Sabtu, 15 Maret 2014

Berilah, pemberian yang menyembuhkan

Berilah pada orang yang membutuhkan tanpa mengharap imbalan. Karena saat memberi, berarti kita sedang menabung untuk masa kekekalan. Kita perlu mengingat bahwa kita tak membawa apa-apa waktu kita dilahirkan, masuk ke dunia ini. Demikian pula saat kita meninggalkan dunia ini, mati, wafat, kita tak pula bisa membawa apapun. Hal ini memang bukanlah apa yang diajarkan dunia ini pada manusia masa sekarang. Di masa kini, manusia cenderung menyimpan dan memikirkan dirinya sendiri untuk masa depan yang ada akhirnya, yaitu kematian. Bahkan, penjara adalah kematian kala hidup. Ini bisa dilihat dari kehidupan para pemimpin masa kini. Beberapa hari lalu saya terlibat percakapan sendu, dengan seorang ibu. Ia mengutarakan kejengkelannya karena seolah kurang dipedulikan oleh keluarganya. Rumah-rumah ibadah juga kehilangan pemimpin yang memikirkan umat. Di gereja, ada pemimpin jemaat yang ditahan, dicurigai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk diri dan keluarga. Tak kurang juga disebut beberapa ustad dalam forum-forum diskusi, yang menuntut rupiah dari umat. Aduhai, memang masih ada nurani di antara-nya. Namun sungguh sedih kala menyimak dan mengamati bagaimana manusia masa kini menjadi egois dan tak lagi peduli. Memberi, dapat menjadi sarana untuk menyadarkan diri, bahwa hidup ini sementara. Mari berbagi dengan memberi, apa yang seharusnya kita berikan. Salam.
9memberi tak hanya uang. Namun juga waktu dan tenaga.

Kamis, 16 Mei 2013

Pengalaman Mengurus KTP DKI

Saat aku menuliskan ini, KTP DKI aku sudah keluar. Yups... Finally, aku mendapatkan KTPku. Aku menulis ini tepatnya Desember 2011. Ini adalah tulisanku di website kependudukan DKI saat mengurus KTP. Selamat siang, Saya Maria Margaretha. Tanggal 1 November baru lalu, saya mengajukan perpindahan dari Surabaya. Saya mempunyai semua surat dan persyaratan lengkap. Saat datang ke kelurahan, ditawarkan untuk menguruskannya dengan biaya 200 ribu untuk waktu pembuatan selama 2 minggu oleh bapak Dudi. Saya memutuskan mengurus sendiri dan diberitahukan oleh (Bapak Wawan) pegawai kelurahan Sawah Besar lainnya akan makan waktu 7 bulan kurang lebih dengan biaya sesuai retribusi kelurahan. Pak Wawan memberitahukan saya bahwa tidak mungkin saya mengurus sendiri karena hanya petugas kelurahan yang berhak mengurus KTP warga pendatang ke kantor walikota. Apakah itu benar? Perlu saya terangkan bahwa Pak Wawan (No. Hp: 085715666679) mengakui beliau hanya pegawai honorer dan memberitahukan bahwa Pak Dudi adalah atasannya yang adalah pindahan dari kantor walikota. Beliau sendiri memberitahu saya bahwa beliau sudah 7 tahun bekerja di kelurahan dan belum 1 wargapun yang mengurus KTPnya sendiri selain saya. Apakah semua penuturan dan penjelasan Pak Wawan tersebut benar dan dapat dipercaya? Semua berkas saya yaitu: SKCK daerah asal, surat pindah daerah asal, Surat keterangan bekerja di Jakarta, KK dan KTP penjamin (Copy), Surat keterangan RT/RW di Pasar Baru, Akta kelahiran, pas foto 3X4, sudah di kelurahan. Saya sudah menyelesaikan proses hingga kecamatan dan kembali kekelurahan untuk surat pelaporan penduduk baru. Agar KTP dapat selesai 14 hari kerja persyaratannya adalah menyertakan dana 200 ribu tersebut. Mohon informasi sejelasnya. Hormat saya. Maria Margaretha Tanggal Surat 17 November 2011 Yth. Sdr Maria Margaretha Terimakasih Saudara telah mengunjungi Website Dinas Kependudukan & Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta, Sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 42 Pergub No. 16 Tahun 2005 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, bagi persyaratan untuk pindah menjadi penduduk DKI Jakarta (WNI) adalah: 1. Surat Pengantar dari RT/RW 2. Surat Keterangan Pindah yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil daerah asal 3. Surat Keterangan Jaminan Tempat Tinggal (KK dari tempat tinggal di Jakarta/Surat Keterangan dari Pengelola Apartemen/Tempat Kost) 4. Surat Keterangan Jaminan Kerja dari instansi/perusahaan/orang yang mempekerjakannya, atau Surat Keterangan dari Perguruan Tinggi/Sekolah bagi pelajar/mahasiswa 5. Surat Keterangan Kelakuan Baik dari daerah asal. 6. Akta Kelahiran Permohonan dan Persyaratan tsb diajukan melalui Loket Pelayanan Administrasi Kependudukan Kelurahan setempat di jam dan hari kerja (Senin s.d. Jum'at). Pelayanan online belum kami terapkan, karena masih dalam proses pengembangan pelayanan. Atas permohonan tersebut, Sdr akan mendapatkan Surat Keterangan Tempat Tinggal (SKTT). SKTT beserta berkas selanjutnya diajukan ke Kecamatan setempat (Seksi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kecamatan) untuk mengajukan permohonan Surat Keterangan Pendatang Baru, dan dilaporkan kembali ke Kelurahan dan akan mendapatkan Surat Keterangan Calon Penduduk dan penjelasan waktu untuk proses KTP. (karena petugas kelurahan harus memproses lebih dahulu ke Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota), Setelah 14 hari, Saudara datang kembali ke Kantor Kelurahan untuk proses KTP (penyerapan sidik jari dan foto). Sesuai keterangan di atas untuk pendatang baru dibutuhkan 14 hari. Terima kasih atas peran aktif Sdr dalam mewujudkan tertib administrasi kependudukan. Demikian, harap maklum. Salam Redaksi (tanggal