Rabu, 11 Februari 2015

Banjir Jakarta,... Ngungsi sambil Nangis?

Seru gak kebanjiran? Kata teman saya, bagus buat bahan tulisan. Aduhai, mending jalan-jalan ngkaleeee. Bayangkan saja bagaimana kaki kram saat meninggalkan sekolah memasuki mobil membawa 2 anak murid. Mau menangis sudah jelas tak mungkin. Namun, bayangkan betapa bersyukurnya saya karena saat memutuskan jalan kaki menembus banjir di depan terminal bersama seorang siswa yang masih tertinggal untuk saya bawa di kost saya. Didepan, kadang dibelakang saya seorang ibu wali murid menggendong anaknya yang masih kelas 1. Saya sendiri tidak mungkin menggendong murid saya. Tubuhnya hampir sama besar dengan saya, dan fisik saya sendiri tidak mampu. Anak saya perempuan, dan kelas 5.
Berjalan menembus banjir tanpa kram benar-benar harus saya syukuri karena saya juga sibuk nyerocos memberi semangat anak perempuan murid saya itu. "Ayo, kita bisa. Pasti bisa, nanti sampai bisa mandi dan ganti pakaian kering". Menyemangati murid saya ini, seperti menyemangati diri sendiri.
Sebelum turun dan berjalan kaki sebenarnya saya sempat menelepon mbak kost memastikan keadaan di kost. Namun mbak kost tak bisa dihubungi. Pemilik kost menyebutkan kemungkinan listrik mati, namun kost aman untuk bisa dimasukin. Ternyata, setelah menempuh sekitar 100 m kebanjiran, tepat di depan kantor pos, saya melihat jalanan sudah tertutup air dan beberapa perahu karet nampak ditumpangi beberapa orang. Selain itu saya melihat beberapa orang yang berjalan kaki dengan kedalaman seperti di depan terminal. Saya sudah siap menangis, kalau tidak malu pada murid dan orang tua murid yang berjalan bersama saya.
Bersyukur lagi, orang tua murid tersebut menegenal salah satu warga pembawa gerobak, dan membuat saya bisa diantar ke kost dengan gerobak hanya dengan biaya 25 rb.
Tengah malam lampu mati. Untungnya HP saya dengan senter sehingga saya membiarkannya menyala semalaman. Murid saya sempat berbaik hati memijiti kaki saya yang kesakitan karena menembus banjir pagi harinya. Ia benar-benar bosan karena tidak punya teman dan kegiatan. Saya cemas, makan apa? Untung gas di kost masih ada. Saya membuatkan indomie, agar perutnya terisi. Semalam ia juga sudah makan indomie. Saya meminjamkan pakaian saya terkecil agar ia bisa mendapatkan pakaian kering. Lega juga melihatnya tertidur dan tidak terganggu oleh listrik yang padam.
Jam 10 pagi, murid saya dijemput ayahnya dengan gerobak, lagi. Saya memperkirakan biayanya sama besar dengan tarif hotel yang saya gunakan ini. Seorang teman menyebutkan sekitar 300 rb rp sejalan. Jadi PP bisa Rp 500 rb. Bukan main. Kasih orang tua, demi anaknya supaya bisa berkumpul kembali.
Saat ini, saya berada di hotel Ibis Budget Daan Mogot karena semalam mendapatkan pesan dari kepala sekolah hari ini sekolah sudah dibuka. Belum tahu situasi di grogol karena menginap di area Mangga Besar setelah keluar dari kost jam 1 siang kemaren, dan walaupun hujan cukup deras, kesadaran bahwa saya adalah ibu dari anak-anak saya di kelas 5 Phytagoras mendorong saya tetap keluar dari hotel setelah merapikan semua bawaan.
Saya sudah cek out dari hotel dan menggunakan taxi menuju sekolah. Jelas bahwa jika ada yang sekolah, saya harus ada disekolah, itu tekad saya. Seorang guru SD juga menjelaskan sudah on the way to school sekalipun hujan deras, dari Tangerang.
Menurut sopir taxi jalanan ke Grogol belum bisa dilewati, namun ia akan berusaha sebisanya. Saya berjanji kalau dia mau turunkan saya nanti, saya siap. Daripada merugikan sopir taxi kalau mobilnya rusak kena banjir. Ternyata saya melihat, daerah kost saya masih tergenang air cukup dalam dan lokasi di depan kampus Trisakti masih sukar dilalui. Pak Sopir melaju pelan dan berhasil melewati genangan tanpa keslitan. Sudah melewati Rumah Sakit Royal Taruma, saat pesan dari kepala sekolah saya masuk, dan memberitahukan sekolah ditutup.
Haduh. Mau memutar kembali ke hotel, terlalu jauh. Kembali ke kost masih tergenang air, dan kemungkinan besar akan kesulitan menembus banjir jika besok harus ke sekolah. Akhirnya, saya lanjutkan perjalanan. Melewati KFC gang Macan, ternyata kering, walau hujan masih turun dengan deras, saya minta sopir taxi menurunkan saya di hotel Ibis, early check in dan keballi istirahat. Wish the flood quickly stop and all is well. Dompet sudah robek, walau tetap menjaga sukacita dalam hati. Tuhan pasti menolong.

