi merasa bersalah untuk tuduhan yang tidak benar. Padahal, saya tidak bersalah dan tidak perlu menjelaskan apapun pada teman saya itu.
Dahulu, saya sangat ekstrim ”selama saya benar, cuek saja orang bilang apa”.
Sekarang, saya berada di ekstrim ”apa kata orang? Saya harus menjelaskan maksud saya. Mengapa ia tidak mau mendengarkan saya?”
Konselor di sekolah yang menolong saya menyadari bahwa masalah saya sangat sederhana. Saya harus mengabaikan tuduhan teman saya tersebut, dan tidak perlu menjelaskan apapun. Mencoba menjelaskan hanya memperumit masalah. Sebab memang dia tidak mau menyelesaikan masalah. Memang saya tidak menceritakan dia pada tetangga kok. Memang saya tidak bermaksud menjatuhkan dia kok. Biarkan saja dia menuduh. Terserah saja. Karena bukan saya yang rugi, kehilangan teman.
Kesadaran tentang hal ini membuat saya dapat mengabaikan teman saya tersebut. Syukurlah, akhirnya, saya menyadarinya. Namun membuat diri saya seimbang, bersikap cuek jika perlu, dan bersikap peduli pada saat lain, tidak mudah. Saya harus belajar dan banyak berlatih. Kesadaran adanya trauma masa kanak-kanak dan remaja, ketika pendapat dan perasaan saya diabaikan orang tua saya adalah kunci dari kemampuan saya bersikap seimbang saat ini. Saya belajar mencurahkan perasaan dan pendapat saya dalam diary, blog, dan juga dalam doa pribadi. Saya bersyukur memiliki sahabat yang juga sabar mendengarkan saya. Sekarang sih, saya lumayan seimbang.
Rabu, 27 Oktober 2010
INDAHNYA BELAJAR KONSELING
Saat ini, aku sudah 3 semester belajar konseling. Ya, sekarang aku di Semester 3 S2 konseling, setelah 1 tahun kuliah Batam-Jakarta, dan saat ini Bandung-Jakarta. Banyak teman-teman yang bertanya, kok repot sih kuliah lagi. Namun, aku merasa banyak sekali hal baru yang kudapatkan. Aku senang belajar konseling dan menurutku ilmunya layak diperjuangkan (sejauh Batam-Jakarta, Bandung-Jakarta).
Beberapa hal yang sangat kunikmati adalah
1. Belajar konseling membuat aku semakin menyadari siapa diriku baik secara spiritual, maupun secara mental. Aku belajar mengekspresikan perasaan-perasaanku dan pikiran-pikiranku dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya. Sebelum belajar konseling, aku benar-benar merasa sulit untuk mengkomunikasikan perasaanku, juga pikiranku. Aku didera rasa takut, jika pikiranku berbeda dengan orang lain.Sekarang, aku merasa lebih asertif dalam menyampaikan perasaan-perasaanku.
2. Belajar konseling menolongku menolong orang lain. Aku lebih dapat bersikap sabar pada murid- muridku di sekolah. Aku jadi lebih mampu mendengarkan orang lain. Aku menemukan bahwa orang-orang di sekitarku mempunyai masalah dan membutuhkan pertolongan. Sekalipun aku tidak dapat menolong mereka secara langsung, aku menemukan bahwa aku dapat memberi mereka semangat dalam menjalani masalah mereka.
3. Aku belajar menyembuhkan diriku sendiri saat berada dalam kesulitan. Aku jadi semakin bergantung pada TUHAN, karena menyadari TUHAN dan hanya TUHAN saja yang memampukan aku menghadapi semua kesulitan
4. Aku belajar bersyukur untuk semua berkat-berkat kecil yang kuterima, sehingga kemampuanku menjalani masalah semakin bertambah. Aku lebih berani menatap hari esok, sekalipun tidak pasti, karena ALLAH yang menyertaiku di masa lalu dan hari ini tetap menyertai aku juga di masa yang akan datang.
5. Aku mendapatkan banyak sahabat baru, yang menerima aku apa adanya, yang mengajar aku memberkati sesama walaupun hanya dengan senyum dan penerimaan.
6. Semula, aku belajar konseling untuk memperlengkapi pelayananku, dan tugasku mengajar, namun sekarang aku menemukan bahwa aku lebih bahagia, lebih tenang, lebih mengenal diriku sendiri dan mampu bersabar terhadap orang lain. Belum, aku belum mencapai kesabaran dan keterampilan seorang konselor yang baik, tetapi, setelah 3 semester, aku merasa sangat gembira, aku dapat belajar konseling. Terimakasih para dosen dan teman-teman sekelas dalam semua mata kuliah. Hanya Tuhan yang dapat membalas jerih lelah kalian.
Beberapa hal yang sangat kunikmati adalah
1. Belajar konseling membuat aku semakin menyadari siapa diriku baik secara spiritual, maupun secara mental. Aku belajar mengekspresikan perasaan-perasaanku dan pikiran-pikiranku dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya. Sebelum belajar konseling, aku benar-benar merasa sulit untuk mengkomunikasikan perasaanku, juga pikiranku. Aku didera rasa takut, jika pikiranku berbeda dengan orang lain.Sekarang, aku merasa lebih asertif dalam menyampaikan perasaan-perasaanku.
2. Belajar konseling menolongku menolong orang lain. Aku lebih dapat bersikap sabar pada murid- muridku di sekolah. Aku jadi lebih mampu mendengarkan orang lain. Aku menemukan bahwa orang-orang di sekitarku mempunyai masalah dan membutuhkan pertolongan. Sekalipun aku tidak dapat menolong mereka secara langsung, aku menemukan bahwa aku dapat memberi mereka semangat dalam menjalani masalah mereka.
3. Aku belajar menyembuhkan diriku sendiri saat berada dalam kesulitan. Aku jadi semakin bergantung pada TUHAN, karena menyadari TUHAN dan hanya TUHAN saja yang memampukan aku menghadapi semua kesulitan
4. Aku belajar bersyukur untuk semua berkat-berkat kecil yang kuterima, sehingga kemampuanku menjalani masalah semakin bertambah. Aku lebih berani menatap hari esok, sekalipun tidak pasti, karena ALLAH yang menyertaiku di masa lalu dan hari ini tetap menyertai aku juga di masa yang akan datang.
5. Aku mendapatkan banyak sahabat baru, yang menerima aku apa adanya, yang mengajar aku memberkati sesama walaupun hanya dengan senyum dan penerimaan.
6. Semula, aku belajar konseling untuk memperlengkapi pelayananku, dan tugasku mengajar, namun sekarang aku menemukan bahwa aku lebih bahagia, lebih tenang, lebih mengenal diriku sendiri dan mampu bersabar terhadap orang lain. Belum, aku belum mencapai kesabaran dan keterampilan seorang konselor yang baik, tetapi, setelah 3 semester, aku merasa sangat gembira, aku dapat belajar konseling. Terimakasih para dosen dan teman-teman sekelas dalam semua mata kuliah. Hanya Tuhan yang dapat membalas jerih lelah kalian.
Langganan:
Komentar (Atom)
Tips Hidup Maksimal
Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...
-
Judul:Zone Penulis: Jack Lance Penerbit: Bhuana Sastra/BIP Jumlah halaman : 328 ISBN: 9786024554927 Harga: Rp. 75K Sinopsis: Dengan ...
-
Pagi ini, habis curhat di WAG. Salah satu WAG event. Belakangan ini kalau ikutan event apa apa kan konfirmasi nya kudu masuk WAG. Sebenarnya...