Surat 28 November 2011) Yth. Redaksi, Setelah menerima jawaban dari pertanyaan saya tanggal 17 November lalu, pada 28 November, kemarin, tanggal 30 November saya mencetak jawaban redaksi dan menunjukkannya pada petugas kependudukan di kantor kelurahan Pasar Baru. Petugas, (Bapak Wawan) menyatakan dengan tegas bahwa ia mengikuti prosedur sebagaimana tertulis di surat keterangan calon penduduk. Dan beliau dengan tegas mengatakan bahwa redaksi salah. Ia meminta saya membaca bagian bawah dimana tertera tulisan bahwa surat keterangan calon penduduk tersebut berlaku selama 180 hari. Ketika saya menanyakan apakah saya perlu memberitahu redaksi bahwa redaksi salah, ia akhirnya mengatakan tidak perlu dan meminta saya kembali 3 minggu lagi dan menemui atasannya Bapak Dudi, (021 98913400), untuk diproses KTP. Padahal berkas saya sejak 15 November sudah di tangan petugas kelurahan untuk diproses ke Dinas kependudukan. Surat Keterangan Calon Penduduk saya bertanggal 15 November. Saya mohon penjelasan lebih kongkret lagi. Saya bersedia dihubungi melalui HP saya di 085720397090. Saya mohon ketegasannya, siapa yang salah dan kapan KTP saya seharusnya selesai, sesuai prosedur terbaru??? Terimakasih atas jawabannya dan saya menanti jawaban redaksi. Yth Redaksi, sehubungan dengan surat saya tanggal 17 November dan dijawab redaksi 28 November, dan 1 Desember kemarin yang belum dijawab, saya sungguh2 menunggu-nunggu jawaban dari Redaksi, mengingat semakin lama KTP saya tertahan di kelurahan Pasar Baru (karena Pak Dudi dan Pak Wawan petugas Kependudukan di kelurahan), semakin lama pula saya dapat mengurus perubahan dokumen lain. Padahal, saya hanya berharap menjadi warga negara yang baik. Mengingat saya menyertakan no HP kedua petugas, dapatkah pihak Dinas melakukan penindakan. Kapan saya seharusnya dapat memperoleh KTP saya, jika surat keterangan calon penduduk saya bertanggal 15 November? Karena setelah saya datang kembali dengan print out balasan dari redaksi dinyatakan bahwa saya disuruh kembali ke Kelurahan 3 minggu lagi, dimana itu berarti sekitar tanggal 28 Desember. Berikut no SKCP saya 79/1.755.13/XI/2011, dan no SKPPB saya 206/1.755.155/XI/Swh. Besar/2011 dan dan No Surat Pindah saya 475/6538/436.6.7/2011 bertanggal 01 November 2011. Saya membutuhkan KTP saya untuk mengurus perubahan NPWP, Paspor dan SIM. Saya bahkan sudah meluangkan waktu kerja saya. Bapak Dudi, menjawab SMS saya meminta agar saya kembali ke kelurahan tanggal 12 Desember dengan alasan beliau sedang dalam diklat. Apakah hal-hal tersebut wajar??? Mohon diinformasikan bagaimana seharusnya. Terimakasih. Redaksi Yth., Setelah saya menulis dan dijawab 28 November lalu, saya menulis kembali di awal Desember, namun tidak dijawab. 4 tulisan saya tidak mendapatkan jawaban, namun, saya mendapat telepon dari Ibu Santi, saya tidak tahu siapa beliau, namun beliau bertanya bagaimana akhir masalah KTP saya, dan saya menerangkan bahwa saya belum memperoleh penyelesaian yang memuaskan. Siang itu, setelah ibu Santi menelepon, ketua RT mendatangi rumah saya dan menyuruh saya foto untuk KTP saya. Keesokan harinya KTP tersebut selesai. Saya merasa perlu mengungkapkan kepuasan saya melalui forum ini. Bagaimanapun, saya menghargai petugas yang telah(saya tidak tahu caranya) membuat Pak Wawan dan Pak Dudi tersebut menyelesaikan KTP saya walaupun agak terlambat namun lebih masuk akal (karena hanya 16 hari kerja daripada 7 bulan). Saya menghabiskan banyak waktu membaca surat-surat warga diforum ini sebelumnya. Saya merasa sedih bahwa banyak sekali warga yang diperas oleh oknum-oknum. Warga tidak dapat mengadu pada redaksi, karna tidak ada akses internet bahkan mungkin tidak tahu cara menggunakan komputer. Mengapa Redaksi tidak memberikan penyuluhan pada warga? Saya mengajar anak didik saya mematuhi aturan, namun dilapangan kondisi sangat berbeda. Mendengar dari Pak Wawan yang menuturkan bahwa beliau tidak digaji membuat saya empati. Tentu saja pungli terjadi jika pernyataan beliau benar. Pada saat saya foto, petugas yang mencetak KTP saya mengatakan bahwa kelurahan harus membayar Rp.15000,- dikantor walikota untuk setiap blangko KTP. Sementara warga mendapatkan gratis/ Apakah itu benar? Jika itu benar, mungkin itu penyebab mereka melakukan pungli. Saya ingat waktu saya tinggal di Batam, di sana warga dapat mengecek proses pembuatan KTP mereka secara online. Jakarta kota yang segalanya tersedia, mengapa tidak dapat melakukan hal yang sama? Atau untuk memudahkan warga, mungkin dapat dipasang no customer service di telepon untuk dinas kependudukan? Saya mencari2 no telpon dinas kependudukan melalui 108, internet, namun waktu saya telpon tidak tersambung. Mohon, agar dapat dicegah dan dilakukan sesuatu. Kelurahan pondok Bambu misalnya, sudah banyak sekali keluhan. Kelurahan Pasar Baru sendiri jika menilik pernyataan Pak Wawan, 7 tahun tidak ada yang mengurus sendiri, mengapa? tentu ada masalah. Saya berharap dapat mendengar kemajuan di dinas kependudukan yang terlihat dengan perburangnya keluhan warga melalui suara warga ini. Sekali lagi terimakasih. Saat ini, saya juga bahkan telah mendapatkan E-KTP Jakarta. Hmmmmmmf senang sih. Walaupun E-KTPnya belum diaktivasi. Belum sempat. Berharap sekarang di era gubernur JOKOWI, membuat KTP juga jadi lebih mudah.