Senin, 09 Februari 2015

Saya dan Kompasiana

Pertama kali menulis, saya menggunakan notes FB. Di FB pertama saya, Maria Margaretha, masih ada beberapa tulisan lama. Kemudian mulai ngeblog, sejak adik saya, Nadya Pramita ngeblog. Ikut-ikutan pengen tahu. Saya tersangkut di Kompasiana secara tidak sengaja. Tahun 2011, dosen saya, Julianto Simanjuntak sedang rajin-rajinnya promosi mengenai kesehatan mental melalui kompasiana dan sering menulis. Sebagai mahasiswa, kami sering dikirim link melalui milis mahasiswa.
Karena ingin berkomentar penasaran malah membuat kompas id, yang ternyata merupakan id juga bagi kompasiana, dan terdaftarlah saya di kompasiana secara tak sengaja. Murni tak sengaja, karena saya bahka tidak tahu bahwa saya bisa menulis di Kompasiana. Saya mengisi blog ini secara tidak teratur. Sesempatnya, dan sesuka saya. Tahun 2013, tepatnya 6 Juni, saya baru menyadari bahwa saya bisa memakai akun kompasiana saya juga untuk menulis. Sejak itu saya aktif menulis di kompasiana. Tulisan saya di bulan Juli, 1 bulan 4 hari setelah tulisan pertama saya, ternyata memenangkan lomba dari kemenparekraf. Saya mendapat juara 2 dan hadiahnya Nokia Asha 305 yang sampai sekarang setia menemani saya. Baru Bulan November 2013, tulisan saya menjadi Headline di Kompasiana. Rasanya bangga sekali HL di kompasiana itu. Padahal, tidak mendapatkan apa-apa. No Prize at all. Dan sekali lagi, minggu berikutnya tulisan reportase kegiatan bersama urbanesia juga HL, dan memenangkan Voucher yang lumayan buat makan-makan. Sejak itu saya beberapa kali mendapatkan HL. Sudah biasa dan tidak lagi mengalami euforia.
Selain HL dan menang lomba, pertama kali kopdar dengan kompasianer terjadi 2 bulan setelah mulai menulis. Diundang oleh seorang kompasianer sepuh yang tinggal di Australia, walaupun setahun dua kali masih berkunjung ke Indonesia. Namanya Pak Tjiptadinata Effendi, dan Bu Roselina. Pasangan ini saya daulat menjadi opa dan oma yang saya belum pernah punya di real life. Yah, Nenek saya dari mama meninggal saat saya SMP, dan dari Papa saat saya kuliah. Keduanya benar-benar seperti Opa dan Oma sendiri. Setiap kali ada di Indonesia, saya mendapatkan inbox dan ketemulah kami. Senang tentu saja. Ditraktir makan dan juga diberi oleh-oleh.
Kompasiana tempat saya belajar menulis dan berkenalan dengan sosmed. Tahun pertama saya lewati dengan santai, tanpa harapan. Tahun kedua saya mulai mengalami hal-hal yang tidak nyaman. Perlahan teman-teman menulis yang saya sukai menghilang. Keluhannya hampir sama, tidak bisa posting dan komen dari mobile/HP. Yah,... sudahlah, saya mencari info kemana mereka pergi. Ada yang ke ketik-ketik, ada pula yang kembali ke blog pribadi. Saya membuntuti penulis-penulis kesayangan ini setiap kali saya memerlukan bacaan berkualitas dan mendapatkan akses internet yang baik.
Semakin ke belakang hari, saya semakin tidak nyaman. Saya mengalami bullying dari beberapa seleb kompasiana. Beberapa teman juga. Bullying tersebut juga menyebut-nyebut profesi. Akhirnya saya mulai berpikir-pikir untuk mundur dari gegap gempitanya Kompasiana. Menyerah, kata saya.
Namun menyerah total sih belum. Baru sebagian. Saya memilah tayangan yang akan saya kirim. Kompasiana atau blog pribadi.
370 tulisan saya publish di kompasiana hingga hari ini. Ah, sekarang saya mulai mengisi blog pribadi lebih sering. Sekarang sudah ada 63 tulisan. Mudah-mudahan, setiap ada waktu senggang saya bisa mengisi blog pribadi saya dan mengisi dan mengisi, dan tetap menulis.
Cuma mikir,... pagi hari.

Sabtu, 07 Februari 2015

Disiplinkan Anak bukan Menghukum

Membaca berita mengenai kisah anak SMP tewas karena hukuman fisik dari gurunya, membuat saya tercenung. Cukup lama. Miris sekali, jika anak didik kita meninggal, akibat pilihan yang kurang tepat.
Sebagai guru, hati kecil saya menangis ketika anak didik saya tidak membuat PR. Ada banyak kasus yang menyebabkan kadang kala guru perlu memberi konsekuensi pada siswa. Saya sedih kalau siswa saya tidak menuruti peraturan, masa bodoh terhadap pelajaran, dan kadang memilih terjebak pada kondisi “terikat” dengan games, atau gadget, sehingga ketinggalan dalam belajar.
Konsekuensi logis sebenarnya ditanggung siswa dengan perbuatan itu.
1. Ketinggalan dalam belajar. PR sering diberikan untuk memantapkan pelajaran di kelas. Jika pembelajaran sudah mantap, PR juga bisa menjadi sarana mengulang kembali materi yang sudah dipelajari. Jika siswa tidak membuat PR, kita sebagai guru perlu me-refleksi diri. PR kita ini bermanfaat atau tidak?
2. Kehilangan nilai. PR juga merupakan sarana menolong siswa yang nilai ulangan hariannya jelek. Beberapa siswa saya yang ulangan sering tidak mencapai KKM terbantu dengan nilai tugas. Kalau PR tidak dikumpulkan, atau dikerjakan, pengurangan nilai saja sudah menakutkan bagi siswa. Saya masih ingat waktu SMP saya begadang sepanjang malam, membuat tugas menyusun unsur cerita, dari guru Bahasa Indonesia saya, karena tidak mau nilai tugas saya berkurang. (Tugas ini sebetulnya kelompok, tapi teman sekelompok saya pada malas, jadi saya minta guru saya mengizinkan saya membuatnya individual) Bisa saja kita sebagai guru membuat perjanjian batasan waktu PR dikumpul masih diberikan nilai, dengan pengurangan sampai batas tertentu atau nilai 0 tanpa pengumpulan.
KENAPA HARUS MAIN FISIK?
Sedih sekali. Sangat sedih. Pendidikan memang seharusnya memerlukan disiplin. DISIPLIN SEPERTI APA?
Ini adalah pertanyaan besarnya. Disiplin sebenarnya erat dengan beberapa hal ini.
1. Perjanjian
Membuat perjanjian di awal mengajar adalah hal yang selalu saya lakukan. Murid saya baru kelas 2 SD bahkan bisa memahami suatu perjanjian sederhana. Saya menjelaskan perilaku seperti apa yang saya harapkan dari anak-anak tersebut. Apakah perilaku di kelas, maupun perilaku di sekolah dan perilaku dalam membuat pekerjaan rumah. Konsekuensi apa jikapun disepakati di awal tahun pembelajaran. Misal, menggunakan kata-kata yang baik di lingkungan sekolah. Anak mengatakan kata-kata kasar seperti, “Bego,… bodoh,…Picek…” peringatan pertama adalah panggilan pribadi. Personal conversation. Siapa tahu mereka belum menyadari bahwa kata-kata tersebut kasar. Peringatan kedua adalah teguran. Peringatan ketiga ditulis di buku komunikasi (tertulis), peringatan keempat orang tua dihubungi (lewat telepon). Sama dengan PR atau lupa membawa buku. Peringatan pertama selalu personal conversation. peringatan kedua teguran lisan. peringatan ketiga hubungi orang tua melalui buku komunikasi atau agenda. Peringatan keempat hubungi orang tua secara langsung melalui telepon.
Perjanjian tentunya akan membantu mengkondisikan anak. Disiplin dibangun dengan pengkondisian yang KONSISTEN yang didasari KASIH SAYANG. Anak juga tahu apa yang diharapkan dari mereka dan bisa mereka harapkan.
2. Reward,
Anak SMP punya “pride”. Rasa bangga jika tugasnya tuntas, membuat ia menyelesaikan tugas-tugas dengan bertanggung jawab. Daripada menghukum yang tidak membuat PR, cobalah beri reward pada yang membuat PR. Pastikan reward tersebut membuat yang malas jadi iri. Tidak susah melakukan ini. Siswa saya saja, karena iri melihat reward bersliweran, bisa berubah. Masak anak SMP tidak? Saya tahu, ini perlu kreativitas ekstra memikirkan reward yang sesuai. Bahkan bisa jadi pengeluaran tambahan bagi kita. Tapi, tidak semua reward perlu dana. Ide ide reward gratis bisa didapat dari bacaan-bacaan. Kalau toh memang kita mengasihi anak didik kita, apa sih yang mahal buat mereka?
3. Kerjasama dengan orang tua.
Bapak, ibu guru, kita adalah partner orang tua. Menghukum secara fisik belum tentu membantu anak berubah. Tanya pada orang tuanya, kondisi seperti apa yang bisa membuat anak bertanggung jawab dengan pekerjaan rumahnya. Minta dukungan orang tua.
Saya saat ini mengajar di kelas 5. Hukuman fisik bukanlah pilihan buat saya. Anak kelas 5 sudah preteen. Sudah punya rasa malu. Mengandalkan hal ini, saya tidak menghukum fisik, namun mendorong anak merefleksikan, bagaimana perasaan orang tua yang bersusah payah membayar iuran sekolah jika mereka tidak sungguh-sungguh dalam belajar. Bagaimana rasanya jika tidak naik kelas karena nilai kurang dan harus sekelas dengan adik?
Anak SMP kan sudah remaja. Sudah bisa diajak bicara lebih dari anak SD?
Pendisiplinan pada siswa seyogyanya,
1. mendidik, bukan menyiksa.
2. Memberikan pembelajaran, bukan meluapkan amarah.
3. Membangun/menumbuhkan tekad siswa memperbaiki kelakuan, bukan membunuh.
4. memotivasi bukan mematikan.
Saya berharap guru-guru menyadari bahwa siswa bukan robot, yang akan berubah dengan menulis 100 kali, saya tidak akan lupa membawa PR atau menulis 100 kali saya tidak akan berkata-kata kasar, apalagi dengan push up atau scott jump atau sit up atau lari keliling lapangan. Robot juga tidak berubah, apalagi manusia.
Salam edukasi,
Maria Margaretha