Sesi kesedihan

Kemarin, 15 Mei 2013. Aku kembali menemui konselor. Mungkin, bagi beberapa orang, menemui seorang konselor adalah hal yang dihindari, walaupun mempunyai masalah. Aku mulai menemui konselor ini lagi, sejak dikeluarkan dari pekerjaanku, awal Maret lalu. Bukannya aku seorang konselor juga? Ya, tapi, akupun perlu membereskan “unfinish business” dalam hidupku sendiri. Aku bukannya tidak menyadari bahwa aku punya masalah dalam management emosi, dan konflik. Rendahnya fleksibilitas, sangat mempengaruhi aku dari berbagai aspek. Kesehatan, pekerjaan dan pelayanan. Aku ingin menjadi orang yang lebih baik. Konselor ini memberiku pantulan-pantulan perasaan dan juga membantuku mengenali hal-hal yang mungkin kusadari namun tidak pernah aku pikirkan. Menyeimbangkan pikiran dan perasaanku. Suatu contoh, aku sangat sedih karena seorang teman dekatku memutuskan berpisah dengan suaminya. Keduanya adalah orang-orang yang kukasihi. Ada 2 tahun puzzle hidupku bersama mereka. Mereka ada disampingku, saat aku sakit. Aku merasa sedih sekali saat mengetahuinya. Rasioku bisa memahami keluhan temanku (yang perempuan lebih dekat denganku). Tapi hatiku tetap pedih. Aku masih belum terbiasa dengan perpisahan. Saat mantan pemimpin kelompok selku ditinggalkan suaminyapun, hatiku pedih sekali. Aku sedih untuk anaknya, perempuan, bagaimana rasanya ditinggalkan seorang ayah diusia dewasa muda? Aku masih bisa mengingat kesedihanku, waktu aku masih SD kelas 6, mencuri baca surat papaku pada mamaku, saat mereka memutuskan berpisah. Bagaimana remaja itu bertahan? Sekarang sudah hampir 3 tahun, pria itu meninggalkan istrinya, PEMIMPIN KELOMPOK SEL. Aku masih sedih. Tahun lalu, kira-kira hari-hari ini, seorang sahabatku (pria) meninggal dunia. Aku baru tahu 4 bulan kemudian. Aku sangat sedih. Kadangkala, aku berharap secara mendadak ia memnyapaku di YM atau FB-ku seperti biasa. Aku masih bisa mengingat, nasehat-nasehatnya yang terkadang aku rasa membosankan,… tetapi sekarang seringkali aku berharap dia masih hidup. Rasa sedih itu juga bersumber dari, mengapa aku tidak tahu dia sakit? Bagaimana bisa aku berteman dan tidak tahu temanku sudah dipanggil TUHAN? Aku perlu merelease, melepaskan emosi-emosi negative ini, bukan? Aku tidak bisa bertahan saja. Sementara itu, aku juga harus membenahi fleksibilitasku. Aku harus mempertahankan pekerjaanku. Aku harus bisa fleksibel. Rajin, jujur serta kompeten saja tidak cukup. Aku sudah membuktikan ini. Aku kompeten, jujur dan rajin. Namun saat emosiku meledak, aku kehilangan pekerjaan semudah aku mendapatkannya. Yap, banyak orang mengaku sulit mendapatkan pekerjaan. Aku bersyukur, aku tidak kesulitan mendapatkan pekerjaan. Semua karena TUHAN. Tapi aku harus mengatasi semua masalahku dulu. Membenahi emosiku, fleksibilitasku yang membuka celah-celah konflik. AKU HARUS. Supaya aku bisa bertahan di pekerjaanku terbaru. Membicarakan kesedihan, aku sedih untuk sahabatku, yang kehilangan istrinya karena sakit, kurang lebih 1 ½ bulan lalu. Aku berempati untuk anak perempuannya. Aku memang tidak pernah memiliki perhatian dan kehadiran mamaku sejak kecil. Mamaku ada, hidup, tetapi, beliau adalah type mama yang sibuk dengan dirinya sendiri, dan dunianya berpusat pada dirinya sendiri. Aku membayangkan anak perempuan seusia anak sahabatku itu harus menghadapi mama yang sakit hampir setahun terakhir dan sekarang kehilangan mama juga dipanggil TUHAN. Aku juga sedih untuk sahabatku, yang kutahu adalah type pria “familyman”. Memang ia tidak mengeluh atau kelihatan sedih, karena bahkan ia sudah berteman kembali denganku, tetapi apa yang sebenarnya ada di dasar hati-nya? Aku ikut sedih dan merasa tidak berdaya memberi apa-apa. Tumpukan banyak perasaan ini mengganggu, walaupun kadang kuabaikan. Saat sesi konseling, aku menemukan pantulan-pantulan dan kilas balik, masa laluku, dalam pengalaman-pengalaman masa kini, baik melalui hidup orang lain maupun dalam hidupku. Kesedihan karena perpisahan, kehilangan dan duka orang lain. Aku menemukan bahwa, untuk dapat melupakan, kita harus bisa mengingat, dan kemudian, menerima, barulah melepaskan, sehingga akhirnya kesedihan itu dapat berganti menjadi syukur. Pada intinya, setelah sesi management emosi dan fleksibilitas ini selesai, aku berharap bisa senormal teman-temanku. Aku ingin mempertahankan teman-temanku, juga pekerjaanku, tanpa membuang idealisme dan prinsip Alkitab dalam hidupku.

Rabu, 08 Mei 2013

Pemimpin yang melayani

Aku membaca-baca banyak berita tentang Jokowi Ahok, beberapa hari terakhir ini, Mulai dari kebijaksanaan seleksi jabatannya yang dikecam seorang lurah, meninggalnya seorang bayi yg notabene dalam pendapatku, bukanlah tanggung jawabnya dan dia disalahkan, kemacetan dan sampai MRT serta usaha untuk mengatasi banjir dengan mengeruk waduk Pluit, yang ditentang orang-orang yang menempati lahan itu. Aku berpikir, bahwa menjadi warga, pengusul, pemberi ide, penonton sungguh sangat mudah. Dalam pelaksanaan mereka yang dilapangan ini dan bergulat dengan jutaan masalah yang tak terlihat. Kupikir, mereka hanya 2 orang yang sungguh-sungguh berusaha dengan seluruh kemampuan menghadapi dan mencari solusi, jutaan orang. Apa yang bisa kita lakukan? Sejak 13 Februari 2013, saya memulai babak terbaru dalam pelayanan saya. Bertahun-tahun ini saya mengarahkan diri menerima bimbingan dan belajar untuk tunduk pada otoritas sya. Tanpa pernah saya sadari ketaatan dan kesediaan saya, membawa saya pada posisi ini. Ya, 13 Februari 2013, Sanggar Anak Cerdas Ceria dimulai, dan saya dipercaya sebagai person in contact, atau penanggung jawab pelaksana kegiatan tersebut. Saya belajar membuat keputusan-keputusan dan juga mengorganisasi kegiatan 3 X 2 jam setiap minggunya. Semula, saya hanya perlu mengatur hal-hal sederhana. Namun seiring dengan pertumbuhan jumlah anak didik di sanggar, bertumbuh juga jumlah crew di sanggar. Saya kadang merasa dipercayakan hal, yang saya TIDAK MAMPU lakukan. Namun untuk mundur, rasanya sudah terlalu terlambat. Saya menyadari bahwa saya sangat bermasalah dengan fleksibilitas. Saya mengundurkan diri dari pekerjaan saya dibeberapa tempat, karena alasan-alasan yang bagi beberapa orang adalah hal yang sebenarnya bisa dikompromikan. Sekali lagi, fleksibilitas yang rendah membuat saya hampir selalu gagal berkompromi. Saya lelah dengan kondisi berganti pekerjaan setiap tahun. Namun disisi lain saya kesulitan berkompromi. Saat ini sebagai pemimpin saya jadi semakin harus fleksibel. Kadang kala saya ingin menangis setiap mengakhiri hari. Rasanya mustahil melakukan semua ini tanpa pertolongan TUHAN. Saat ini crew di Sanggar sudah mencapai 30 an pada database. Sementara anak didik pada database sudah 200,… bayangkan. Awal, dimulai hanya dengan jumlah crew kurang dari sepertiganya dan jumlah anak didik 9 saja. Belum lagi orang tua anak yang mengantar. Anak didik sudah dibagi 2 grup, Bimbel dan Prasekolah. Seringkali saya merasa tidak berdaya saat hari H kegiatan crew SMS, “kak, hari ini absen ya. Ada kegiatan di kantor.” Atau “kak, maaf nih ada keperluan keluarga.” Aku bisa merasakan yang dirasakan atasan aku dulu bila temanku absen bekerja. (Namun bekerja tentunya berbeda dengan melayani sebagai sukarelawan. Semua crew adalah sukarewan termasuk saya. Beda pula dengan situasi di sekolah kalau teman absen, mereka dipotong salary, sedang kita yg menggantikan ngga dapat apa-apa.) Tetapi harus diakui, ini membuatku jadi deg-degan setiap hari sanggar. Tetapi crew yang absen dengan pemberitahuan di awal tentunya layak diapresiasi, karena memperlihatkan tanggungjawab. Bahkan yang memberitahu saat pelaksanaan pun saya masih bisa apresiasi. Crew yang benar2 membuat saya pusing adalah crew yang terjadwal, dan berkomitmen pada hari tertentu, tetapi absen dan tidak memberi kabar. Crew yang (menurut saya, ) berharap ada yang menelepon/SMS, “ Kak, hari ini bisa ya?” bahkan setelah disms pun seringkali ngga dijawab. Bayangkan ngondoknya jadi pemimpin, apalagi,saya yang fleksibilitas rendah. Sampai seorang teman menohok saya dengan kata-kata sederhana, “kak, ingat-ingat ya, kakak teH bukan kepala sekolah, kakak teH gembala… yah gembalakanlah orang-orang itu.” So, sebagai gembala, aku adalah pelayan bagi semua orang-orang itu. NANGIS DEH. 2001 Aku selesai kuliah kependidikan agama Kristen, aku tidak mau menjadi gembala,… dan sekarang,.. bumm … here I am. Saya belajar, mencoba menjadi fleksibel, berkompromi dan tidak lagi melihat segala sesuatu dalam konteks ideal. Menjadi seorang gembala, bukan bicara soal memimpin saja. Namun juga bagaimana mengayomi dan membuat sebanyak mungkin anak dan crew diperhatikan dan dikasihi, maybe at the end of this era, I can be more flexible? Who knows…?