Jumat, 06 Februari 2015

Perjalanan menjadi Guru, catatan Seorang Guru Bagi Calon Guru


Pendidikan bagi calon guru masa kini jelas lebih berliku daripada bertahun-tahun yang lalu. Pada masanya, seorang guru pernah disiapkan dari lulusan SLTA sederajat. Untuk guru SD disebutnya SPG. Setamat SD, SMP lalu SPG. Beberapa tahun lalu guru-guru eks SPG didorong menjalani pendidikan lanjutan dan menyesuaikan perkembangan. Mereka mengikuti kuliah Diploma 2. Eh, tidak cukup diploma, tahun 2005-2006 booming guru SD harus S-1.
Saat itu (guru SD harus S1), saya sudah kuliah PGSD di UNIKA Atmajaya, semester ke 5. Sebenarnya sudah ada S1 kependidikan juga, namun masih mengejar keguruan di SD karena pada masa itu saya akhirnya memutuskan lebih berkutat di ke SD an. Ada block grant cukup besar untuk mendanai guru-guru SD yang belajar kembali. Saat itu mereka dalam jabatan belajar 1 bulan tiap semester dan setelahnya selama 4-5 bulan mengumpulkan tugas bulanan dalam program PJJ (Pendidikan Jarak Jauh) melalui email.
Akhirnya guru-guru sepuh ini berhasil mencapai gelar S1, bersama dengan mahasiswa tamatan SMA yang mengikuti program reguler. Guru-guru yang memang sudah berada dalam jabatan, berbeda dengan guru-guru muda yang tamat SMA masuk FKIP.
Sekarang, untuk menjadi guru SD/TK bahkan diwajibkan memiliki pendidikan S1. Harus linier pula. Kalau mengajar SD harus PGSD. Kalau kuliah FKIP Bahasa Inggris ya mengajarnya bahasa Inggris. Universitas yang menyelenggarakan PGSD juga semakin banyak.
Waktu saya masuk UNIKA Atmajaya, tahun 2004, Universitas penyelenggara PGSD yang regular, hanya UNJ dan Atmajaya, di Jakarta. Namun sekarang ada Teacher College UPH, Universitas Esa Unggul, UHAmka, dan yang kuliah Sabtu Minggu bahkan ada.
Jika memang kita baru lulus SMA dan ingin menjadi guru, serius menyukai anak-anak, memilih tempat kuliah yang kredibel jelas penting. Tempat kuliah yang baik mempunyai kerjasama yang baik dengan lembaga pendidikan untuk tempat praktek pengalaman lapangan.
Tanpa praktek pengalaman lapangan yang baik, maka kita akan mengalami tekanan yang besar saat masuk ke lapangan. Kejutan, ya itu jelas. Pendidikan Guru mempersiapkan secara teori, namun praktek di lapangan perlu banyak improvisasi.
Saya ingat sekali bahwa saat microteaching di kelas kuliah saya pernah membuat teman saya sakit hati. Namun saya tidak punya niat buruk. Saya share dengan teman-teman kuliah saya, di lapangan seperti ini lho. Karena saat kuliah itu saya sudah ada di sekolah juga. Memberi gambaran nyata, bahwa anak SD itu terutamanya pada masa sekarang seperti apa.
Pada saat saya SD dulu, sebosan-bosannya saya pada guru, saya tidak akan tidur di kelas. Sekarang? Ada lho anak SD tidur di kelas. Pengakuannya pada orang tuanya, bosan. Gimana kalau jadi gurunya? Jaman saya SD dulu, mana berani saya tidak membuat PR? Jaman sekarang? Macam-macamlah alasannya. Belum lagi, selalu dan tidak pernah tidak terjadi, belajar 35 menit ada saja anak yang, “boleh ke toilet ngga?” Kalau ketemu yang ekstrim? Bisa ada anak berkelahi di kelas, bahkan di kelas dua dulu pernah kena hantam anak kelas 2 yang kebetulan berkebutuhan khusus. Jaman dulu tidak ada kan?
Itulah sebabnya penting bagi calon guru menjalani masa observasi, masa praktek nyata di lapangan. Guru SD harus siap mengajar apa saja. 5 pelajaran pokok harus dikuasai. Calistung, IPA, IPS, dan budi pekerti dalam PPKN dan Agama (sesuai kepercayaan masing-masing ya!). Yang lain seperti bahasa Inggris, olahraga dan seni akan menjadi nilai tambah jika kita menguasainya.
Hari ini akan menjadi hari terakhir bagi mahasiswa praktek TC UPH di sekolah saya. Setelah 3 minggu berada bersama anak-anak dan guru-guru di sekolah kami, tentu ada pengalaman yang dipetik. Bisa menyenangkan, bisa juga tidak. Tahun ini, mahasiswa praktek ini tidak mengalami tantangan cuaca seperti tahun lalu. Namun, kelas tahun ini menurut saya lebih bervariasi dari tahun lalu.
Selamat kembali ke kampus, dan selamat atas suksesnya menyelesaikan program magang di sekolah kami. Salam edukasi.

Kamis, 05 Februari 2015

Komunikasi Guru dan Orang Tua, Sepotong Pemikiran

Saya sedang memesan segelas juice jambu sebelum masuk kelas tambahan bahasa Inggris saya, saat bertemu seorang wali murid. Sepintas, saya menanyakan perihal anaknya yang sudah sejak semester lalu saat belajar sering tidur di kelas.
Saya belum pernah mengalami si anak tidur di kelas saya semester lalu, namun semester ini anak tersebut 2 kali tidur di kelas saya. Dua kali itu cukup untuk saya, dan saya dengan segera menuliskan pesan melalui agenda dan meminta orang tua untuk membantu.
Penelusuran yang saya lakukan dalam tanya jawab dengan si anak menunjukkan anak ini tidak mengalami kurang tidur. Maka, kecurigaan saya adalah kebosanan. Ini disetujui oleh walinya, walaupun hanya sesaat saja saya bertemu.
Karena anak ini tidak berada di kelas saya, jelas bahwa sebenarnya saya tidak seharusnya mencampuri. Namun kalau terjadi di pelajaran saya, tentu saya harus melakukan sesuatu. Sebenarnya saya juga heran, ketika anak ini tiba-tiba tidur di kelas saya. Karena, walaupun sudah sering saya dengar dari guru lain, tetapi ia belum seklipun melakukannya di kelas saya. Sombong ngkali ya saya, makanya terus di tidur juga di kelas saya?
Saya bukan main sedih saat melihatnya tidur dengan nyenyaknya di kelas saya.
Aduh, bukan main deh.
Komunikasi dengan orang tua tentunya harus melalui wali kelasnya. Ndilalah kok ketemu di kantin.
Mengajar lintas kelas ini mudah-mudah sukar. Kalau wali kelasnya care, akan segera tertangani dan berharap ada perubahan.
Mudah2an hari ini dia tidak tidur di kelas saya lagi. Hiks.
Catatan soal komunikasi,
1. Agenda adalah sarana komunikasi guru dan orang tua. Orang tua perlu mengecek agenda anaknya setiap hari. Saya sering menemukan orang tua tidak menandatangani agenda anak, sehingga saya bertanya-tanya, apakah mereka membaca agenda anaknya? Ada kerjasama mutlak yang diperlukaan dalam membuat anak berhasil di sekolah. Salah satunya adalah komunikasi dengan guru. Lha kalau tanda tangan agenda saja ngga, gimana mau kerja sama?
2. Kalau diundang ke sekolah usahakanlah hadir, untuk mengetahui perkembangan anak. Memang di sekolah guru adalah orang tua anak, namun perilaku di sekolah tak jarang dibawanya dari rumah. JAdi kerja sama mutlak perlu. Komunikasi harus. "head to head" orang tua di sekolah dan orang tua di rumah akan sangat membantu anak. TAk jarang orang tua menganggap, sudah bayar uang sekolah, ya kalau di sekolah ya gurulah tanggung jawab, padahal? Nah block mental semacam ini perlu dibenahi.
Jalin komunikasi yuk, untuk anak-anak yang kita cintai. Jadikan guru sebagai partner, bukan karyawan. Generasi penerus kita,...
Slaam edukasi,