Minggu, 09 Oktober 2011

Nonton Bareng "Green Lantern"

Sabtu kemarin sungguh menyenangkan.
Aku melakukan perjalanan ke Bandung untuk ketemu teman-teman KESAN. Aku juga bawa shake chocolate untuk temanku Yosi yang belakangan ikutan aku minum HERBALIFE. Rasa coklat lebih jadi favoritenya daripada vanila yang kusukai.
Aku tidak terlalu suka nonton sebenarnya. Anehnya, Shinta dan temen-temenku di Batam telah membuatku menikmati kegiatan menonton bareng ini. Walaupun, rasanya masih lebih nikmat baca buku di gramedia sendirian.
So, Nonton bareng.
Ada 9 orang yang nonton, termasuk aku. Yunus dan Yosi, Daniel dan Kang-kang, Marlene dan Mary (temennya, aku ngga terlalu kenal), Erna dan temennya, tentunya aku sendiri.
Filmnya: Green Lantern.
Film ini kalau dilihat dari sudut teologi, menurut aku agak berbau new age lho....Mengapa? Karena dalam film ini diceritakan bahwa kekuatan terbesar manusia adalah kehendak. Yang nyata-nyata diperlihatkan bahwa kehendak diri itu dapat menaklukkan ketakutan. Padahal, kalau lihat Alkitab, Manusia mengalahkan ketakutan karena Kasih Illahi dalam dirinya I Yohanes 4:12, kalo gak salah sih....
Tapi aku menikmati film ini. Ada pengakuan bahwa berbeda itu saling melengkapi. Pada saat si Hal, tokoh pahlawan dalam film ini dikatakan sebagai individu yang ngga bisa mengalahkan ketakutannya seperti pasukan Green Lantern lain, ternyata ketakutan sebenarnya juga berharga. Ketakutan menyadarkan manusia keterbatasan dirinya. Padahal Pasukan Green Lantern telah dilatih dan diseragamkan untuk tidak memiliki ketakutan, tetapi ternyata mereka tidak berdaya menghadapi Paralax yang menyerap ketakutan mahluk2 di planet2 yang dihancurkannya. Malah si Hal manusia biasa yang masih punya ketakutan, yang berbeda dengan prajurit Green Lantern lain justru bisa mengalahkan Paralax.
Hei, aku menyukai bagian saat teman-teman Hal meyakinkan Hal bahwa ia masih memiliki keberanian walaupun merasakan ketakutan.
Why? ini sesuai dengan situasi aku. Persahabatan, teman-temanlah yang membuat aku merasakan keberanian menghadapi ketidakpastian. Aku punya TUHAN, jadi aku percaya bahwa TUHAN yang memberikku teman-teman sebaik mereka semua.
So, ngga sia-sia kan menghabiskan 5 jam perjalanan ke Bandung hanya untuk 4 jam hang out bersama teman-teman kesan??? THANKS GOD for give me a good friend like them.....