Maria Margaretha

Rabu, 04 Februari 2015

Guru, Membuat Perbedaan

Menjadi guru, berarti mempunyai kesempatan membuat perbedaan. Di Ibukota ini, ada puluhan ribu guru, namun apakah sebagai guru kita bisa membuat perbedaan dan menjadikan diri kita "heart warmer" bagi siswa-siswi kita?
Saya terlahir dari keluarga yang tidak berfungsi. Orang tua saya berpisah sejak saya masih kanak-kanak. Lebih buruk lagi komunikasi diantara kami juga tidak baik. Beberapa siswa saya juga demikian. Namun mereka masih cukup beruntung dengan sisi komunikasi lebih baik. Saat masih kanak-kanak, mengais perhatian orang tua sedemikian sulit, tak jarang beberapa bagian dari diri saya masih tak nyaman dengan perhatian orang.
Beberapa siswa saya tak urung mengalami hal yang sama. Ibukota ini kejam. Mereka punya orang tua, namun kesibukan membuat orang tua seolah tak memperhatikan. Beberapa anak beruntung mendapatkan orang tua yang berfungsi, namun cukup banyak yang tidak.
Saya menjadi partner orang tua, memberikan kasih sayang dan perhatian pada anak-anak ini.
Bukan hanya saya sebenarnya, kita sebagai guru punya kesempatan untuk menjadi sahabat orang tua, memberi perhatian dan kasih sayang pada anak-anak.
Guru yang membuat perbedaan,
1. bersedia menyisihkan waktu untuk memberi perhatian.
Seorang rekan saya di sekolah ini, sudah cukup berusia, ia bekerja sekedar meng aktualisasikan diri, mengajar sebagai guru science, ia menyediakan 30 menit waktunya membimbing seorang siswa yang kurang beruntung yang ada di kelas science-nya. Free. Hanya untuk membantu anak ini. Tahun ini, anak tersebut memang tidak lagi bersama kami. Namun, mungkin apa yang dilakukan teman saya akan membekas di hatinya. Mengobrol saja merupakan suatu tanda perhatian, yang membuat anak merasa disayangi. Saya membiasakan turun ke kantin pada saat istirahat, hanya sekedar memberikan perhatian,"What do you eat?" "is your mom cook for you?" "Eat the vegetables, dear. You must need it."
Kadang melelahkan, memang. Kelas saya di lantai 3, ruang guru di lantai 2 dan kantin di lantai 1. Tetapi apa artinya kelelahan saya, saat melihat perkembangan anak-anak yang baik.
Suatu hari, saya terpaksa memberikan konsekuensi pada siswa yang sudah berulang kali tidak membawa buku pelajaran. Anak tersebut mengeluh bosan. Saya duduk dengannya, dengan koreksian di tangan, memberikan penjelasan, mengapa konsekuensi tersebut diberikan. Perhatian saya seutuhnya mendorong dia memperbaiki sikap. Mungkin hari-hari ini belum jelas perbedaannya. Namun siapa yang tahu? Saya sedang menabur.
2. Memberi apresiasi.
Terlalu menuntut, itulah yang terlihat di dunia persekolahan saat ini. Saya memilih memberi apresiasi kepada anak didik saya untuk setiap nilai terbaik. Namun bukan hanya nilai, tetapi juga perilaku terbaik. Saya memilih, memberikan semangat untuk usaha terbaik anak-anak saya. Kadang mereka sudah berupaya, namun, mereka tak menjadi pemilik nilai terbaik di kelas, lalu bagaimana? Bukan nilai saja, saya mendorong mereka bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam melakukan tugas-tugas. Saya memberikan block notes, stationary sebagai hadiah, dan juga sekedar sticker "smiling face".
3. Konsisten
Anak-anak memerlukan payung konsistensi. Jika kita tidak konsisten dengan aturan maka mereka akan menjadi bingung. Salah satu kejadian yang saya alami. Saya mengkampanyekan tidak menonton tayangan kekerasan, lalu dalam suatu fieldtrip sekolah mereka menonton cowboy show. Mereka mempertanyakan pada saya, kenapa nonton acara tersebut. Memang fun, lucu, dan banyak tawa, namun tetap saja banyak kekerasan di sana. Saya lupa bagaimana saya "ngeles"/menghindari dari pertanyaan tersebut, namun saya tidak bisa melupakan rasa bersalah yang saya rasakan berhari-hari setelah acara tersebut.
Konsistensi memberi rasa aman. Ketenangan karena pasti segalanya berjalan sesuai ketentuan. Konsistensi tentu berasal dari aturan yang sudah jelas. Saya berusaha memenuhi janji apapun yang saya berikan pada siswa saya.
contoh, untuk mengelola kelas saya menggunakan sistem pengaturan tempat duduk, saat saya berjanji, bahwa saya akan mengatur kembali bulan berikutnya, maka saya akan menepatinya. Sempat tidak sempat pasti saya lakukan. Penting bagi guru menjadikan diri bisa dipercaya. PR, harus diperiksa. Jangan sampai lupa.
4. Teladan
Mereka perlu contoh. Saya tak selalu bisa memaafkan. Namun saya berusaha keras, karena, kalau saya tidak bisa memaafkan, bagaimana saya bisa bercerita tentang memaafkan pada anak-anak saya? Saya juga kesulitan untuk disiplin, namun tetap berusaha, karena saya adalah contoh untuk anak didik saya.
Aturan dan anjuran yang kita berlakukan pada mereka seharusnya kita lakukan dulu. Kalau kita meminta mereka berdiri tegak, kita juga berdiri tegak. Kalau kita minta mereka menulis rapi, kita harus menulis rapi dulu.
Hmmmh,... sampai jumpa lagi. Selamat hari Rabu.

Selasa, 03 Februari 2015

Kerjaku Ibadahku

Ruang guru selalu menyisakan celoteh para guru. Kadang celoteh tentang siswa dan sikap orang tua, kadang juga sesama guru. Saya ini termasuk guru ekspresif yang kalau setuju bisa sangat mendukung, kalau tidak setuju bisa frontal menyerang. Sudahlah mencoba terapi untuk mengurangi ke-frontal-an tetap saja. Friksipun tak urung terjadi.
Pada saya, jelaskan apa yang harus saya lakukan, sebagai tanggung jawab. Jika penjelasan saya pahami baik, saya akan mengupayakan tugas tersebut terselesaikan. Misalnya, awal mengajar saya diberikan penjelasan beberapa tanggung jawab wali kelas,
1. memutar CD bacaan, dan mencatat secara harian pelaksanaannya, dan menyelenggarakan quis mingguan. Saat player di kelas saya bermasalah, tak segan saya menjinjing laptop dan speaker ke ruang kelas, agar kegiatan ini tetap terlaksana. Padahal kan repot, tapi sudah tanggung jawab saya. Belajar dari pemahaman maka saya melakukan bagian saya ini sebaik-baiknya.
2. melaksanakan latihan menulis. Sebelum pulang, anak-anak diberikan buku latihan menulis, yang diperiksa dan ditandatangani walikelas. Buku ini 60 halaman untuk 2 semester, jadi kalau tidak selesai 1 halaman, 10 menit bisa dilanjutkan esok harinya. Tetapi semakin tinggi kelas, semakin cepat mereka menulis, dan kebanyakan anak kadang malah selesai 2 halaman kalau tidak dibatasi. Jadinya melaksanakan ini secara harian sebenarnya tidak repot. Tanda tangan berapa lama sih? Berapa anak yang memang tulisannya kurang rapi dikelas? Seharusnya sih tidak banyak.
3. Agenda siswa. Penulisan agenda ini sebenarnya agak membuat pusing. Karena waktu khusus mengerjakan tidak selalu ada. Tetapi sejak kelas 4, saya sudah membiasakan siswa saya menulis agenda saat istirahat, dan mengumpulkannya. Kadang saya terbentur jadwal 8 jam sehari tanpa henti. Ya sudah. Saya hadapi. Saya jalani. Tanda tangan dan memeriksa agenda, saya selipkan saja di antara kegiatan belajar. Sementara anak-anak mengerjakan tugas, saya memeriksa agenda, atau saya keliling saja memeriksa dan langsung tanda tangan. Jadi, tidak mengambil waktu MEMBACA atau latihan MENULIS.
Kondisi membuat pusing bukan hanya terjadi pada kegiatan harian. Namun menemukan selah memerlukan kreativitas tersendiri. Untuk tanggung jawab di atas, di sekolah diberikan fee khusus. Bukan besaran fee-nya, namun apresiasi di balik fee tersebut yang seharusnya dipahami.
Salah satu rekan melaksanakan yang satu dan mengabaikan yang lain. Padahal jika sampai pada pihak yayasan semua guru akan mengalami teguran. Padahal yang melakukan hanya 1 orang. Yang abai hanya satu orang. Memang susah kalau semua pekerjaan dinilai dari uang. Padahal kerja itu bukan semata sekedar gaji atau honorarium, namun ibadah. Kita bukan hanya bertanggung jawab pada pemberi kerja, namun ALLAH. Yah, tapi susah juga menasihati pegawai semacam ini. Ibadah saja angin-anginan. Bagaimana?
Paket lengkap tugas wali kelas ini harusnya dilaksanakan bukan semata karena atasan tahu atau tidak, namun tanggung jawab. Anak didik bisa bicara dan berceloteh juga. (memang hanya guru yang bisa berceloteh)
Kesadaran.
Cuma cerita pagi hari.
Selamat pagi.

Senin, 02 Februari 2015

Mengajar Karena Cinta

Sabtu kemarin karena influensa yang parah, saya berkurung di kamar. Saat membuka email, saya menemukan tawaran dari sebuah sekolah di daerah. Keluar dari Ibukota, ya. Itu pilihan saya akhirnya. Ibukota ini terasa individualis. Bahkan dalam kerangka keluarga. Ada banyak peserta didik saya mengeluhkan tanya,"sebenarnya mama itu sayang sama saya ngga sih?" Terasa sekali kurangnya kebersamaan. Bahkan kala bersama sama yang ada hanya kesibukan masing-masing dengan gadgetnya. Mengamati kondisi ini, saya hanya bisa mengelus dada. Bagi saya sendiri juga. Sulit sekali menemukan kesempatan bertemu sahabat, kalau tidak diperjuangkan.
Hubungan masa lalu, teman-teman yang dekat di masa lalu supaya bisa tetap terjalin memerlukan perjuangan. Menembus hujan, panas, jarak dan aktivitas masing-masing.
Mengajarpun tak kalah perlu perjuangan. Beberapa rekan saya di sekolah Pelita, tinggal di Tangerang, ada yang di Depok, ada yang di Salemba, padahal PELITA itu di daerah Jakarta Barat, Grogol. Jauhnya. Terbayang bagaimana menembus kepadatan sesama pejuang pagi hari. Mereka sebenarnya bisa saja memilih mencari ruang mengajar di area yang dekat. Namun, "sudah terlanjur sayang".
Susah bicara dengan kata cinta. Sejauh apapun terasa dekat jika sudah diawali dengan cinta. Saya rasa banyak diantara teman-teman lain, para pengajar yang juga memilih hal yang sama.
Rasanya sesuatu melihat anak yang kita asuh, menyelesaikan pendidikannya di level yang kita tangani dan berhasil melalui masa-masa perkembangannya. Kita yang membimbing, mengamati dan mengarahkan.
Mengapa mengajar? Karena CINTA. Selamat pagi semuanya. Salam Semangat Senin. Salam Edukasi.