Jumat, 24 Desember 2010

KESEIMBANGAN

Sebenarnya, sudah beberapa lama saya terganggu dengan teman sekerja saya. Ia seorang tamatan S2 dari bisnis administrasi universitas Griffith Australia. Ia mengajar bahasa Indonesia di sekolah saya, untuk kelas 5-6 SD dan SMP-SMA. Sejak pertengahan Agustus lalu ia pindah ke tempat kost saya, karena kost lamanya terhitung mahal. Ia punya mobil sendiri dan setelah ia pindah ke kost saya, biasanya saya menumpang di mobilnya. Sebenarnya sih, saya lebih suka jalan kaki sampai jalan raya dan menggunakan angkutan umum yang juga lewat di depan sekolah saya. Jalan kaki kan olahraga. Hanya saja, saya tidak enak juga satu kost, satu tempat kerja kok pergi sendiri-sendiri, sehingga saya menumpang mobilnya. Selama ini perasaan terganggu yang saya rasakan, selalu saya abaikan.
Apa yang mengganggu?
1. Cerita teman saya. Setiap kali saya berada di mobilnya, ia sering menceritakan tentang konflik-konfliknya. Mulai dari mantan teman sekerjanya, sampai dengan teman pria yang sedang mendekatinya. Penceritaannya bersifat negatif. Ia menyatakan mantan teman kerja yang menfitnahnya, menjelek-jelekkan dia hingga teman pria yang mencoba menipunya. Tak jarang juga peristiwa di sekolah dengan tetangga kubikel yang tidak disukaipun diceritakannya. Saya kecapekan sebelum tiba di sekolah dan setelah pulang kerumah.
2. Ledakan emosinya dengan penghuni kost lain dan tetangga. Saya menyadari bahwa setelah pulang sekolah kami sangat lelah. Saya maklum jika ia ingin bisa segera memarkir mobil dan beristirahat. Namun karena tempat kost kami di kampung, kadang ada saja warga yang titip parkir dan menggunakan tempat parkirnya yang biasa. Saya malu, waktu ia bertengkar dengan salah satu supir anak kost yang mau pindahan. Ia sama sekali tidak mau mengalah. Saya hanya bisa segera bersembunyi di kamar saya sendiri agar tidak mendengar pertengkaran tersebut. Toh, tetangga akhirnya bercerita pada saya. Agak sulit juga menanggapi dengan tenang. Saya hanya bisa bilang, ” yah, mungkin teman saya kelelahan, jadi agak emosional.”
3. 2 minggu lalu, ia bertengkar dengan saya, karena masalah serupa. Ia bertengkar dengan tetangga dan mengatai tetangga, ”saya doakan jualanmu bangkrut” dan si tetangga membalas, ” perempuan kok seperti itu, pantas tidak ada lelaki yang mau. Makanya jadi perawan tua”. Ia menuduh saya memberitahu tetangga bahwa dia tidak punya teman pria sehingga tetangga itu dapat mengatainya demikian. Ia juga marah karena setelah pertengkaran teman saya dan si tetangga, sekalipun ikut mobilnya, saya masih membeli bekal makanan dari si tetangga yang berjualan makanan. Saya sangat terpukul dengan tuduhannya, sehingga bingung bagaimana bereaksi. Awalnya saya menanggapi dengan senyum dan mencoba menjelaskan. Sampai tiba di sekolah (waktu itu pagi hari), ia tidak mau menerima penjelasan saya dan berkeras menuduh saya demikian. Seketika saya tertekan sekali dan merasa seperti digodam, sayapun menangis. Dalam keadaan tersebut, saya menyadari bahwa tubuh saya seperti melayang. Saya juga ingat, saya harus mengajar pada jam pertama. Saya tidak bisa konsentrasi. Saya minta izin pulang dan kembali ke kost dengan limbung. Beberapa kali saya nyaris jatuh. Saya menangis sepanjang jalan. Anehnya, keesokan harinya teman saya itu masih mengajak saya berangkat bersama seolah tidak ada apa-apa. Sampai lewat 3 hari ia tidak menyinggung masalah tersebut sama sekali. Ia bahkan mengambil uang makan saya dengan santainya sambil tersenyum-senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Ia mengembalikan sebagian keesokan harinya juga dengan sikap sama. Saya yang stress. Bagaimana mungkin? Setelah bersikeras menuduh, bersikap wajar tanpa ada percakapan yang bersifat klarifikasi? Saya tidak ingin konfrontasi langsung, mengingat emosi saya belum stabil. Saya memilih menarik diri darinya. Perlahan-lahan saya kembali berangkat sendiri, dengan berbagai alasan. Mau mencetak lembar kerjalah, mau ke ATMlah, asal bisa berangkat sendiri. Pulangpun demikian. Mau ke banklah, mau ke mall. Asal bisa menghindar.
Kemudian, terjadilah insiden berikutnya. Wakil kepala sekolah meminta teman saya itu memeriksa lembar soal ujian yang saya buat. Ia mengajak saya berbicara mengenai lembar tersebut. Ia mengakui, ia tidak menguasai isi pelajaran saya. Ia hanya membantu membuat kalimat yang lebih ”mendarat” agar dimengerti siswa saya. Sebenarnya saya heran juga mengapa dia? Lembar ujian itu sebenarnya untuk kelas 2-4 SD, sedang dia mengajar kelas 5-6. Ia mengatakan bahwa ia memeriksa lembar ujian itu bersama guru Bahasa Indonesia kelas 1-4. Saya menanggapi dengan segan (karena saya masih belum siap secara emosi) lalu saya tutup dengan pernyataan, saya masih harus mengerjakan hal lain, karena guru Bahasa Indonesia kelas 1-4 sedang tidak ada dan saya memang masih sibuk merapikan pekerjaan saya lainnya. Saya menemui guru BI kelas 1-4 tersebut secara terpisah, yang mengakui memang ia memeriksa beberapa bagian tertentu dan memperbaiki kalimatnya. Setelah mendiskusikan bagian-bagian yang diperiksa guru tersebut saya membuat revisi. Kemudian saya mulai membaca lebih serius revisi yang dibuat teman saya itu. Saya menyadari bahwa banyak hal yang salah dengan revisinya dan sedikit berlebihan. Saya tidak ingin menjatuhkan teman saya itu. Saya mengusulkan agar lembar ujian saya diperiksa oleh seorang asisten guru yang benar-benar menguasai Bahasa Indonesia karena memang lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia(walaupun hanya asisten di TK), dan saya menjelaskan bahwa saya sedang ada konflik pribadi dengan teman saya itu, tanpa memberitahukan bahwa, revisi teman saya itu banyak yang salah. Lebih netral jika orang lain memeriksa apa yang perlu direvisi. Usulan saya kemudian dibicarakan dalam forum. Saya, guru bahasa Indonesia kelas 1-4, dan teman saya itu dipanggil. Wakil kepala sekolah SMP-SMA dan wakil kepala sekolah SD bersama sama berdiskusi. Keputusannya, saya harus mengabaikan konflik pribadi saya dengan teman saya itu dan tetap mengerjakan revisi tersebut bersama-sama. Akhirnya, saya menyerah. Revisi dari teman saya itu saya abaikan dan saya mengumpulkan lembar ujian saya dengan revisi dari guru BI kelas 1-4 saja.
Rupanya permintaan saya itu menyinggung perasaan teman saya itu dan ia menuduh saya menjelek-jelekkan dia. Saat itu saya sudah siap secara emosi untuk berbicara dengannya. Ia mengeluarkan uneg-unegnya selama 1 jam menuduh saya di hadapan penjaga kost yang dibangunkannya jam 10 malam itu saat saya mengajaknya bicara dengan baik-baik. Ia MENOLAK MENDENGARKAN saya sama sekali. Ia hanya menuduh dan menuduh dan semua tuduhannya tersebut merupakan prasangka saja. Akhir dari cerita ini adalah saya menemukan bahwa teman saya ini mengarang semua tuduhan tersebut.
Selama hampir 3 minggu itu saya mengalami stress karena teman saya itu. Rupanya stress saya ini berkaitan dengan masa lalu saya. Orang tua saya juga memiliki pola pemikiran negatif, seperti teman saya itu. Bertahun-tahun hidup dengan orang tua negatif yang menolak mendengarkan dengan terbuka, membuat saya CUEK DENGAN KATA ORANG. Kebalikan dari teman saya, orang tua saya hanya berbicara untuk memarahi saya dan jika dalam keadaan kesal bisa mendiamkan saya berhari-hari. Sikap orang tua saya itu membuat saya jadi cuek. Namun sekarang, saya jadi merasa bersalah untuk tuduhan yang tidak benar. Padahal, saya tidak bersalah dan tidak perlu menjelaskan apapun pada teman saya itu.
Dahulu, saya sangat ekstrim ”selama saya benar, cuek saja orang bilang apa”.
Sekarang, saya berada di ekstrim ”apa kata orang? Saya harus menjelaskan maksud saya. Mengapa ia tidak mau mendengarkan saya?”
Konselor di sekolah yang menolong saya menyadari bahwa masalah saya sangat sederhana. Saya harus mengabaikan tuduhan teman saya tersebut, dan tidak perlu menjelaskan apapun. Mencoba menjelaskan hanya memperumit masalah. Sebab memang dia tidak mau menyelesaikan masalah. Memang saya tidak menceritakan dia pada tetangga kok. Memang saya tidak bermaksud menjatuhkan dia kok. Biarkan saja dia menuduh. Terserah saja. Karena bukan saya yang rugi, kehilangan teman.
Kesadaran tentang hal ini membuat saya dapat mengabaikan teman saya tersebut. Syukurlah, akhirnya, saya menyadarinya. Namun membuat diri saya seimbang, bersikap cuek jika perlu, dan bersikap peduli pada saat lain, tidak mudah. Saya harus belajar dan banyak berlatih. Kesadaran adanya trauma masa kanak-kanak dan remaja, ketika pendapat dan perasaan saya diabaikan orang tua saya adalah kunci dari kemampuan saya bersikap seimbang saat ini. Saya belajar mencurahkan perasaan dan pendapat saya dalam diary, blog, dan juga dalam doa pribadi. Saya bersyukur memiliki sahabat yang juga sabar mendengarkan saya. Sekarang sih, saya lumayan seimbang.