Sabtu, 31 Januari 2015

Cinta itu sesuatu

Beruntungnya aku pagi ini.
Nonton video unik https://www.youtube.com/watch?v=iz38FbEycms&x-yt-ts=1422579428&feature=player_embedded&x-yt-cl=85114404 yang bikin aku terharu banget. Yak ampun. Yak ampun.
Bukan main banget rasanya. Nyanyi dicuekin itu ngga enak. Tapi, kalau kita tahu penyebab dicuekin mungkin kita bisa melakukan sesuatu.
Iya, sesuatu yang membuat kita diperhatikan selalu menuntut usaha ekstra. Penyanyi yang dicuekin ini akhirnya tahu bahwa pelanggan yang satu ini tuli dan bisu (mungkin). Ia belajar menggunakan bahasa yang dipahami, yaitu bahasa isyarat. So, it’s work.
Yah, ia menyanyi dengan tambahan bahasa isyarat, dan bossnya memberikan lampu emaram sehingga si pelanggan mau tak mau melihat pada si penyanyi,… dan,… here you go,… they are fall in love,… nice movie, cuma 9 menit.

Menulis yang bermanfaat

Beberapa waktu terakhir ini, saya mengamati tulisan-tulisan yang terdapat pada status FB teman-teman saya. Beberapa diantaranya bernuansa menilai kinerja/perbuatan orang lain, dalam hal ini adalah pemimpin bersama, yang kita sebut Presiden RI saat ini, Jokowi. Saya pribadi tidak berani melakukan penilaian serupa, namun bukan berarti saya melarang orang lain menilai Pak Presiden. Saya mempelajari tuturan yang bernuansa negatif dan mempertanyakan keputusan-keputusan Pak Presiden. Secara umum, saya melihat bahwa menjadi lumrah bagi kita untuk menilai orang lain menurut KACAMATA KITA. Namun demikian, jika kita ada di posisi Pak Presiden, bagaimana?
Salah satu penyebab akhirnya saya membuat sebuah komentar seperti ini,
"Mbak, hihihihi... saya milih Jokowi. Saya tidak menyesal. Mengapa? Walaupun naik angkot sampai sekarang belum turun, walaupun sepertinya saat ini "kelihatannya" Jokowi pembohong, petugas partai, dan inkonsisten,... buat saya itu semua baru terawangan dan rabaan. Karena, saya ini cuma rakyat biasa, ngga tahu politik, dan apapun cerita yang dibawa orang, itu semua,... cerita yang bisa jadi dibesar-besarkan, diringan-ringankan, dan subyektif. Selama saya bisa bekerja tenang, tidak cemas, dan aman, cukuplah. Toh saya belum buat apa2 untuk Indonesia. Hehehe... ngga membenarkan, juga ngga menyalahkan. Saya pengen memberkati pemimpin saya, dengan bijaksana dan membawa damai buat semua. Aamin".
Komentar saya ini dijawab oleh salah satu temannya teman FB saya tersebut demikian,
"Mbak Maria Etha, tolong sejujurnya Jokowi telah buat apa untuk Indonesia?"
Dan pemilik status menjawabnya.
"mbak Maria Etha, sayang sekali kalau demikian, anda merasa belum berbuat apa2 untuk negeri ini.. tak masalah, itu adalah bukti kejujuran. tapi tak bisa mbak salahkan juga, disini banyak orang yang telah mengabdi pada negara ini semenjak mereka remaja.saat orang lain masih berpangku tangan, mereka telah terjun ke masyarakat. oleh karena itu ada kemarahan dari mereka . lagian untuk umat moslim adalah hal yang aneh bila seseorang tidak mau juga mengingat kesalahannya padahal para alim ulama termasuk tokoh agama lintas agama telah mengingatkan. saya tak tahu apa yang mbak yakini, dan tak perlu tahu.... hehehe..."
Kemudian saya menjawab ini, pada temannya pemilik status,
Kenapa nanya apa yang dibuat orang lain untuk Indonesia, Mas? Kalau saya sih nanya diri sendiri aja dulu, apa yang sudah saya lakukan buat Indonesia. Itu point saya."
Kemudian si pemilik status memberitahukan secara tidak langsung bahwa pemberi komentar tersebut adalah seorang profesor. Hiks. Matilah saya profesor saya tanya begitu. Coba? Jadi kaget dong saya. Jadi di FB itu mesti hati-hati, tahu-tahu yang bicara adalah profesor atau doktor,... yang pengetahuannya sudah di atas kita jauh.
"Mbak Maria Etha, dulu memilih Jokowi dasarnya apa? Bukankah dia presiden yg akan bawa kemana Indonesia 5 tahun ke depan? Kalau saya jelas gak milih Jokowi, sedari awal, sejak 3 bulan jadi gubernur DKI, sudah kelihatan banget dia sulit dipercaya. Orang model gini gak bisa dijadikan pemimpin, kecuali kalau Indonesia diinginkan hancur. Dan sekarang..sudah lihat sendiri kan?"
Itu kata si Profesor.
Lha masak hancurnya Indonesia ini karena Jokowi? Haloooo, dia memimpin Indonesia juga baru berapa bulan? Kebijakannya yang mana yang menghancurkan? Buktinya sampai sekarang saya masih bisa bekerja dengan tenang, walaupun, angkot masih ngga mau nurunin harga setelah BBM kembali ke kisaran 6 rb-an?
Lalu inilah kata-kata saya,
"Tanpa mengurangi rasa hormat saya, jawaban saya demikian, Jika capres yang lain bisa dipercaya, saya tentu memilih yang lain. Namun diantara dua, memang, pilihannya tak bisa dibuat sempurna, dua-duanya banyak kekurangan. Tidak memilih juga menjadi pilihan, Namun sebagai warga yang bertanggung jawab, saya memilih yang menurut saya kekurangannya lebih sedikit. Selebihnya, saya melakukan bagian saya sebagai warga negara, mendoakan pemimpin saya agar bertanggung jawab dan melakukan tugas warga negara saya sebaik mungkin untuk memberi manfaat bagi negara ini. Kalau pemimpin saya tidak "amanah", ya tidak perlu dipilih lagi. Sudah. Ini baru 3 bulan, yakin bahwa memang semua yang kelihatan itu adalah sebenarnya? Buat saya, waktu akan membuktikan".
Beberapa hal yang saya renungi setelah itu,
1. Kita dapat memberi manfaat dengan menuliskan pikiran yang positif, bukan yang negatif. Andaikatapun kita tidak merasa sreg, apa salahnya kita telan dahulu dan melihat perkembangan. Bukannya berarti tetap diam jika kritis, namun sejauh ini, sekiranya keadaan begitu parahnya, suara positif kita, perilaku positif kita mungkin bisa mengubah keadaan. Daripada mengeluh di media sosial, apa salahnya jika kita mencoba menuliskan hal-hal baik yang kita lihat di sekeliling kita? Sekecil apapun, hal positif dapat bergulir membesar dan menjadi sesuatu yang bermakna, pada akhirnya.
2. Tuliskan sesuatu yang menghibur, yang bisa dinikmati semua orang. Teman saya mbak Lizz, selalu menulis cerpen, cerbung dan cerita-cerita cinta yang mengingatkan secara tidak langsung ada harapan. Yah, harapan di tengah situasi tak menentu itu perlu.
Politik tak ada habisnya, tak mengenal pertemanan, namun cerita kehidupan masih menawarkan harapan.
3. Tuliskan solusi yang masuk akal. Mungkin, jika kita memang lebih pintar dari Pak Jokowi, kita bisa memberikan pemikiran kita yang masuk akal dan bisa dicoba? Mengapa tidak? Mari kita husnuzon, kata seorang teman. Berpikiran baik. Itu ajakan cantik. Termasuk saat menulis.