Rabu, 27 Oktober 2010

INDAHNYA BELAJAR KONSELING

Saat ini, aku sudah 3 semester belajar konseling. Ya, sekarang aku di Semester 3 S2 konseling, setelah 1 tahun kuliah Batam-Jakarta, dan saat ini Bandung-Jakarta. Banyak teman-teman yang bertanya, kok repot sih kuliah lagi. Namun, aku merasa banyak sekali hal baru yang kudapatkan. Aku senang belajar konseling dan menurutku ilmunya layak diperjuangkan (sejauh Batam-Jakarta, Bandung-Jakarta).
Beberapa hal yang sangat kunikmati adalah
1. Belajar konseling membuat aku semakin menyadari siapa diriku baik secara spiritual, maupun secara mental. Aku belajar mengekspresikan perasaan-perasaanku dan pikiran-pikiranku dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya. Sebelum belajar konseling, aku benar-benar merasa sulit untuk mengkomunikasikan perasaanku, juga pikiranku. Aku didera rasa takut, jika pikiranku berbeda dengan orang lain.Sekarang, aku merasa lebih asertif dalam menyampaikan perasaan-perasaanku.
2. Belajar konseling menolongku menolong orang lain. Aku lebih dapat bersikap sabar pada murid- muridku di sekolah. Aku jadi lebih mampu mendengarkan orang lain. Aku menemukan bahwa orang-orang di sekitarku mempunyai masalah dan membutuhkan pertolongan. Sekalipun aku tidak dapat menolong mereka secara langsung, aku menemukan bahwa aku dapat memberi mereka semangat dalam menjalani masalah mereka.
3. Aku belajar menyembuhkan diriku sendiri saat berada dalam kesulitan. Aku jadi semakin bergantung pada TUHAN, karena menyadari TUHAN dan hanya TUHAN saja yang memampukan aku menghadapi semua kesulitan
4. Aku belajar bersyukur untuk semua berkat-berkat kecil yang kuterima, sehingga kemampuanku menjalani masalah semakin bertambah. Aku lebih berani menatap hari esok, sekalipun tidak pasti, karena ALLAH yang menyertaiku di masa lalu dan hari ini tetap menyertai aku juga di masa yang akan datang.
5. Aku mendapatkan banyak sahabat baru, yang menerima aku apa adanya, yang mengajar aku memberkati sesama walaupun hanya dengan senyum dan penerimaan.
6. Semula, aku belajar konseling untuk memperlengkapi pelayananku, dan tugasku mengajar, namun sekarang aku menemukan bahwa aku lebih bahagia, lebih tenang, lebih mengenal diriku sendiri dan mampu bersabar terhadap orang lain. Belum, aku belum mencapai kesabaran dan keterampilan seorang konselor yang baik, tetapi, setelah 3 semester, aku merasa sangat gembira, aku dapat belajar konseling. Terimakasih para dosen dan teman-teman sekelas dalam semua mata kuliah. Hanya Tuhan yang dapat membalas jerih lelah kalian.

Senin, 13 September 2010

Kilas Balik dosen-dosen favorit

Pagi ini, aku benar-benar bosan. Sebenarnya aku berencana melewatkan libur lebaranku di Batam, di rumah Shinta. Tadinya, awal liburan mau ke Universal Studio Singapura, nanti selanjutnya yahhhh lihat keadaanlah... Sayangnya, menjelang libur, Rabu, 1 September, aku terpaksa menginap di RS lagi.... (bosan ya?) Sudah 2 mingguan memang sepertinya tubuhku menjeritkan irama kesakitan yang terus menerus kuabaikan. Jadi yah.... dana sudah tersedot buat RS... energi belum pulih... dan seorang teman dari Jayapura berencana akan berkunjung. Akhirnya, liburan di Bandung sajalah...
Aku sudah menyelesaikan koreksian dan soal test 2 hari yang lalu. Kemarin, temanku dari Jayapura SMS menyatakan sedang sakit. Aku menyadari, dia ngga jadi datang. Ya sudah...
Pagi ini, dalam kebosanan aku browsing segala macam di internet. browsing tentang PRT (xixixixixi), browsing biaya hidup di bandung (so far, 1 bulan di bandung, biaya hidupku baru kost, makan dan ozek...lk 1 jutaanlah...., selebihnya biaya kuliah di Jakarta, lk 1 juta). Aku jadi pengen nulis...
nulis tentang perjalananku selama ini...
waktu selesai SMA, aku kuliah teologi... (yang ngga tahu teologi angkat tangan!....) dari Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya, drop out, masuk Intheos (Institut Theologia Solo) di sini alih jurusan ke Pendidikan Agama Kristen, pindah ke UKRIM (Universitas Kristen Imanuel, Jogja), dan selesailah sudah... S1 Pendidikan Agama Kristen.
dari 1994-2001... kebanyakan pindah, lalu cuti sakit, lalu cuti ngambek.... hehehehe... cuma gara-gara sampo di asrama di colong temen....
dosen favorit: waktu di STAS, itu Pak Mellianus Liunesi, why? seneng aja gayanya yang blak-blakkan... trus sama pak mel pernah ikutan ke LP, melayani seorang wanita yang kasus narkoba... namanya Yuni... i have deeper feeling about that journey... Yuni, 1995 kayaknya.... uh... aku sempet home visit ke rumah si Yuni itu setelah dia dibebaskan... sempet juga ke penjara surabaya... apa ya namanya... lupa...ini semua karena pak mel... yah kalo ngga ada pak mel aku kan ngga kenal si Yuni itu...
Aku tiba di Intheos, 1997... dosen favorit? Pak Daniel Sutoyo... abisnya cool banget. Ngajarnya juga jelas. Yang pasti sih orangnya baik. Ada satu dosen yang aku sebelllll abis... soalnya kalo nyapa orang nyesekin.. "masih hidup, kaw???" gimana ngga nyesek? Belakangan sih aku sadar, dia cuma mengakrabkan diri aja dibalik salamnya yang nyesekin itu.... hahahaha... habis, aku ketemu anaknya yang cool abis di Batam ... Mozedayen Eirene... hahahahahahahaha.
Aku keluar dari Intheos gara-gara falling in love. Betul, jatuh cinta tapi ngga sepadan, karena beda jauh. Waktu itu bener-bener pahit rasanya, meninggalkan Solo dengan deraian air mata ngga rela putus, tapi sadar harus putus, kalau tidak mau menukarnya dengan cinta pertamaku, TUHAN YESUS KRISTUS. Yup, aku memilih cinta pertamaku.
Yogya, 1999, dosen favorit, Pujiati Gultom.... Mengapa? wow. Selain Bu Puji cantik, dia juga luar biasa menurutku. Ketepatan waktunya mengagumkan, pengertiannya sama mahasiswa membuatku terpesona (cieh,... bahasaku...) Nyeseknya, sama bu Puji nih ya, bener-bener tegas dia.... bayangin aja, tafsir Perjanjian Lama 3-ku yang udah ada di KHS B+ waktu ngobrol sama dia ternyata itu salah input... diganti juga jadi B- hih.... sedihnya... tapi ikut kuliahnya ngga nyesel deh. Oke banget pokoknya. Biarin deh nilai B-, asal yang ngajar bu Puji. Aku boleh bilang dari 3 dosen favoritku, Bu Puji itu nilainya A+++ deh.
Tamat dari S1 Pendidikan Agama Kristen, belum wisuda sih waktu itu, hasil ujian negara aja belum tahu, aku diterima mengajar di Sekolah Kristen Ketapang 1. Seneng banget. Hasil psikotest + koneksi. Ada temen dari STAS yang jadi pendeta di GKK kebetulan yang menaungi SKK, jadi, akupun bisa masuk. (apa iya ya?)
Sayangnya, kontrak kerjaku tidak diperpanjang.