Kisah dari Kelasku, Memanfaatkan Teman

"Miss, besok aku jangan sebangku sama X atau Y ya?"
Aku mengerutkan kening dan tersenyum mendengar permintaan sponsor tersebut. Beberapa waktu lalu permintaan ini muncul dari seorang anak lain, tetapi sama juga pesannya. Hanya beda orangnya. Ngga mau sebangku sama Z. Jawaban pertanyaan itu standar buatku. Selalu dengan pertanyaan yang sama.
"KENAPA?"
Yah. Kasus sebelumnya, si Z itu amat sangat pendiam sekali. Sulit bisa membuatnya bicara bahkan dengan saya sekalipun. PAdahal, Z itu anak yang pintar. Ia suka sekali tersenyum, tapi bicara? Tunggu diancam penggaris kayu. hihihi... Ngga kok becanda. Dia hanya bicara kalau saya atau guru yang menyuruhnya. Jadi teman-temannya keeratan sebangku dengan dia. Ngga asyik, katanya. (Kayak saya, ngga mau bicara, sekalinya bicara lebih panjang dari kereta api. apa ngga ya si Z ini. Penasaran kalau sudah besar kayak apa)
"X dan Y itu suka pinjam alat tulisku miss. KAlau ada tugas juga suka ngga bawa bahan minta sama aku."
Wah,... tanduk saya langsung keluar. Bukan main ini anak-anak, mau memanfaatkan teman ya?
"Kok baru bilang sekarang?"
Aduh,... matanya berkaca-kaca. Salah respon nih saya. "Maksud miss, kan semua harus bertanggung jawab bawa sendiri-sendiri. Ini kan kamu dimanfaatkan, kok ngga kemaren-kemaren Miss dikasih tahu? Kan masalah bisa segera ditindak lanjutin, nak?"
Masih diam. Pusing deh.
"Kamu takut sama miss Maria?"
Anak tersebut menggeleng. "Ngga miss."
Tapi air matanya sudah turun. Saya jadi panik. Aduh. Mati deh saya. Ntar dikira saya apain pula nih anak manis satu ini.
"Aku pernah bilang, tapi miss lupa ngkali?" Katanya mati-matian menahan air matanya supaya tidak jatuh.
"Ha? Kamu bilang yang mana nih? Ngga mau duduk sama X dan Y? Atau kenapa ngga mau duduk sama X dan Y?"
Aku tahu kenapa aku melupakannya. Waktu dia mengatakannya, dia hanya bilang ngga mau duduk dengan X dan Y saja. TAnpa alasan signifikan saya cenderun mendorong anak duduk dengan teman yang mana saja.
Tapi kalau anak pinjam alat sekolah terus ini kan maunya apa?
Karena saya mengajarkan mereka tidak pelit, kan bukan berarti juga memanfaatkan teman?
Penolakan duduk sebangku karena anak dimanfaatkan jelas perlu diselesaikan bukan dengan memisahkan. Namun dengan diskusi, agar anak yang dimaksud berhenti memanfaatkan temannya.
Kebiasaan memanfaatkan orang lain ini dimulai sejak kecil.
Malas mencatat, pinjam temannya. Mending kalau teman ini rela meminjamkan, namun mungkin saja si teman tidak rela. Lagipula mencatat kan berguna untuk si pencatat. Kalau yang malas ya akan sulit untuk menemukan manfaat mencatat ini.
Malas bawa alat tulis, pinjam teman. Seharian pinjamnya. Berapa banyak tinta yang disedot? Kalaupun temannya punya banyak alat tulis, tapi kan orang tuanya bisa memarahi, kalau cepat habis?
Nanti setelah dewasa, kebiasaan memanfaatkan ini bisa jadi berlanjut. Makanya, selagi masih dini perlu dihapus.
Hiks. Oke deh. Ngga sebangku sama X dan Y. Sama Z aja deh... hahahahahaha.

Tips Hidup Maksimal

Mendengar suara Tuhan adalah kunci hidup orang percaya menjadi maksimal. Sayangnya seringkali, kita merasa Tuhan tidak berbicara pada kita. ...