Selasa, 07 September 2010

Ciri Penolakan Diri

Berkat yang kuterima dalam sebuah seminar adalah semakin memahami diriku sendiri dan proses Allah bekerja dalam kehidupanku. Aku jadi menyadari area-area di mana aku harus dipulihkan dan mengenali tanda-tanda sikap yang keliru. Salah satunya adalah penolakan diri.
Sikap menolak diri dikembangkan karena mengukur diri menurut standar lahiriahorang-orang disekitar kita untuk mendapatkan pengakuan mereka. Hal ini mengakibatkan sulitnya seseorang mempercayakan masa depan kepada ALLAH. Ada waktu-waktu, saya mengalami penolakan diri karena masalah di sekitar saya.
Ciri penolakan diri yaitu:
1. Cara berpakaian yang berlebihan. Seseorang menggunakan pakaian atau make up yang mencolok untuk menutupi kekurangan yang tak dapat diubah.
2. Ketidakmampuan untuk mempercayai ALLAH. Saat kita melihat diri kita, kita bertanya, jika kreativitas ALLAH hanya seperti ini, bagaimana saya dapat mempercayainya???
3. Rasa malu yang berlebihan. Takut tentang apa yang dipikirkan orang lain tentang diri kita, membuat kita selalu merasa malu.
4. Sulit mengasihi orang lain. Bagaimana kita dapat mengasihi orang lain, jika kita tidak mengasihi diri kita sendiri?
5. Suka mengecam diri sendiri. Keluhan terhadap cirri fisik, kemampuan, keturunan dan warisan sosial yang tidak dapat diubah adalah penanda signifikan terhadap penolakan diri.
6. Membandingkan diri dengan orang lain. Menginginkan perubahan pada area-area yang tidak mungkin dapat diubah merupakan bukti penolakan diri lainnya.
7. Kepahitan yang mengambang. Ada kalanya seseorang berkata, aku benci diriku sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa oranng itu tidak puas terhadap ALLAH yang menciptakan dirinya.
8. Perfeksionisme. Hingga taraf tertentu hal ini wajar. Namun bila waktu perbaikan/ penyempurnaannya melebihi nilai yang dihasilkan hal ini barulah tidak sehat.
9. Kecongkakan. Dengan membangga-banggakan diri sebenarnya seseorang tengah menunjukkan keminderannya.
10. Upaya ganjil untuk menyembunyikan kekurangan yang tak dapat diubah
11. Keborosan. Berbelanja barang barang mahal dengan harapan mendatangkan kekaguman merupakan bukti lain dalam penolakan diri.
12. Prioritas yang salahBila kita mengabaikan tanggung jawab yang ALLAH berikan dan berfokus pada hal-hal yang dapat mendatangkan pujian dari orang disekitar kita, itu menunjukkan kita sedang menolak diri.
Mengapa banyak orang menunjukkan penolakan diri? Apakah memang ALLAH berlaku curang dengan memberikan kepada kita area-area yang tidak dapat kita ubah dalam hidup kita?
Sesungguhnya tidaklah demikian. Sebenarnya ALLAH ingin agar kita mengembangkan karakter kita menjadi serupa dengan DIA. Kesempurnaan fisik, bisa jadi menghambat kita mengembangkan karakter batiniah yang berkenan pada ALLAH.
Jadi???
MARI KITA PERIKSA DIRI KITA, ADAKAH CIRI PENOLAKAN DIRI INI DALAM DIRI KITA? MARI KITA BELAJAR BERSYUKUR ATAS KEUNIKAN DIRI KITA DAN BERSAMA ALLAH MEMBANGUN KARAKTER KRISTUS.
(diringkas dari Textbook Seminar IBLIP)

Kado Ulang Tahun

Beberapa hari yang lalu, seorang teman, bertanya padaku, " Apa kado ulang tahun yang kamu inginkan?" Aku tertegun. Kadang kala, aku tidak menyukai hari ulangtahun. Mengapa?
1. Usiaku bertambah,... dan hingga hari ini aku masih belum mempunyai pasangan hidup. Ada orang-orang yang menjengkelkan aku dengan menyinggung masalah ini, justru pada hari ulang tahunku... "cepet dapet jodoh ya," begitu ucapan mereka.Menyebalkan. Aku merasa, menjadi single bukanlah masalah, bahkan pada usiaku saat ini. Ucapan-ucapan itu malah membuatku merasa bersalah karna saat usiaku bertambah kok masih sendiri.
2. Pekerjaanku selalu berganti bada bulan Juni-Juli saat menjelang ulang tahun, yang berarti aku harus beradaptasi lagi, padahal, adaptasi adalah masalah besar buatku. Aku cenderung dan hampir selalu merasa kurang nyaman dengan orang-orang baru dan lingkungan baru. Seandainya aku bisa berada dengan rutinitas yang sama.
Namun demikian, hari ulang tahun selalu membuat aku lebih mengenal orang-orang yang benar-benar mengasihiku, sehingga mengingatku di hari ulangtahunku.
Aku tidak terlalu suka kado. Namun tidak menolak kado, tentunya. Aku menerima hadiah perpisahan dari teman-temanku di Batam, yang bagiku menunjukkan bahwa mereka "care". Murid-muridku juga tak jarang memberi hadiah-hadiah setelah tahun ajaran, atau waktu natal. Aku merasa dihargai dan dikasihi, saat menerimanya. Sampai hari ini aku masih menyimpan bahkan kartu2 dari murid2ku 8 tahun yang lalu.
Kado ulang tahun memang berbeda. Kapan ya aku terakhir menerima kado ulangtahun? aku tidak dapat mengingatnya. 2007? kalau tidak salah teman yang bertanya itu juga yang memberikannya. Aku berpikir,... apakah kado ulang tahun memang berarti? Yah... memang itu berarti. Tetapi, aku belakangan ini tidak suka menyimpan barang-barang. Padahal aku sukar menyingkirkan benda2 hadiah. Karena hadiah-hadiah itu memerlukan usaha untuk mencari, membeli, membungkus dan memberikannya. Aku menginginkan sesuatu pengingat praktis yang kecil, sehingga mudah dibawa2, tidak mudah rusak, sehingga dapat terus mengingatkanku pada si pemberi.
sebenarnya, kado ulang tahun yang berarti bagiku, adalah saat kamu mengingat aku, dan merindukan aku, kehadiranku. Benda kurang penting, karena dapat rusak, ataupun tertinggal.
Aku ingin berterimakasih padamu, justru karena kamu menjadi seorang teman saat aku sendirian, sakit dan kesepian. Aku ingin bilang, aku menyayangimu, karena kamu hadir dalam hidupku. Jangan pikirkan kado jika kamu memang tidak ada ide. Aku pikir, kamu adalah kado buatku, karena kamu bersamaku di hari ulang tahunku. Trimakasih sahabatku...

Sabtu, 28 Agustus 2010

Adaptasi Pergantian Tempat Kerja

Saat meninggalkan Batam, 11 Juni 2010 silam, saya sudah menerima pekerjaan baru di sebuah sekolah berkurikulum nasional, di Jakarta. Pada saat itu, saya berharap bisa bertahan lama di sekolah tersebut. Saya juga berharap bisa mengaplikasikan pendidikan konseling yang saya jalani di STT Jaffray dengan tugas di sekolah. Saya memang memilih sekolah tersebut karena jabatan yang ditawarkan. Jabatannya yaitu, Koordinator Konseling & Character Building TK-SMU. Sekalipun gaji yanng ditawarkan sangat kurang, saya tidak terlalu peduli karena saya berharap dapat praktek sebagai konselor, sebagai benefitnya. Apalagi, sekolah tersebut dilatarbelakangi oleh Panti Asuhan, tentunya tingkat kebutuhan konselornya tinggi. Sebagai tugas tetap saya selain di Konseling, saya akan menjadi guru Matematika dan wali kelas di SD.
Saya menggunakan waktu libur saya untuk mempelajari tugas saya sebagai konselor sekolah nantinya. Saya hanya mengambil 3 hari libur, karna banyak sekali materi yang perlu saya siapkan dari TK-SMU itu. Saya bahkan tidak dapat mengikuti bakti sosial di gereja saya karena saya mementingkan tugas baru saya ini. Saya tidak dapat mengikuti camp anak di gereja di mana saya aktif sebagai pembina anak, karena saya memilih fokus di sekolah.
Sekalipun demikian, saya telah menerangkan dan menegaskan pada sekolah, bahwa pada hari-hari Sabtu tertentu, saat saya ada kuliah di STT Jaffray, saya tidak dapat bekerja penuh. Hal tersebut disepakati, selama saya masih melaksanakan tugas saya sebagai wali kelas. Dengan demikian hati saya tenang walaupun tidak libur di hari Sabtu.
Saya tidak pernah mengira bahwa akan ada masalah berkaitan dengan hal ini. Pada saat kuliah Spiritual Formation, Juli lalu, bertepatan dengan acara pelatihan dari tim yang menjadi konsultan sekolah sehingga anak SD diliburkan, dan saya karena ada jadwal mengajar SMA sekalipun SD libur, tetap masuk, walaupun tidak mengikuti training, tetapi segera berangkat kuliah sehabis mengajar. Hari Senin, dalam pertemuan dengan seluruh guru SD, ketua yayasan memarahi semua guru yang tidak mengikuti training. Saat saya menjelaskan mengenai ketidakhadiran saya, di depan seluruh guru ketua yayasan itu berkata, ” Bu Maria mau jadi guru atau mau kuliah? Kalau mau kuliah, nggak usah kerja di sini!”
Saya sungguh merasa dipermalukan. Saya tertekan dan merasa sangat dibohongi. Saya sudah izin pada atasan dan diizinkan, kenapa jadi diperpanjang dan diultimatum demikian? Bahkan lebih mengecewakan lagi, ketua yayasan tersebut berkata” kalau Bu Maria tidak mau bekerja profesional, sekarang juga mundur juga boleh. Saya bisa mencari guru lain.” Saya shock.
Masalah belum berakhir, karena keesokan harinya semua guru SD kembali dipanggil dan dinyatakan atasan saya di nonaktifkan sebagai kepala sekolah dengan alasan tidak berwibawa pada anak buah sehingga dalam pelatihan banyak guru yang tidak hadir.
Dalam minggu itu pula saya diberitahu bahwa selama ini Konseling di sekolah itu hanya membuat masalah. Kalau saya masih mau bekerja di sekolah itu, konsentrasi saja mengajar SD. Tidak perlu konseling-konselingan. Sekali lagi saya shock. Sebagai penegas pernyataan itu, Koordinator Akademik di sekolah membebas tugaskan saya dari tatap muka orientasi konseling di SMP dan SMA.
Kekacauan ini membuat saya kehilangan arah. Saya mengajar tidak bisa konsentrasi, mengerjakan tugas kuliahpun tidak mampu. Ini melumpuhkan. Beberapa teman sekerja menilai kinerja saya menurun drastis. Saya menyadari hal tersebut. Saya mempertimbangkan berbagai hal. Salah satunya adalah, jika saya hanya diminta mengajar SD, saya tidak memperoleh apa-apa dari sekolah tersebut. Pukulan terakhir datang dari bendahara. Saya mendapat pemberitahuan bahwa selama 3 bulan pertama, gaji saya hanya 80%. Hal ini tidak pernah didiskusikan sebelumnya. Saya merasa sangat terpukul. Dengan segala kebutuhan hidup di Jakarta, dan kuliah, jelas tidak cukup. Dengan penawaran awal saja, saya sudah sangat harus mencukupkan diri.
Saya merasa enggan meninggalkan sekolah tersebut sebenarnya karena murid-murid yang sudah terlanjur saya kenal. Saya sulit menerima kenyataan bahwa harapan saya untuk melayani di sekolah itu hancur berantakan, dan menjadi tidak jelas. Lebih tertekan lagi dengan faktor tekanan yayasan yang seolah olah menyatakan saya tidak professional.
Saya beruntung belajar konseling dan membaca buku buku pak Julianto. Lewat buku-buku konseling beliau, saya belajar banyak tentang pentingnya berbagi masalah. Saya membagikan masalah ini kepada teman dekat saya , sehingga rasanya beban lebih ringan. Sehingga, ketika saya mendapatkan kesempatan baru, saya memiliki keberanian untuk mundur dari sekolah tersebut setelah menyelesaikan semua tanggung jawab tugas-tugas administrasi, dan meninggalkan Jakarta kembali, untuk bekerja di Bandung. Di Bandung, saya tidak mendapatkan benefit di bidang konselor, tetapi, melatih bahasa Inggris saya, karna pekerjaan baru tersebut adalah mengajar di Internasional School. Gaji yang diberikan juga lebih baik, yang terpenting, saya libur di hari sabtu dan bisa kuliah dengan tenang.
Saya bersyukur, masalah yang saya hadapi, tidak membuat saya patah semangat belajar, tetapi tetap melihat sisi positif di dalamnya. Memang, awalnya saya sempat kehilangan sukacita karena rasa cemas, dan putus asa.
Benar, saya cemas, karena record kerja saya buruk sekali. Benar-benarkah saya tak mampu beradaptasi, sehingga saya selalu meninggalkan tempat kerja saya dan atau diberhentikan? Saya benar-benar terganggu dengan situasi ini. Saya juga merasa malu meninggalkan pekerjaan saya sedemikian cepat, saya merasa bersalah pada murid-murid saya dari TK-SMU, namun, ini bukan keputusan saya semata, namun merupakan efek beruntun dari sikap arogan dan mementingkan diri dari orang lain. Saya masih sedih bila mengingat murid-murid saya, namun saya berusaha memaafkan diri saya sendiri karena meninggalkan mereka. Saya sedih harus meninggalkan pekerjaan yang baru saja saya jalani, yang saya berharap banyak saat itu. Saya merasa kecewa karena saya menyia-nyiakan waktu saya sehingga dalam 1 bulan apa yang saya lakukan jadi sia-sia. Saya merasa marah, karena dipermainkan dan direndahkan. Saat ini, saya masih berjuang membebaskan diri dari perasaan-perasaan ini.

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...